Pentingkah Mendirikan Negara Islam?

Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan dengan pembakaran rumah-rumah eks Gafatar, Gerakan Fajar Nusantara di Kalimantan. Tindakan sepihak masyarakat ini sebagai bentuk puncak keresahan masyarakat tentang keberadaan aliran-aliran yang kian meresahkan. Gafatar sendiri, jika dilihat dari doktrin-doktrinnya jelas sesat. Gafatar, konon adalah “reinkarnasi” dari NII, Negara Islam Indonesia. Sebuah kelompok organisasi lama yang sepak terjangnya sudah tak asing lagi bagi kita beberapa tahun silam. NII, memiliki cita-cita klasik, yang memang selalu gagal, mendirikan lagi sebuah negara Islam. Mendirikan lagi hukum-hukum dengan prinsip Islam.

Kita tentu masih ingat peristiwa tahun 1924 M, ketika kesultanan Turki Ottoman yang telah berdiri ratusan tahun itu akhirnya dibubarkan. Adalah Musthafa Kemal Attaturk, salah satu tokoh yang melatar belakangi suksesi pemerintahan menjadi republik. Tentu setelah peristiwa bersejarah ini, banyak pihak dikecewakan. “Negara Islam” terakhir di muka bumi telah resmi hilang. Akhirnya, sebagai bentuk kekecewaan, muncullah kelompok-kelompok baru dengan cita-cita untuk mendirikan kembali negara Islam. Muncullah Ikhwanul Muslimin di Mesir beberapa tahun kemudian, salah satu penggeraknya, tokoh ulama Hasan Al-Bana. Dan seolah menjadi inspirator, disusul kemudian organisasi dan kelompok-kelompok lain yang sepaham. Mereka bergerak dengan beragam cara, mulai jalur damai sampai cara keras. Mulai Hizbut Tahrir sampai ISIS atau DI/TII, Darul Islam, Tentara Islam Indonesia yang bahkan sempat membuat stabilitas keamanan nasional terguncang.

Lantas seberapa pentingnya mendirikan sebuah negara Islam? Hingga mereka begitu bersikukuh menentang konstitusi yang sudah jadi?

Dahulu sekali, Ali Abdul Razaq, di Mesir, pernah menulis buku. Judulnya Al-Islam wa Qowa’id Al-Sulthan, Islam dan sendi-sendi kekuasaan.  Ia menyambut keruntuhan kesultanan Turki bukan dari sisi kontra. Ia menyangkal tentang perlunya sebuah negara Islam dengan beberapa dimensi pendukung. Seperti dalam Alquran tidak pernah ada istilah negara Islam. Yang ada hanyalah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr, sebuah negeri yang baik dan penuh pengampunan Tuhan. Nabi tidak pernah memperlihatkan watak politis, namun moral. Dan Nabi tidak pernah merumuskan tentang mekanisme penggantian “jabatannya.” Padahal hal tersebut sangat krusial dan penting, salah satunya untuk bisa jadi dalil akan adanya sebuah konsep negara dalam Islam. “Masalah sepenting itu bukannya dilembagakan, melainkan hanya diucapkan dengan sebah diktum saja: ‘masalah mereka (hendaklah) dimusyawarahkan antara mereka’. Mana ada negara seperti itu,” komentar KH. Abdurrahman Wahid pada suatu ketika.(ᵃ)

Habib Luthfi bin Yahya, berkali-kali menegaskan bahwa NKRI adalah harga mati. NKRI sudah final. Artinya tak perlu lagi ada ijtihad baru tentang negara Islam Indonesia. Hanya saja, kita sebagai warga negara Indonesia, harus menumbuhkan kembali semangat nasionalisme, dari serangan “opini-opini” yang tidak sepakat dengan pancasila. Menurut Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, “Sebenarnya maksud dari Islam di Nusantara, bukan merupakan ajaran atau aliran sendiri. Jadi bagaimana mewarisi Islam yang telah digagas atau dikembangkan para wali-wali dulu.”

Beliau melanjutkan, “Islam di belahan bumi Indonesia itu punya karakteristik sendiri yang unik. Kalau saja Walisongo itu tidak coba beradaptasi dengan lingkungan sekitar ketika Hindu dan Budha masih menjadi agama mayoritas, mungkin kita tidak bisa menyaksikan Islam yang tumbuh subur seperti sekarang ini”.

