Sungguh Indah Menjadi Kekasih Rasulullah

Suatu ketika, ada seorang laki-laki yang jarang membaca shalawat kepada Rasulullah saw. Pada suatu malam ia bermimpi melihat Rasulullah. Anehnya, sang Nabi tidak mau menoleh kepadanya. Dengan raut heran dia beranikan diri untuk bertanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau marah kepadaku?”

 “Tidak.”

Lelaki itu masih menyimpan rasa heran. Kemasygulannya belum terjawab.

 “Lalu sebab apakah engkau tidak memandang kepadaku?”

Lelaki itu menaburkan heran dan masygul di tiap kata-katanya. Ia tahan tarikan nafasnya beberapa detik. Menunggu jawab dari sang kekasih.

“Karena aku tidak mengenalmu.”

Jrusss. Perkataan itu menikam tajam. Seketika hati lelaki itu remuk redam. Jawaban Rasulullah membuat tumpukan rasa rindu lebur, menjadi debu-debu penyesalan. Bagai kekasih yang dicampakkan.

“Bagaimana engkau tidak mengenaliku, sedang aku adalah salah satu dari umatmu?”

Hatinya tak terima. Ia ingin dicintai kekasihnya. Bukan dibenci semena-mena.

“Bukankah engkau lebih mengenali umatmu dibanding seorang ibu mengenali anaknya?”

Sosok mulia yang ia cintai itu bukanlah membencinya. Ia bukanlah seorang pembenci. Kepada musuh-musuhnya sekalipun, ia tak pernah sedikitpun menanam kebencian. Ia tak punya cukup alasan untuk membenci makhluk-makhluk tuhan, apalagi pada umatnya yang terkemudian.

“Mereka benar, tetapi engkau tidak pernah mengingat diriku.”

Tak pernah mengingat dirimu? Wahai Rasul, bukankah shalatku, puasaku, zakatku, adalah tanda bahwa aku mencintaimu?. Hati lelaki itu dipenuhi keheranan yang memuncak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.