TERLAHIR KEMBALI MELALUI IDULFITRI

  • KH. Abdul Mu'id Shohib
  • Apr 30, 2022
Terlahir Kembali Melalui Idul Fitri

Oleh: KH. Abdul Mu’id Shohib

Ramadan sebentar lagi meninggalkan kita semua. Semoga dari puasa yang selama ini kita jalani, menjadi inspirasi dalam perjuangan melawan hawa nafsu diri kita, serta mengasah rasa solidaritas atas sesama. Semoga pula aneka ibadah yang mengisi hari-hari Ramadan kita semakin mendekatkan diri kepada-Nya, bukan malah menjadikan kita ujub, berbangga diri dan merasa lebih baik dari orang lain. Karena pada hakikatnya, ibadah yang kita lakukan tak lebih dari anugerah dan pertolongan Allah kepada kita. Jangan pula kita merasa pede dengan bermodal aneka ragam ibadah tersebut, lantas kita berhak menjadi ahli surga, terbebas dari api neraka. Karena bagaimanapun, “Tidak seorang pun dapat masuk surga semata karena amal ibadahnya (HR. Muslim)

Justru yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana kita meminimalkan dosa, apalagi di bulan Ramadan ini. Karena banyaknya dosa akan memperberat proses kematian seseorang, juga menjadi faktor beratnya siksaan kita kelak di akhirat. Maka senyampang Ramadan, bulan penuh ampunan, kita bermohon ampunan kepada Allah dari dosa-dosa yang pernah kita lakukan di masa lampau. Jangan sampai momentum Ramadan lewat, sedangkan dosa-dosa kita belum terampuni, sungguh merugi jika demikan. Raghima anfu rajulin dakhala alaihi Ramadan wansalakha Ramadan qabla an yughfara lahu. Maka, tatkala selama Ramadan memperbanyak istighfar memohon ampun kepada Allah, seorang hamba akan diampuni seluruh dosanya hingga bersih.

Tetapi ini hanya terkait dengan dosa-dosa yang terjadi antara seorang hamba dengan Tuhannya, alias haqqullah saja. Sedangkan dosa-dosa yang terkait dengan orang lain, atau haqqul adami, tak akan terampuni selama pemilik hak belum memberikan maafnya. Seseorang menyakiti orang lain, selama orang lain yang disakiti belum memaafkan, maka dosa pelaku terkait perbuatan menyakiti tak akan hilang meski dibacakan istighfar berkali-kali. Karenanya, selepas Ramadan yang kita lalui dengan serangkaian kegiatan ibadah, semoga menghapus segala dosa kita terkait hubungan kita sebagai hamba dengan Allah Sang Pencipta. Tinggal dosa-dosa kita terkait dengan hubungan kita dengan sesama manusia, tak akan bisa terhapus kecuali dengan saling meminta dan memberi maaf, sebagaimana tradisi khas kaum muslimin di nusantara sejak dahulu.

Bagaimana jika orang yang kita sakiti, atau kita langgar haknya tak mau memberikan maafnya setelah kita memintanya, apakah kita masih terbebani dosa? Ya, selamanya kita akan terbebani dosa itu sampai terbayar lunas di akhirat kelak, dengan mengambil saldo pahala kebaikan kita setara dengan beban dosa yang harus kita tanggung akibat melanggar hak orang lain tersebut. Jika ada banyak orang yang kita langgar haknya, atau berkali-kali kita berbuat dosa pada orang lain, maka sebanyak itulah saldo pahala kita berkurang dan berpindah pada orang-orang yang kita sakiti atau kita langgar haknya. Sangat mungkin, seseorang dengan saldo pahala kebaikan di akhirat yang berlimpah akibat rajin beribadah selama di hidup dunia, menjadi habis saldo pahalanya akibat banyak dan seringnya ia melakukan perbuatan zalim atau melanggar hak orang lain. Bahkan jika masih ada korban kezaliman yang belum mendapat ganti rugi dari pahala kebaikan si pelaku kezaliman, maka dosa-dosa korban kezaliman akan ditimpakan kepada si pelaku kezaliman setara dengan dosa kezaliman yang dilakukannya selama di dunia. Saldo pahala kebaikan habis, sedangkan daftar dosa semakin banyak, akhirnya dijebloskanlah ia ke dalam neraka. Inilah yang dimaksud sebagai al-muflis (orang bangkrut) sebagaimana dalam hadis.

