Keajaiban Berkah Nabi Muhammad SAW

اللَّهُمَّ لَوْلا أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا # وَلا تَصَدَّقْنَا وَلا صَلَّيْنَا
فَأَنْزِلَنْ سَكِينَةً عَلَيْنَا # وَثَبِّتِ الأَقْدَامَ إِنْ لاقَيْنَا
إِنَّ الأُولَى قَدْ بَغَوْا عَلَيْنَا # وَإِنْ أَرَادُوا فِتْنَةً أَبَيْنَا

 

Ya Allah, kalau saja bukan karena engkau, niscaya kami tak akan mendapatkan petunjuk. Kami tak bersedekah, tak juga salat.

Maka limpahkanlah ketenangan kepada kami. Mantapkanlah kaki-kaki kami kala menghadapi lawan.

Para musuh telah memberontak kami, dan ketika mereka menginginkan fitnah terjadi, maka kami menolaknya.

 

Kita tak bisa membayangkan suasana di Madinah saat itu. Cuaca begitu terik, udara begitu panas menyengat, dan debu-debu beterbangan kemana-mana. Namun disepanjang parit yang baru digali itu, nampak wajah-wajah gembira. Mereka ditemani insan paling mulia, bersama-sama menggali parit (khandaq) untuk membentengi kota Madinah dari gempuran pasukan ahzâb (koalisi). Mewakili perasaan bergembira, sebuah syair disenandungkan oleh Nabi Muhammad SAW, “Ya Allah, jika bukan karena Engkau, kami tak akan mendapatkan petunjuk…”[1] Beliau bekerja tak kenal lelah.  Memindahkan tanah demi tanah tanpa mau dibantu, sampai-sampai bulu dada mulia beliau tertutup oleh butir-butir tanah yang beterbangan.

Semua orang, laki-laki baik tua ataupun muda berduyun-duyun menggali parit. Parit yang memanjang menutup akses menuju kota Madinah itu nanti akan difungsikan sebagai “tembok” untuk menghalau datangnya pasukan koalisi pimpinan kaum Quraisy. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung. Diperkirakan akan ada sepuluh ribu orang yang menggempur Madinah. Jumlah yang lebih dari cukup untuk meluluhlantakkan kota Madinah apabila rasulullah tinggal diam.

Nabi bermusyawarah kepada para sahabatnya, strategi macam apakah yang hendaknya kita lakuakan?  Seorang muallaf baru dari negeri Persia, bermana Salman mengusulkan gagasan cemerlang.”Wahai Rasulullah,di Persia jika kami takut akan serangan kuda, kami akan menggali parit mengelilingi rumah-rumah kami. Maka mari kita gali parit untuk melindungi kita.”

Semau orang setuju atas ide sahabat Salman RA, maka sejak itu parit yang sangat panjang mulai digali. Dan saat parit mulai digali, banyak hal ajaib terjadi…

Saat menggali parti, tak semua orang mendapatkan cukup makan. Makan hanya sekian butir kurma, tapi bekerja penuh dari pagi hingga matahari menyingsing tenggelam. Sosok mulia Nabi tak luput mengalami hal yang sama. Bahkan menurut riwayat, hingga tiga hari Nabi dan para sahabat menggali parit, mereka tak menyantap sesuap hidangan apapun. Sampai-sampai, untuk menahan rasa lapar, beliau Nabi Muhammad SAW mengganjal perut beliau dengan batu yang diikat ke badan beliau.

Sahabat Jâbir bin Abdullah RA memang bukanlah orang yang kaya. Beliau bahkan hidup sangat sederhana bersama istri beliau. Namun, melihat perut mulia rasulullah tersingkap dan nampak batu disana, hati kecil beliau tergerak. Beliau tak tega dan merasa iba. Seorang rasul tak sepatutnya mengalami hal seperti ini. Beliaupun berinisiatif untuk pulang, dan menyiapkan rasul sebuah hidangan.[2]

“Wahai rasulallah, izinkanlah saya pulang ke rumah.” Kata sahabat Jâbir bin ‘Abdillah RA.

Rasulullah mengizinkan sahabat Jâbir Ra pulang menemui istrinya. Beliau bergegas menuju kediaman beliau. Kepada istrinya, beliau menceritakan apa yang telah dilihatnya.  “Aku melihat kondisi Nabi Muhammad SAW yang tak mampu lagi aku bersabar melihatnya. Adakah kau memiliki sesuatu untuk dimasak?”

