Merongrong NKRI, Menggali Kuburan Sendiri

Sejarah selalu milik para pemenang. Idiom ini begitu klasik kita dengar. Sebagian orang menyangka idiom ini sebagai ungkapan kekecewaan atas penulisan sejarah yang tak objektif. Mereka sering menemukan fakta-fakta yang berlainan, bahkan bertolak belakang dengan apa yang telah ditulis rapi oleh para sarjana. Lebih jauh, penulisan yang tak objektif itu disinyalir sebagai upaya deislamisasi, upaya meruntuhkan nilai-nilai positif agama Islam, bahkan hingga menyentuh ranah akidah ahlussunnah wal jamaah (aswaja).

Beberapa tahun belakangan, ancaman terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia tak henti-hentinya datang bergantian, bak tetesan air di musim penghujan, turun bersamaan dan menyasar di semua lini. Beberapa pengamat menerka, peristiwa ini tak lepas dari rasa nasionalisme masyarakat yang kian terdegradasi. Lebih-lebih, mereka kaum muda yang kini teramat minim minatnya terhadap kajian sejarah.

Komunitas-komunitas masyarakat kini berbondong-bondong mengusung isu nasionalisme ini, agar menjadi tema yang penting untuk diperhatikan seluruh komponen masyarakat. Nahdlatul Ulama (NU) menjadi salah satu gerbong yang mengantar rakyat Indonesia untuk meneguhkan jiwa nasionalisme.

NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia merasa berkewajiban untuk merawat kesatuan negara ini. NU merasa ini adalah sebuah warisan dari para pendiri, juga para pendahulu. Lebih-lebih, masyarakat NU merasa bahwa ini adalah tanggungjawab yang dibebankan oleh para penyebar Islam pertama di Nusantara, Walisongo.

Para manusia kekasih Allah itu telah mencontohkan bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia kini merawat tanah airnya. Pati Unus, seorang Raja Demak, adalah salah seorang yang mendapat didikan arif Walisongo. Ketika ia menerima informasi Portugis, bangsa penjajah dahulu, hendak berlayar ke Malaka pada tahun 1521, ia segera menyiapkan pasukannya. Raja yang berjuluk Pangeran Sabrang Lor itu sadar, bahwa kehadiran bangsa Portugis ini tak lain untuk menjajah dan merenggut harta kekayaan Nusantara. Sementara ia merasa bahwa Nusantara tak lain adalah tanah air yang harus dipertahankan mati-matina, olehnya dan oleh seluruh bangsanya.

Beratus-ratus tahun kemudian, perjuangannya terus dipertahankan oleh para ulama. Komitmen ulama-ulama terdahulu terhadap Nusantara, tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka menanamkan rasa nasionalisme ini dengan cara yang arif. Indonesia yang telah merdeka, bukan berarti perjuangan mereka telah selesai. Cita nan agung dalam merawat Nusantara mereka wujudkan dengan menyisipkannya dalam budaya-budaya. Seperti kebiasaan merayakan kelahiran anak dengan membuat bubur merah, dengan bubur putih di tengah. Atau membuat idiom-idiom sederhana seperti “sekapur sirih, yang menyiratkan warna bendera, putih (kapur) dan merah (sirih).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.