Santri Bicara Nasionalisme

Pembahasan tentang nasionalisme menjadi agak mainstream akhir-akhir ini di pondok pesantren Lirboyo. Menyusul “diturunkannya” as’ilah Bahtsul Masail tingkat pondok oleh Lajnah Bahtsul Masa’il P2L yang membahas tentang isu “Urgensi Bela Negara dan Nasionalisme”. Ya, tema ini sama dengan tema multaqo ulama sufi internasional yang digelar di Pekalongan pertengahan Januari silam. Banyak kajian mewarnai saharul layali, mulai diskusi kecil-kecilan, sampai dalam skala yang agak besar di auditorium Lajnah Bahtsul Masail yang melahirkan banyak gagasan baru. Bahkan yang sedikit menyinggung metode pembelajaran, seperti mungkinkah diskursus tentang nasionalisme dijadikan kurikulum? Kajian ini, diharap masih akan berlanjut, diteruskan lewat seminar-seminar sekala kecil atau menengah di tingkat jam’iyyah far’iyyah maupun wilayah, atau sekala besar seperti jam’iyyah nahdhiyyah. Semua dengan satu tujuan, memahami arti nasionalisme dengan benar, lantas menerapkan teori bela negara sesuai dengan kapasitas masing-masing.

Lalu disaat banyak negara di timur tengah sedang mengalami krisis, isu tentang nasionalime semakin terangkat. Bukan karena apa-apa, ujung-ujungnya, salah-satu faktor kemunduran sebuah negara juga dilatar belakangi atas kurangnya semangat nasionalisme. Indonesia masih tetap bersatu dan hidup sejahtera, salah satunya karena banyak yang memahami “arti sebuah negara” bukan dalam konteks politik dan carut marut kekuasaan, namun nilai positifnya.

Nasionalisme Bersejarah

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris nation) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang mempunyai tujuan atau cita-cita yang sama dalam mewujudkan kepentingan nasional, dan nasionalisme juga rasa ingin mempertahankan negaranya, baik dari internal maupun eksternal.1

Nasionalisme dulu banyak digiatkan oleh para ulama dan tokoh masyarakat di zaman penjajahan Belanda. Salah satu tokoh nasionalisme adalah al-‘allamah syaikh Nawawi Banten. Beliau disebut-sebut sebagai motor penggerak nasionalisme untuk mempertahankan bumi pertiwi lepas dari cengkeraman penjajah. Sepulang beliau menuntut ilmu, beliau melihat banyak praktik ketidak ailan yang merebak di Banten. Banyak penindasan dan kesewenang wenangan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Mengamati hal tersebut, beliau melakukan “ekspedisi” mengelilingi kota Banten dengan tujuan mengobarkan semangat nasionalisme melawan penjajah. “Pada masa mudanya, dia (Syaikh Nawawi) sering mengobarkan semangat nasionalisme dan patriotisme ddikalangan rakyat Indonesia.” Begitulah kira-kira pengakuan Dr. Snouck Hourgronje, salah satu tokoh sentral Belanda. Salah satu figur lain yang tak kalah populer menggiatkan spirit nasionalisme adalah hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau menggelorakan semangat rakyat untuk cinta dan membela tanah air dengan mengeluarkan resolusi jihad, “jangan pernah menyerah kepada pasukan sekutu!”.

Nasionalisme bukan barang baru, meski digiatkan pada awalnya untuk meraih cita-cita mulia bebas dari jajahan negara asing, nasionalisme di masa kini masih perlu, untuk setidaknya mempertahankan diri. Membangun kualitas menuju sebuah negara yang besar.

Urgensi Nasionalisme

Dalam tafsir mafatihul ghaib, karya besar imam Fakhr Al-Razy, ulama asal Ray Persia, beliau mengomentari tentang sirr, rahasia do’a yang dipanjatkan Nabi Ibrahim AS. Dan diabadikan dalam Alquran surat Albaqoroh ayat 126,

{125) وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (126)}

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali“.

