Belajar Kritik dari Ulama Salaf dan Dampak Negatifnya

  • santri lirboyo
  • Apr 20, 2022

Kesalahan bukan lagi berada pada ruang yang dapat dihindari. Melainkan ia adalah keniscayaan yang ada pada setiap penciptaan. Baik berskala kecil atau besar, disengaja maupun tidak. Sedangkan berusaha memperbaiki kesalahan, tidak saja kewajiban bagi pelakunya, akan tetapi juga pada manusia-manusia di sekitarnya.

Dalam penanganan kesalahan, kritik menjadi salah satu sarana yang dianggap paling efektif untuk mengubah laku seseorang. Penggunaan kritik terkesan elegan, ilmiah dan literatis. Kritik menjadi suatu kecaman atau tanggapan kepada seseorang akan hal buruk terhadap sesuatu laku atau karya. Kritik juga menjadi salah satu metode penanganan dalam syari’at, yang dibahasakan dengan tahsin, nasihat dan bisa juga sebagai daf’u shubhah. Namun, meski berada dalam koridor syari’at, kritik tidak selamanya berbuah manis. Beberapa bahkan hanya tersisa sebagai alasan untuk menangis.

Dampak Negatif dari Kritik

Meski banyak memiliki faedah, kritik juga memiliki sisi negatif yang berbahaya. Pada sebagian kasus, kritik dapat menempatkan korban pada posisi defensif yang menjadikan korban akan membuat alasan untuk menutupi alasannya. Entah alasan yang rasional atau irasional. Jujur atau bahkan sebaliknya. Ironisnya, segala bentuk rasionalisasi tadi hanya akan menjauhkan korban dari rasa bersalah. Padahal kesalahan hanyalah keniscayaan, tetapi tetap saja menganggapnya sebagai kewajaran adalah kesalahan baru lagi.

Setelah adanya pembelaan dari korban, pengkritik pada umumnya tidak akan puas apabila kritiknya ditolak mentah-mentah. Kejadian yang mesti tidak selalu terjadi ini, biasanya hanya akan berjalan dengan debat sangkalan dan pembenaran dari keduanya. Tarik ulur urat leher ini hanya akan berakhir pada masing-masing dari keduanya, yang menyebabkan tidak terselesaikannya suatu masalah. Masing-masing menganggap bahwa dirinyalah yang mutlak benar.

Contoh Kritik dari Ulama Salaf

Untuk memperkecil kemungkinan buruk dan tetap menjaga kesan elegan pada kritik, maka perlunya memahami metode serta sasaran dari kritik tersebut. Seperti Imam al-Ghozali yang berusaha mempelajari ilmu filsafat sebelum akhirnya mengkritik habis-habisan ilmu filsafat dengan karya beliau Tahafut fi Falasifah. Begitu pun Imam Al-Nabhani dalam kitab beliau Syawaludul Haq yang menjelaskan kesesatan Imam Ibnu Taimiyah dalam jilid pertama. Beliau tidak segan menggunakan pendapat Imam Ibnu Taimiyah pada jilid pertama untuk mengkritik Syi’ah. Kedua imam ini memberi pelajaran bahwa kritik haruslah didasari dengan pemahaman sepenuhnya serta tidak dilandasi dengan rasa kebencian, bukan melulu memojokkan dan sarana kebencian.

Meski kritik yang elegan dan literatif semacam ini tidak selamanya memberikan efek jera pada pelaku, akan tetapi setidaknya metode ini berhasil memberikan sanksi sosial dan dampak semacam alergi bagi yang bukan pelaku. Karena pada dasarnya, target jera pada metode ini bukan hanya ditunjukkan pada pelaku, melainkan seluruh elemen masyarakat demi menjauhkan diri dari kesalahan.

Kesimpulan

Dari sini memiliki kesimpulan bahwa berkaca kepada ulama, kritik harus didasari pemahaman yang utuh mulai dari akar maslahnya serta tidak dilandasi dengan rasa benci dan memojokkan. Yang bisa dilakukan oleh manusia hanya berusaha sebatas mengingatkan, menegur kesalahan agar tidak berdampak lebih melebar. Bukan memaksa. Dan jika kritik merupakan salah satu bentuk dari  usaha, maka lakukan dengan sebaik-baiknya.[]

Penulis: Ilzam Billah A 02

Baca juga: Lika-Liku Hidup Musthafa Shadiq Rafi’i
Tonton juga: PERINGATAN HAFLAH AKHIRUSSANAH, HAUL DAN TASYAKUR KHOTAMAN KE X | Pon. Pes. Putri Al Baqoroh

Belajar Kritik dari Ulama Salaf dan Dampak Negatifnya
Belajar Kritik dari Ulama Salaf dan Dampak Negatifnya

3

Post Terkait :