Untuk itu, perlunya kita menjunjung tinggi semangat nasionalisme, salah satunya demi menjaga keutuhan bangsa.

Negara Islam Bukanlah Segalanya

Ada wacana, bahwa mengangkat seseorang untuk menduduki jabatan pemimpin politik (al-imâmah) bukanlah segalanya. Namun hanya sebatas sarana untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

الامامة وسيلة لا غاية. وسيلة إلى إقامة الامر بالمعروف والنهي عن المنكر

“Kepemimpinan hanyalah sebagai sarana. Bukan sebagai tujuan akhir. Yaitu sarana untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar”.(ᵇ)

Kemudian, lebih lanjut, sahabat Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma’a al-kufri dan negara itu akan hancur dengan kezaliman meskipun ma’a al-muslimin”.

Musthafa Hilmi, juga menulis dalam bukunya, “Terbentuknya masyarakat islami secara prinsip bukanlah tujuan utama. Melainkan hanya sebagai sarana menuju tujuan utama. Tujuan utamanya adalah membangun masyarakat untuk selalu dalam kebaikan dan keadilan”.(ͨ )

Jelas dari beberapa wacana di atas, Negara Islam hanyalah media dan sarana. Bukanlah segalanya. Allah SWT pernah berfirman,

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangNya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hashr: 7)

Lebih lanjut, Nabi pernah bersabda, “Ketika aku perintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian.”

Prinsip taat kepada Allah SWT dan Rasulnya sebenarnya sederhana. Kita diharuskan menjalankan setiap kewajiban yang dibebankan kepada kita, semampunya. Apa yang tidak mampu kita lakukan, tentu kita tak harus dituntut untuk melakukannya. Kita diperintahkan untuk salat dengan berdiri, bagaimana jika kita tidak mampu melakukannya, tentu saja kita masih harus salat, hanya saja boleh sambil duduk. Lebih sederhana lagi, kita diperintahkan mendirikan salat Jum’at, lalu bagaimana jika jumlah penduduk tidak mencapai empat puluh orang? Kita tidak harus mendirikan salat Jum’at dan dicukupkan dengan salat dzuhur. Lantas, jika memang ada dalil nash yang mewajibkan kita mendirikan negara Islam? Masihkah kita harus melakukannya meskipun kita sudah tidak mampu lagi? Mengingat mendirikan negara Islam di Indonesia pada khususnya, atau di negara lain pada umumnya yang sudah memiliki konstitusi dan asas yang matang hanya akan menimbulkan “mafsadah”. Silahkan untuk dikaji kembali.

Nahdlatul Ulama (NU) sendiri memiliki peran dalam perkembangan bangsa Indonesia lewat keputusan-keputusannya, seperti Muktamar tahun 1954 yang melegitimasi kekuasaan presiden Ir. Soekarno, lalu tahun 1983 dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo membuat Piagam Hubungan Agama dan Pancasila, dan belum lama ini, tahun 2006 di Surabaya meneguhkan kembali komitmen kebangsaan untuk mempertahankan dan mengembangkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah NKRI.

Lalu kita coba akan berandai-andai, jika saja negara Islam jadi berdiri, tentu prinsipnya tidak akan berbeda dengan yang “dulu-dulu”. Salah satunya adalah menstatuskan masyarakat dalam tingkat kasta sosial keagamaan. Orang kafir akan menduduki status sosial “kelas dua.” Padahal, coba kita tengok pernyataan KH. MA. Sahal Mahfudz, yang semasa hidup menjadi tokoh sentral PBNU berikut,

“Dalam kerangka berpikir ini, maka seandainya ada produk fikih yang tidak bermuara pada terciptanya sebuah keadilan di masyarakat, maka harus ditinggalkan. Misalnya saja fikih politik (fiqh siyasah) yang seringkali diktum-diktumnya tidak sejalan dengan gagasan demokrasi yang mensyaratkan keadilan dan persamaan hak manusia di depan hukum. Rumusan fiqh siyasah klasik biasanya menempatkan kafir sebagai ‘kelas dua’, bukan entitas yang sederajat dengan kaum muslim. Saya rasa pandangan demikian harus mulai dirubah. Sebab pandangan ini selain bertentangan dengan ide negara bangsa (national-state) seperti Indonesia. Profesionalisme, kemampuan, dan kapabilitas mestinya yang menjadi pilihan utama, bukan muslim atau tidak, laki-laki atau perempuan”.(ᵈ)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.