كُفءٌ وَلكِنَّ ابْنَهُ ذُو ضِغْنِ
“Sesungguhnya Zaid adalah sosok yang alim, sepadan denganku (Ibnu Malik), akan tetapi anaknya adalah sosok yang pendendam”
Penggalan bait syair ini ada di nadzam Alfiyah Ibnu Malik. Orang pesantren pasti tahu/paham/hafal (walau mungkin sudah lupa, hehe). Sedikit gambaran, Alfiyah Ibnu Malik adalah karya monumental dari abad ke-13, yang menjelaskan gramatika Arab. Penulisnyapun bukan orang Arab, tapi daerah Jaén, Spanyol. Ia adalah Ibnu Malik (w. 22 Februari 1274 M).
Penggalan syair di atas sebenarnya memberikan contoh efek/dampak إنّ pada pola suatu susunan kalimat yang terdiri dari mubtada’ (subjek) dan khabar (predikat). Namun seperti yang sering disampaikan oleh guru-guru saya, bahwa setiap contoh yang diuraikan di dalam Alfiyah memiliki nilai dan pesan moral yang kuat—entah itu cocokologi, atau semacamnya. Akan tetapi acapkali setiap contoh yang ditulis oleh Ibnu Malik memang memiliki pesan moral yang kuat, seperti penggalan contoh berikut
وَقِسْ وَكَاسْتِفْهَامٍ النَّفْيُ وَقَدْ
يَجُوْزُ نَحْوُ فَائِزٌ أولُو الرَّشَدْ
Yang bercetak tebal: “…sungguh beruntung mereka yang mendapat petunjuk.”
Tiga belas abad silam Ibnu Malik sudah menyatakan hal yang visioner. Bahkan jauh sebelum itu, bahwa moral, akhlak, adab, ilmu, bukanlah sesuatu yang diwariskan. Bisa jadi ada seorang yang mewarisi pengetahuan, disiplin keilmuan, terlebih agama Islam, akan tetapi tak sedikit dari mereka hanya tahu—bukan paham, sehingga kosong. Mereka menggunakan dalil ini, dalil itu, namun minim akhlak dan etika.
Hal ini diperparah dengan gelar ulama ataupun ustaz yang disematkan kepada mereka. Mereka hafal ayat dan hadis tapi propaganda kebencian, dengki, dan fitnah acapkali mewarnai kata-kata mereka di mimbar konvesional hingga media sosial. Lebih buruk lagi, hal ini diamini ribuan pengikut mereka yang terjebak dalam kefanatikan buta.
Bisa jadi mereka yang bergelar ustaz, ulama, mewarisi darah biru leluhur mereka. Namun hanya mewarisi itu saja. Sehingga oleh Ibnu Malik disindir di nadzam yang tertulis di awal tulisan ini, “ayahnya sepadan denganku, tapi apakah anaknya demikian?”
Terdapat pepatah jawa mengenai hal ini, Kakudung welulang macan (berkalung kulit macan)”. Ia memang terlahir dari macan, tetapi perangai dan sikapnya tak lebih dari sekedar keledai. Terlahir dari siapapun adalah takdir, tapi untuk menjadi baik, tak perlu ditanya keturunan siapa. Hal itu justru hanya anugerah saja.
Nurul Mustofa, mutakharijin Madrasah Hidayatul Mubtadiin tahun 2012.