“Ya, ada gandum dan domba kurus” jawab sang istri.

Tanpa pikir panjang lagi, sahabat Jâbir RA menyembelih domba kurus satu-satunya yang ia miliki. Beliau tahu, sangat tahu bahwa makanan itu hanya akan cukup untuk beberapa orang saja. Bukan masalah, asalkan  bisa menyenangkan hati rasulullah. Sahabat Jâbir RA juga membuat adonan gandum hingga menjadi makanan dalam tungku. Ketika adonan makanan tersebut hampir matang dalam bejana yang masih di atas tungku, beliau bergegas menemui Nabi. “Aku punya sedikit makanan, maka datanglah engkau wahai rasul. Ajak serta seseorang atau dua orang bersamamu.” Kata sahabat Jâbir RA lirih.

Namun rasulullah bukanlah orang yang tega bersenang-senang menyantap masakan, sementara para sahabat-sahabatnya yang lain merasakan kelaparan.

“Bagaimana mungkin bisa digambarkan Nabi Muhammad SAW membiarkan para sahabatnya bekerja keras, padahal mereka juga menahan rasa lapar, sementara Nabi bersama tiga atau empat orang sahabatnya beristirahat dan menikmati hidangan? Padahal kasih sayang Nabi kepada para sahabatnya jauh melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anak-anakanya.”[3]

“Berapa banyaknya?” tanya Nabi.

Sahabat Jâbir RA mengatakan apa adanya. Domba itu sangat kurus, dan mungkin hanya akan cukup untuk beberapa orang saja. Tapi Nabi memiliki rencana lain. “Banyak dan baik.” Sabda Nabi. “Katakan kepada istrimu, jangan angkat bejananya, dan jangan angkat adonan roti dari tungku api sampai aku datang.”

Tak disangka, Nabi berteriak lantang. Mengundang seluruh sahabat muhâjirîn dan anshâr yang menggali parit untuk ikut mencicipi hidangan dari sahabat Jâbir RA. Undangan yang membuat sahabat Jâbir RA terhenyak.

Wahai para penggali parit! Jâbir telah membuatkan hidangan! Marilah kita semua kesana!” Tak butuh aktu lama, berangkatlah seluruh sahabat yang jumlahnya mencapai ratusan menuju rumah sahabat Jâbir RA. Tak terbayangkan, hidangan satu kuali kecil akankah cukup untuk menyambut mereka semua?

Sahabat Jâbir RA tentu saja amat panik. Beliau bergegas menemui istri beliau, dan mengatakan apa yang telah terjadi. “Celakalah! Nabi akan datang beserta seluruh sahabat muhajirin, anshar, dan semua orang yang turut serta bersama mereka!”

Istri beliau menimpali dengan tenang, “adakah Nabi bertanya berapa jumlah makanan yang kau miliki?”

Tentu saja.”

“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Istri Sahabat Jâbir RA, Suhailah binti Mas’ud RA menenangkan suaminya. Tidak mungkin rasulullah bertindak tanpa perhitungan. Pasti akan ada keajaiban.

Tak berapa lama, rombongan Nabi dan para sahabatnya tiba di kediamana sahabat Jâbir RA. Jumlahnya sangat banyak. Nabi memberikan komando kepada seluruh sahabat yang datang. “Masuklah kalian semua, dan jangan berdesak-desakan.”

Nabi sendiri yang membagikan semua makanan itu. Beliau menyobek roti yang telah matang, dan meletakkan daging diatasnya. Setiap kali Nabi mengambilkan bagian untuk satu orang, beliau menutup periuk dan kuali. Demikian seterusnya. Satu demi satu sahabat yang mengantri mendapatkan makanan. Tak ada yang tak mendapatkan makanan dari sebuah kuali kecil berisi daging domba kurus, dan sedikit roti. Keajaiban benar-benar telah tejadi. Sampai antrian habis dan seluruh sahabat telah merasa kenyang, hidangan yang semula disajikan tetap utuh tak berkurang sedikitpun.

“Makanlah, dan hadiahkanlah makanan ini kepada orang-orang. Karena mereka tengah kelaparan.” Pesan Nabi kepada istri sahabat Jâbir RA.