Ada tujuh hal yang dipanjatkan Nabi Ibrahim AS dalam doanya, dan beliau mengawalinya dengan doa agar tempat yang sedang beliau tempati sementara itu semoga diberi limpahan kesejahteraan. Rabbi ij’al hâdzâ al-balad âminâ, tuhanku semoga senantiasa engkau jadikan negriku aman sentosa. “Mengawali doa dengan meminta nikmat kesejahteraan dalam doa tersebut menunjukkan bahwasanya nikmat kesejahteraan suatu daerah adalah salah satu nikmat terbesar. Dan kemaslahatan agama dan dunia tak akan tercapai kecuali dengan adanya kesejahteraan tersebut.” Tulis imam Fakhr Al-Razy2.

Pentingnya nasionalisme dapat kental kita rasakan dengan hasil akhir yang dapat kita kecap kemudian. Negara yang maju. kuat dan sejahtera. Tentu jika sudah memiliki tanah air yang nyaman, apapun yang akan kita kerjakan disana akan berjalan stabil. Yang pada akhirnya orang dapat beribadah dan bermasyarakat dengan tenang, sebagai wujud islam agama yang rahmatan lil’alamin.

Nabi Muhammad SAW “mencontohkan” semangat nasionalisem dengan rumusan Piagam Madinah. Piagam pemersatu penduduk Yatsrib ini dijadikan acuan untuk mempertahankan dan membangun kota Yatsrib di kemudian hari. Salah satu poin menyepakati persatuan seluruh warga Yatsrib, “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga.”(Pasal 25) Tidak pandang bulu, siapapun harus menyediakan diri bahu-membahu jika kota Yatsrib dalam keadaan “gawat” diserang musuh. Atau bunyi pasal pertama, “Mereka -mukmin Yatsrib dan Quraisy- adalah satu kesatuan.

Nasionalisme Santri

Sulit rasanya membayangkan “nasionalisme santri” dengan definisi yang formal. Santri terbiasa dididik dengan lingkungan syar’i yang mencerminkan aturan-aturan baku rumusan ulama-ulama terdahulu. Hukum-hukum fiqh yang dipelajari santri dalam kitab-kitab kuning, apalagi ketika merambah bab-bab siyasah (politik), dan jinayah (pidana), sekarang seperti sudah “tidak diberlakukan” lagi di Indonesia. Orang mencuri tidak lagi dipotong tangan, namun cukup dipenjara. Orang merampok dan membunuh korbannya tidak lagi di”pertontonkan” dan dibiarkan terlantar di pinggir jalan. Kadang hal ini menimbulkan sikap “salah faham” motifasi untuk mendirikan negara islam. Atau justru sebaliknya, menyerah begitu saja pada keadaan tanpa melakukan kajian apapun dan tak mengambil sikap apapun. Penting bagi pelajar yang akrab dengan kitab turats, untuk meneguhkan semangat nasionalisme, agar bisa mempraktikkan “apa yang mereka dapat” dengan tepat. Sehingga harus digiatkan untuk membagi nasionalisme santri dalam dua skala prioritas. Konsep hidup bernegara, dan konsep hidup beragama. Konsep hidup bernegara melahirkan sikap menyetujui NKRI, dan empat pilar sebagai sebuah landasan. Sementara konsep hidup beragama adalah menyelaraskan antara syari’at yang dipelajari dengan negara memakai cara yang tepat. Tidak salah mengambil sikap. Hingga akhirnya mudah ikut terbawa gagasan-gagasan yang tidak benar.

Santri bukannya tidak dapat mengambil peran apapun dalam kancah membangun nasionalisme, justru perannya menjadi vital, karena selain sebagai roda, juga berperan membangun sisi lain sebuah negara, dari bidang yang dikuasainya. Keagamaan. Mengarahkan nasionalisme dengan nafas islami.

Konferensi Ulama di Pekalongan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.