Dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu manusia tidak terlepas dari interaksi dengan apapun yang ada di sekitarnya. Sebagaimana kehidupan, perubahan bukanlah hal asing lagi, tak terkecuali status najis. Sehingga apabila terjadi kontak langsung dengan najis atau perkara yang terkena najis maka akan berpengaruh terhadap keabsahan ibadah yang dilakukan. Maka dari itu, cara menghilangkan najis (izalatun najasah) yang baik dan benar sangat perlu untuk diketahui.
Pengertian Najis
Najis menurut arti bahasa adalah seseuatu yang menjijikkan, sedangkan menurut istilah syariat adalah sesuatu yang dianggap menjijikkan yang mencegah sahnya sholat (seandainya mengenai atau terbawa dalam sholat) dengan tanpa adanya suatu hal yang memperkenankan (dispensasi).[1]
Najis dibagi menjadi dua, yaitu najis Hukmiyah artinya najis yang tidak ada bentuk (jirim), rasa, warna atau bau. Kedua, najis ‘Ainiyah artinya najis yang memiliki salah satu dari (jirim) bentuk, rasa, warna atau bau.[2]
Cara menghilangkan Najis Hukmiyah terbagi menjadi tiga teori:
Pertama, Hukmiyah Mukhoffafah (hukum ringan)
Yakni berupa kencingnya anak laki-laki yang belum mencapai usia 2 tahun dan belum makan atau minum selain air susu ibunya sebagai makanan pokok. Dengan catatan najis tersebut telah hilang bentuk (jirim), rasa, warna atau baunya. Cara Menghilangkannya adalah dengan memercikkan air di permukaan sesuatu yang terkena najis sampai merata, sekalipun tidak sampai mengalir.
Kedua, Hukmiyah Mutawasithoh (hukum sedang)
Yakni selain najis mukhoffafah di atas dan selain najis anjing dan babi. Seperti darah, nanah, dan lain-lain. Dengan catatan najis tersebut telah hilang bentuk (jirim), rasa, warna atau baunya. Cara Menghilangkannya adalah cukup hanya dengan mengalirkan air pada sesuatau yang terkena najis, sekalipun hanya sekali asalkan airnya merata.
Ketiga, Hukmiyah Mugholadloh (hukum berat)
Yakni najis yang berasal dari anjing atau babi serta keturunannya. Dengan catatan najis tersebut telah hilang bentuk (jirim), rasa, warna atau baunya. Cara Menghilangkannya adalah dibasuh sebanyak tujuh kali, salah satu basuhan dicampur dengan debu, lumpur, atau pasir yang mengandur debu. Dan basuhannya harus merata ke seluruh tempat yang terkena najis.[3]
Adapun cara menghilangkan Najis ‘Ainiyah terbagi menjadi tiga teori:
Pertama, ‘Ainiyah Mukhoffafah (hukum ringan)
Yakni berupa kencingnya anak laki-laki yang belum mencapai usia 2 tahun dan belum makan atau minum selain air susu ibunya sebagai makanan pokok. Dengan catatan najis tersebut masih terdapat bentuk (jirim), rasa, warna atau baunya. Cara Menghilangkannya adalah dengan menghilangkan bentuk, rasa, warna atau baunya. Kemudian melakukan cara seperti hukmiyah mukhoffafah di atas.[4]
Kedua, ‘Ainiyah Mutawasithoh (hukum sedang)
Yakni selain najis mukhoffafah di atas dan selain najis anjing dan babi. Seperti darah, nanah, dan lain-lain. Dengan catatan najis tersebut masih terdapat bentuk (jirim), rasa, warna atau baunya. Cara Menghilangkannya adalah adalah dengan menghilangkan bentuk dan semua sifat-sifatnya (warna, rasa, dan bau). Kemudian melakukan cara seperti hukmiyah mutawasithoh di atas.[5]
Ketiga, ‘Ainiyah Mugholadloh (hukum berat)
Yakni najis yang berasal dari anjing atau babi serta keturunannya. Dengan catatan najis tersebut masih terdapat bentuk (jirim), rasa, warna atau baunya. Cara Menghilangkannya adalah dengan menghilangkan bentuk dan semua sifat-sifatnya (warna, rasa, dan bau). Kemudian melakukan cara seperti hukmiyah mugholadloh di atas.[6]
Contoh Aplikatif
- Kotoran di Lantai Mushalla
Caranya adalah dengan menghilangkan bentuk (jirim) dan sifat-sifat najis dengan semisal kulit kelapa, kain, atau yang lain. Sehingga najis berubah dari status ‘ainiyah menjadi hukmiyah. Setelah itu cukup mengalirkan air di atas permukaan lantainya.
- Baju Terkena Jilatan Anjing
Siramlah bagian baju yang terkena najis menggunakan air campuran debu tersebut. Setelah itu, dilanjutkan dengan membasuh menggunakan air sebanyak enam kali.[]waAllahu a’lam
____________________
[1] Fathul Mu’in Hamisy I’anah at-Thalibin, I/81-82, cet. Al-Hidayah
[2] Hasyiyah al-Bajuri, I/102, cet. Al-Hidayah
[3] Hasyiyah al-Jamal, I/188-191, cet. Dar al-Fikr
[4] Nihayatuz Zain, hal. 45, cet. Al-Hidayah
[5] Hasyiyah al-Jamal, I/188-189, cet. Dar al-Fikr
[6] Hasyiyah al-Bajuri, I/105-106, cet. Al-Hidayah
0