Formalisasi Syariat dalam Negara

Formalisasi Syariat dalam Negara
Oleh: A. Zaeini Misbaahuddin Asyu’ari*


Kalau kita mau flashback terhadap sejarah, memang semenjak dahulu, pergulatan perihal perlu dan tidaknya memformalkan syariat Islam dalam bentuk institusi negara sempat menjadi perbincangan hangat. Bahkan, terjadi perdebatan sengit antara golongan Islam dan Nasionalis.

Endingnya, para founding fathers (pendiri negara) sepakat untuk menghapus “tujuh kata” dalam piagam Jakarta. Piagam ini memang merupakan bagian penting dari tuntutan formalisasi syariat Islam, karena memberikan pijakan konstitusi.

Dalam piagam ini, tertera tujuh kata yang menunjukkan tentang pemberlakuan syariat Islam, yakni “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

baca juga: Nasionalisme Rasulullah Saw.
Jauh sebelum itu, saat Muktamar di Banjarmasin pada tahun 1935, Nahdlatul Ulama memutuskan untuk tidak mendukung terbentuknya Negara Islam dan diperbolehkannya didirikannya negara bangsa.

Nahdlatul Ulama berkeyakinan bahwa syariat Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal. Sebab, NU lebih mengidealkan substansi nilai-nilai syariat terimplementasi di dalam masyarakat ketimbang mengidealisasikan institusi.


Almaghfurlah K.H. A. Sahal Mahfudz mengungkapkan: “Kehadiran institusi formal bukan suatu jaminan untuk terwujudnya nilai-nilai syariat di dalam masyarakat. Apalagi, mengingat kondisi objektif bangsa Indonesia yang ditakdirkan oleh Allah Swt. dengan penduduk dan masyarakat yang mejemuk. NU Sejak awal mengusung ajaran Islam tanpa melalui jalur formalistik, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara formal, tetapi dengan cara lentur.” Tegasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.