Lingkungan kehidupan manusia tidak hanya melulu tentang makan dan nyaman yang perlu untuk di pikirkan, akan tetapi juga mengenai keselamatannya di hari mendatang, dan ini yang di rasa sangat perlu paling di utamakan dan di latih. Sebab selain juga karena sangat berat, tidak hanya membutuhkan waktu bertahun-tahun, atau kalau tidak sama sakali dapat di gapai seumur hidup, Na’udzubillah.
Watak bawaan manusia, ia akan meniru apa yang ia lihat dan dengarkan, sehingga sangatlah perlu bagi kita untuk menyaring apa-apa yang di dengar telinga dan di lihat mata. Hujjatul islam Imam Al-Ghozali dalam kitab fenomalnya Ihya’ ‘Ulumuddin menjelaskan “… sedangkan terpengaruhnya watak manusia dari apa yang dia lihat dari perilaku manusia yang lain, adalah sebuah penyakit yang sulit untuk di obati…tidaklah seseorang ketika beragaul dengan orang fasiq serta ia masih ada rasa ingkar dalam hati (ketika melihat kemungkaran di hadapannya) apabila ia kembali mengoreksi kondisi sebelum ia bergaul dengan orang fasiq tadi, kecuali ia menemukan perbedaan antara dia dan temannya, dari sisi menghindari keburukan dan menganggap remeh keburukan. Sebab, keburukan (kemaksiatan) apabila sering melihatnya, akan di rasa enteng (untuk mengerjakannya) dan meremehkannya pada watak seseorang…”
Beliau memperingati terhadap pentingnya teman bergaul, sebab sangat rentan sekali baik buruknya teman akan berpengaruh dan merusak tatanan awal dari watak seseorang. Karena dengan seringnya kita melihat keburukan di lingkungan sekitar, lama-lama akan tertanam dalam perasaan bahwa hal tersebut bukanlah masalah besar, tabiatpun akan condong untuk mau mengerjakannya, atau setidaknya mengerjakan dosa di bawahnya. Pun demikian sebaliknya dengan kebaikan.
Sehingga tidaklah isykal kenapa beliau Nabi Saw. sangat senang dekat-dekat dengan sahabat beliau yang faqir, sebab dengan dekat mereka akan timbul dalam benak bahwa apa yang kita miliki dari nikmat allah amatlah sangat bernilai di banding nikmat yang allah berikan kepada mereka. Sehingga akan mendorong untuk mau banyak bersyukur. Begitupun pula sebaliknya, dengan dekat orang-orang kaya yang cinta dunia, kita akan merasa begitu kurangnya apa yang telah kita miliki, pada akhirnya kita akan kurang bersukur.
Atau dalam kasus lain, ketika kita melihat orang yang patuh terhadap agama dan pendusta, orang yang melihat seorang alim, ia akan membandingkan amalnya yang telah di kerjakan, betapa sangat sedikit sekali. setelah perasaan inferior (rendah) ini tertanam ia akan mulai sedikit demi sedikit untuk mengikuti langkah ibadah mereka.
Perubahan watak tidaklah hanya bisa menular lewat penglihatan terhadap kejadian-kejadian dihadapan kita, bahkan hal ini bisa terjadi walau dengan mendengarkan kebaikan dan keburukan itu sendiri.
Dari sini kita akan sedikit tau makna yang terkandung dalam sabda nabi :
“Mengingat orang shaleh menjadi sebab turunnya rahmat” (Sufyan bin Uyainah dikutip oleh Ibnu Jauzi dalam Muqaddimah Shifat ash-Shafwah)
Sebagaimana yang di terangkan Imam Al-Ghozali, yang di kehendaki Rahmat disini adalah pahala surga dan bertemu allah Swt. Di Turunnya rahmat disini yakni sebab dari mendapatkan rahmat tersebut, berupa tergeraknya hati untuk ingin mengikuti tindak lampah atau laku mereka, yang sebelumnya ada perasaan senang terhadap kebaikan, itulah yang di maksud dengan rahmat di sini.
Dengan demikian pula, ketika kita mengambil kefahaman sebaliknya, akan berarti “ dengan mengingat orang bertabiat buruk akan menurunkan laknat” sebab dengan banyak menyebut mereka akan ada rasa meremehkan terhadap keburukan, selanjutnya sangat mungkin bagi seseorang untuk mau malakukan keburukan. Jika sedemikian berpengaruhnya terhadap karakter seseorang walau hanya sekedar mengingat orang baik dan buruk, lantas bagaimana ketika kita melihat dan bergaul dengan mereka, kalau terus ditarik, betapa beruntungnya orang-orang yang semasa dengan tabiin, dengan sahabat Nabi, lebih beruntung lagi bisa semasa dan melihat langsung wajah mulia baginda Nabi Saw.
Kiranya dapat di mengerti, betapa islam tidak hanya mengatur kehidupan umatnya dalam perkara yang kasat mata saja, tetapi hal-hal yang tidak bisa dilihat sudah dengan rapi di jelaskan, tidaklah mungkin hal ini akan bisa di urai tanpa penjelasan langsung dari Sang Pencipta dengan perantara Nabi muliaNya.