“Aku bersumpah demi Allah, para sahabat telah makan dan pulang, tapi daging milik kami masih utuh, begitu juga adonan tepung gandum kami masih tetap bisa dijadikan roti seperti biasanya.” Kata sahabat Jâbir RA terkagum-kagum atas apa yang baru terjadi di rumahnya.

Keajaiban memang selalu datang menyertai baginda Nabi Muhammad SAW sebagai bukti kalau beliau memang orang terpilih. Beliau adalah insan paling mulia, dan namanya dikenal di seluruh langit dan bumi. Allâhumma sholli ‘alâ sayyidinâ muhammad…

 

َ

[1] Lihat Shahih Bukhari, hadis 4106. Bab Perang Khandaq. Atau Fathul Bari juz 7 hal 321 cet. Dar Ihyau Turast

[2] صحيح البخاري  5/ 108  Atau lihat Fathul Bari juz 7 hal 317-319 cet. Dar Ihyau Turast

حَدَّثَنَا خَلَّادُ بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَاحِدِ بْنُ أَيْمَنَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: أَتَيْتُ جَابِرًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: إِنَّا يَوْمَ الخَنْدَقِ نَحْفِرُ، فَعَرَضَتْ كُدْيَةٌ شَدِيدَةٌ، فَجَاءُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: هَذِهِ كُدْيَةٌ عَرَضَتْ فِي الخَنْدَقِ، فَقَالَ: «أَنَا نَازِلٌ». ثُمَّ قَامَ وَبَطْنُهُ مَعْصُوبٌ بِحَجَرٍ، وَلَبِثْنَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ لاَ نَذُوقُ ذَوَاقًا، فَأَخَذَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المِعْوَلَ فَضَرَبَ، فَعَادَ كَثِيبًا أَهْيَلَ، أَوْ أَهْيَمَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ائْذَنْ لِي إِلَى البَيْتِ، فَقُلْتُ لِامْرَأَتِي: رَأَيْتُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مَا كَانَ فِي ذَلِكَ صَبْرٌ، فَعِنْدَكِ شَيْءٌ؟ قَالَتْ: عِنْدِي شَعِيرٌ وَعَنَاقٌ، فَذَبَحَتِ العَنَاقَ، وَطَحَنَتِ الشَّعِيرَ حَتَّى جَعَلْنَا اللَّحْمَ فِي البُرْمَةِ، ثُمَّ جِئْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالعَجِينُ قَدْ انْكَسَرَ، وَالبُرْمَةُ بَيْنَ الأَثَافِيِّ قَدْ كَادَتْ أَنْ تَنْضَجَ، فَقُلْتُ: طُعَيِّمٌ لِي، فَقُمْ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَرَجُلٌ أَوْ رَجُلاَنِ، قَالَ: «كَمْ هُوَ» فَذَكَرْتُ لَهُ، قَالَ: ” كَثِيرٌ طَيِّبٌ، قَالَ: قُلْ لَهَا: لاَ تَنْزِعِ البُرْمَةَ، وَلاَ الخُبْزَ مِنَ التَّنُّورِ حَتَّى آتِيَ، فَقَالَ: قُومُوا ” فَقَامَ المُهَاجِرُونَ، وَالأَنْصَارُ، فَلَمَّا دَخَلَ عَلَى امْرَأَتِهِ قَالَ: وَيْحَكِ جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ وَمَنْ مَعَهُمْ، قَالَتْ: هَلْ سَأَلَكَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، فَقَالَ: «ادْخُلُوا وَلاَ تَضَاغَطُوا» فَجَعَلَ يَكْسِرُ الخُبْزَ، وَيَجْعَلُ عَلَيْهِ اللَّحْمَ، وَيُخَمِّرُ البُرْمَةَ وَالتَّنُّورَ إِذَا أَخَذَ مِنْهُ، وَيُقَرِّبُ إِلَى أَصْحَابِهِ ثُمَّ يَنْزِعُ، فَلَمْ يَزَلْ يَكْسِرُ الخُبْزَ، وَيَغْرِفُ حَتَّى شَبِعُوا وَبَقِيَ بَقِيَّةٌ، قَالَ: «كُلِي هَذَا وَأَهْدِي، فَإِنَّ النَّاسَ أَصَابَتْهُمْ مَجَاعَةٌ»

[3] Fiqh Siroh Nabawi, Syaikh Ramadhan Buthy, hal 220. Cet Darus Salam. Cet ke 24. Tahun 2015.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.