Pesan Agama untuk Calon Mempelai

Sebagai makhluk yang dalam fithranya di beri syahwat, yang tidak bisa di hilangkan, hanya saja bisa di arahkan,  manusia di tuntut untuk menyalurkannya pada jalur yang benar dan di restui oleh syara’, yakni Nikah. Aturan agama bukanlah untuk mempersulit keperluan penganutnya, tapi justru memberinya jalan yang terbaik. Karena manusia tidaklah mengerti sepenuhnya apa yang terbaik bagi kehidupannya, baik dunia maupun akhirat, oleh karenanya di perlukan bimbingan syariat, yang pembuatnya tak lain adalah Sang Maha Tahu kebaikan makhluk dan tanpa ada keperluan apapun. Mengenai hal ini, keturunan, merupakan hal pokok yang amat di pedulikan, karenanya langkah untuk menghasilkannya tidak boleh keluar dari pengajaran Agama. Dengan menikah, selain seseoarang itu telah berada pada “posisi aman”, ia juga telah menolong agama dan menghinakan setan. Kerusakan seseorang pada umumnya bersumber pada dua hal, perut dan kemaluan. ketika kebutuhan perut telah terselesaikan, ia akan beranjak pada keperluan kemaluannya, sesuai apa yang di isyaratkan oleh Nabi saw : “Jika seorang hamba menikah, berarti ia telah menyempurnakan separuh agamanya, maka hendaklah bertaqwa kepada Allah Swt. pada separuh sisanya.” (HR Baihaqi). Nabi mengingatkan agar berhati-hati separuh hal selainnya kemaluan, yakni perut dan hal- hal lain yang berhubungan dengannya, sudah maklum adanya, bahwa meski secara kasat-mata apa yang di ambisikan sesorang tida bersangkutan dengan urusan perut, akan tetapi kalu di telisik lebih lanjut pasti muaranya sama. Untuk mengontrol syahwat yang bergejolak, Nabi memberikan resep peredamnya, yakni dengan berpuasa. Dengan kondisi lapar, gejolak syahwat bisa lebih tertekan. Ada banyak tujuan mulia yang bisa kita jadikan sebagai pijakan utama ketika menghendaki untuk menikah. Di antaranya untuk menghasilkan keturunan, dengan mempunyai keturunan seseorang bisa menuai kebaikan darinya kelak, semisal untuk mencari ridla Rosulullah saw. Karena beliau Nabi, di hari kiamat nanti akan membanggakan jumlah ummatnya yang banyak di hadapan Nabi-nabi yang lain, sehingga dengan banyak keturunan, kita turut andil  dalam “mensukseskan acara” Beliau, sebagaimana perintah Nabi untuk memperbanyak keturunan yang sudah tidak asing kedengarannya. Tujuan lainnya, yakni berharap doa dari anak terhadap orang-tuanya yang telah meninggal   sebagaimana keterangan yang mengatakan bahwa amal seseorang akan terputus ketika meninggal, kecuali tiga hal, sedekah jariyah, ilmu yang manfaat dan anak yang saleh yang mendoakan terhadap orang tuanya. Cucu tercinta Nabi, sayyidina Hasan Ra. Adalah sosok yang paling sempurna serupanya dangan baginda nabi. Sabda Nabi : “ Hasan itu lebih serupa denganku dalam sisi fisik dan akhlaknya.” Beliau mempunyai jumlah istri yang sangat banyak, sampai dalam kisaran 200 !! hingga dalam satu kali keadaan beliau bisa langsung menceraikan 4 istrinya sekaligus, atau sebaliknya, langsung menikahi 4 orang perempuan. Jangan di artikan beliau hanya mementingkan syahwat, tapi lebih karena ingin memperbanyak keturunan.   Selanjutnya, dengan mempunyai keturunan, orang tua di harapkan  akan bisa mendapat syafaat (pertolongan) anaknya saat si anak mati ketika masih kecil. Seperti yang di terangkan dari sebuah hadis, bahwa nanti, di akherat, anak-anak orang muslim, yang meninggal masih dalam kondisi belum dewasa, akan di perintahkan langsung masuk surga tanpa ada hisab amal, tapi ternyata, mereka, anak-anak itu tidak mau, malah bertanya pada Malaikat penjaga perihal orang tuanya, setelah di jawab bahwa orang tua mereka masih ada urusan dengan amal-amalnya waktu di dunia dulu, bocah-bocah tadi malah menjerit tak keruan, lantas Allahpun memerintahkan MalaikatNya untuk mencari dan membawa orang tua anak tadi untuk masuk surga bersama sang anak. Hal ini kiranya bisa di jadikan sebagai penghibur untuk sepasang suami-istri yang sedang di rundung kesedihan ketika anak yang di tunggu lama lalu hadir membawa penenang hati, tapi malah umurnya tidak panjang. Bahwa nanti di hari kiamat anaknya bisa menolonya dari kesusahan-kesusahan yang datang menimpanya. Tujuan lainnya yakni untuk meredam syahwat, pasti menjadi agak masygul  kedengarannya. Kok bisa tujuan menikah adalah untuk meredam syahwat, padahal Nikah sendiri itu untuk menghasilkan anak, sedang hal ini tidaklah akan bisa terjadi kecuali pada orang-orang yang mempunyai syahwat atau gairah seks,artinya orang tersebut tidak impoten. Keberadaan di sunnahkannya menikah bukanlah terletak pada syahwat belaka, artinya sepirit menikah dari sudut obyek dan pelakunya tidaklah hanya melulu tentang syahwat, tapi lebih ke tujuan fundamen terdahulu di atas tadi, yakni melestarikan keturunan. Maka dari itu tidaklah mengheran jikalau syariat tetap mengatakan sunnah hukumnya menikah bagi orang yang tidak mempunya “keperkasaan” di hadapan perempuan, atau impoten. Karena penyakit ini sifatnya sudah di luar kuasa kita untuk mengusahakannya, nyatanya orang yang demikian ini hanya bisa membangkitkan  syahwat dengan saja dengan hasil yang masih belum menentu.bahkan tidak hanya orang yang kehilan kejantanan saja yang tetap di sunnahkan menikah, tapi orang yang tidak punya kelaminpun sama di sunnahkan. Dari sini Nabi sudah mengisyaratkan pentingnya sebuah keturunan guna menjadi tujuan pokok untuk menikah, beliau bersabda : “ sebaik-baiknya perempuan-perempuan kalian ialah yang (bisa) mempunyai banyak keturunan juga mencintai suaminya.” Atau  dalam teks yang lain beliau menyinggung masalah perempuan yang tidak bisa menghasilkan keturunan “ perempuan yang hitam dan jelek tetapi mampu mempunyai keturunan banyak itu lebih baik ketimbang perempuan yang cantik tapi mandul.” seseorang yang berkeluarga akan lebih bisa memejamkan matanya, menajaga syahwatnya, bahkan sebagian ulama, sebelum berbuka puasa, menjimak istrinya dulu. dengan tujuan agar ibadahnya menjadi mebil tenang.  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.