Syahdu Berdendang dengan Rima Burdah

  • Hisyam Syafiq
  • Jan 30, 2016

Antum tentu tahu Kasidah Burdah. Kasidah karya monumental Imam al-Bushiri ini berisi 160 bait syair. Setiap ujung baitnya (adhdhurub) diakhiri huruf mim dengan bunyi serupa. Sebuah pilihan salah satu unsur badhi’ lafdziy (seni penggubahan syair) yang dinilai sangat istimewa, yang kemudian membuat Kasidah Burdah juga dikenal dengan Qosidah Mimiyah.

Dalam sastra Arab, persamaan bunyi semacam ini disebut sajak atau jinas dalam kasus yang tidak persis sama. Sajak adalah persamaan bunyi setiap akhir kelompok kata (fashilah) dalam kalam natsar (prosa) atau masing-masing ujung setiap syathar bait (arud dan dhurub) dalam syi’ir (puisi). Contoh sajak ini bisa ditemukan dalam doa qunut:

اللهم اهدني فيمن هديت * وعافني فيمن عافيت *وتولني فيمن توليت

Sementara dalam Bahasa Indonesia, persamaan bunyi disebut rima atau persajakan. Setidaknya ada delapan macam jenis rima, diantaranya rima sempurna dan rima tak sempurna atau rima awal dan rima akhir dan lain sebagainya. Kesemuanya merupakan persamaan bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait. Maka, rima bisa kita sebut semakna dengan sajak dalam sastra Arab.

Dalam dunia sastra, rima atau sajak memiliki fungsi estetis tersendiri yang tidak tergantikan dengan cara lain. Penggunaan rima atau pembentukan sajak dapat memunculkan keindahan dan kekuatan ekspresif dari gagasan yang hendak disampaikan, baik gagasan keras menggelegak penuh prinsip maupun gagasan sembilu berderai air mata. Kita ambil contoh kutipan Kasidah Imam Muhammad al-Bushiri berikut:

أيحسب الصب أن الحب منكتم * ما بين منسجم منه ومضطرم

Apakah orang yang kasmaran menduga bahwa cinta dapat disembunyikan dalam deraian air mata dan keagungan jiwa?

لولا الهوى لم ترق دمعا على ظلل * ولا أرقت الذكر والعلم

Kalaulah bukan karena cinta, tidaklah mungkin engkau teteskan air mata di atas puing-puing, dan tidak pula terjaga sepanjang malam karena mengingat pepohonan dan pegunungan di tempat kekasih

فكيف تنكر حبا بعد ما شاهدت * به عليك عدول الدمع والسقم

Bagaimana engkau pungkiri rasa cinta, setelah deraian air mata dan derita sakit menjadi sebuah saksi terhadapnya

وأثبت الوجد حظي عبرة وضنى * مثل البهار على خذيك والعنم

Dan kerinduan telah menorehkan dua garis air mata dan derita seperti mawar kuning dan mawar merah pada kedua pipimu

Kutipan di atas dapat kita lihat secara jelas, bagaimana Imam al-Bushiri berman-main dengan rima dan ritme, memanfaatkan fungsi estetisnya, serta menguatkan pesan makna yang disampaikan. Dengan upaya ini ia telah berhasil menanamkan kecintaan pembaca kepada sang legendaris (Nabi Muhammad SAW) secara lebih mendalam.

Selain itu, pesan moral dan spiritual juga Al-Bushiri gubah dalam kasidah tersebut sebagai bentuk usaha untuk mengajak manusia, umat Islam khususnya, untuk kembali mencontoh kehidupan arif sang Nabi, sehingga semuanya terasa lengkap dan sempurna.

Syaikh Muhammad al-Bushiri dengan karya monumentalnya

Burdah yang menjadi tema utama dalam karya Imam al-Bushiri adalah merujuk kepada jubah yang dipakai Nabi Muhammad SAW, yang kemudian diberikan kepada Ka’ab bin Zuhair bin Abi Salma. Ka’ab adalah seorang penyair yang telah banyak menulis syair pujian kepada Nabi. Karena itu, ia dijuluki muhadromain (penyair dua zaman yaitu zaman jahiliyah dan Islam), sebagai bentuk apresiasi kepada penyair ulung tersebut.

Kasidah Burdah mulai dikenal -dan kemudian terus terkenal- bermula ketika Imam al-Bushiri diserang penyakit syalal (lumpuh). Dalam keadaan sakit itulah ia mengarang kasidah yang berkaitan dengan Nabi Muhammad SAW.

Syahdan, suatu malam Imam al-Bushiri bermimpi melantunkan kasidah-kasidah yang dikarangnya tersebut di hadapan Rasulullah SAW. Baginda Nabi dalam mimpi tersebut begitu gembira dan menyukai kasidah tersebut. Saat itu Nabi mengusap muka Al-Bushiri dan menyentuh bagian tubuhnya yang lumpuh sambil memakaikan burdah (selimut bergaris) ke tubuh Al-Bushiri. Ketika ia terbangun dari tidurnya, seketika itu Al-Bushiri sembuh dari kelumpuhannya. Ia segera keluar dan menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada orang lain.

Sampai di sini, Kasidah Burdah yang merupakan luapan cinta dan rindu Imam al Bushiri kepada sang Rasul tak hanya indah kata-katanya. Nilai moral, spiritual dan doa-doanya juga memberi banyak manfaat. Karena itu, tak mengherankan jika sampai saat ini kasidah tersebut seakan menjadi sebuah keharusan untuk dibaca di setiap balai-balai pengajian. Kasidah ini bahkan dijadikan sebagai sebuah kajian khusus di lembaga-lembaga pendidikan di timur-tengah, sehingga banyak ulama memberikan catatan khusus tentang burdah baik dalam bentuk syarah (komentar) maupun hasyiah (catatan pinggir). Wallahua’lam bisshowab.

*) Penulis: Musthofa, santri Ponpes Lirboyo asal Madura

0

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.