Menjadi amat penting, mendapatkan permaafan dari semua sahabat dan orang-orang yang mungkin pernah kita sakiti, penyelesaian harus segera dilakukan selama kehidupan di dunia ini. Sekira harus ada hukuman, maka pelaku kezaliman harus siap menerima hukuman, sekira harus ada pembalasan, pelaku kezaliman juga harus siap menerima pembalasan, bahkan jika untuk mendapatkan maaf harus dengan memberikan sejumlah harta sekalipun, selayaknya pelaku kezaliman memberikannya, demi sebuah pemberian maaf, sebagaimana dijelaskan oleh sebagian ulama’.

Dan sebaliknya, tatkala seseorang berbuat khilaf kepada kita, dan dia sudah mengakuinya, serta mau meminta maaf, sudah seharusnya kita pun memberikannya permaafan. Bahkan, andaikata dia belum atau bahkan tidak mau meminta maaf, permaafan dari kita adalah sebuah tindakan mulia. Dengan kemurahan ini, semoga kita pun mudah mendapatkan permaafan dari orang lain di saat kita berbuat khilaf atau zalim padanya. Kama tadinu tudanu, seperti apa engkau berbuat seperti itulah engkau dapat balasannya, demikian petuah Rasulullah saw.

Memaafkan adalah akhlak luhur yang hanya bisa dilakukan oleh orangf-orang istimewa dan orang-orang berilmu. Ciri-ciri orang bertakwa, sebagaimana firman Allah, di antaranya adalah mampu menahan amarah pada orang yang bersalah, memberikan maaf kepadanya, dan bahkan membalasnya dengan kebaikan (QS. Ali Imran : 133-134). Rasulullah bersabda, “Barangsiapa suka dibangunkan istana di surga dan diluhurkan derajatnya, maka hendaklah dia memaafkan orang yang berbuat zalim kepadanya, memberi kepada orang yang menghalanginya (dari pemberian), dan menyambung hubungan dengan orang yang memutuskannya”  (HR. Al-Hakim).

Akhlak seperti inilah yang diteladankan Rasulullah saw. di banyak kesempatan dalam sirah kehidupan beliau. Salah satunya, kisah Fathu Makkah, yakni penaklukan kota Mekkah. Di saat Rasulullah bersama kekuatan besar kaum muslimin berbondong-bondong dari Madinah menuju Mekkah, kemenangan pun tak terbendung. Kaum muslimin di bawah pimpinan Rasulullah memasuki Mekkah dengan tanpa perlawanan berarti dari kaum kafir Quraisy. Terbayang, bagaimana sekian tahun silam, Rasulullah bersama kaum muslimin diancam, diintimidasi dan dianiaya, bahkan dibunuh, hanya gara-gara menyatakan beriman kepada Allah Yang Esa, hingga terusir dari Mekkah dan hijrah ke Madinah. Gangguan demi gangguan tak kunjung reda, bahkan pengkhianatan atas perjanjian pun mereka lakukan. Kini, mereka berhadapan dengan Rasulullah saw., dan beliau bertanya, “Kira-kira, apa yang akan aku timpakan pada kalian?” Kaum kafir Quraisy menjawab dalam harap, “Yang jelas, hal itu baik bagi kami, karena engkau adalah saudara kami yang bijak dan terlahir dari orang bijak pula”. Rasul memutuskan, “Pergilah kalian semua! Kalian aku bebaskan.” Mekkah pun ditaklukkan dengan mudah secara damai. Dari perilaku luhur Rasulullah yang di antaranya adalah mudah memaafkan inilah. panji-panji kebenaran agama Islam makin berkibar dan cahaya hidayah makin menyebar menyinar ke seluruh penjuru dunia. Semoga dengan penempaan selama Ramadan, dan silaturrahim saling memaafkan setelahnya, menjadikan kita sebagai pribadi-pribadi yang lebih baik, pribadi-pribadi muttaqin. Semoga dengan Idulfitri, kita terlahir kembali, kayaumi waladathu ummuhu, bersih dari segala dosa, sebagaimana bayi yang baru saja dilahirkan ibunya. Amin.

Baca juga: Khutbah Idul Fitri: Memperkuat Persatuan Umat

Subscribe juga : Youtube Pondok Lirboyo

TERLAHIR KEMBALI MELALUI IDULFITRI
TERLAHIR KEMBALI MELALUI IDULFITRI

4

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.