Cerdas Beramar Makruf

  • Khoirul Wafa
  • Des 18, 2017

Jurang pemisah antara amar makruf dan tajassus nampak sangat tipis bagi orang awam. Amar makruf yang digadang-gadang dapat menjadi ladang penuai pahala, salah-salah justru menjadi dosa yang tak terasa akibat adanya tajassus. Terlalu bersemangat dan terlalu banyak prasangka pada orang lain, menjadi salah satu sebab kuat munculnya tajassus yang dilarang agama. Allah SWT berfirman,


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ   – الحجرات: 12

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka (kecurigaan), sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat: 12)

Tajassus sendiri jika dialih bahasakan memiliki arti meneliti dan mencari-cari kesalahan orang lain, mengikuti penafsiran Sahabat Qatadah RA[1]. Hal ini juga lekat dan identik dengan amar makruf yang “kebablasan”. Dikutip dalam Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi, saat beliau menjelaskan hadis Nabi tentang tingkatan amar makruf, beliau menukil pendapat Imam Haromain, bahwa sejatinya amar makruf yang menjadi kewajiban kita memiliki batasan-batasan. Hanya tegurlah kemaksiatan yang benar-banar kita ketahui, pesan Imam Haromain.

Tidak dibenarkan bagi orang yang hendak melakukan amar makruf untuk meneliti, menyelidiki, dan mencari-cari kesalahan orang lain. juga merepotkan diri dalam berbagai prasangka. Akan tetapi yang benar, jika mendapati ada kemungkaran yang dilakukan oleh orang lain, boleh orang tersebut bertindak.[2]

Senada dengan Imam Haromain, ulama besar Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad juga menghimbau keras untuk menghindari tajassus. Jika kita kebetulan tahu aib orang, langkah yang benar menurut beliau adalah menyembunyikannya dari orang lain. dan menasihatinya tidak ditengah khalayak ramai.

“Tidak diperbolehkan memperbanyak membahas aib-aib manusia, menyebut-nyebut kesalahan mereka, dan membuka keburukan mereka, kecuali orang tersebut orang munafik yang dimusuhi. Hal yang wajib dilakukan orang islam ketika mengetahui keburukan saudara muslimnya adalah menutupi keburukan tersebut. Dan memberi nasihat dengan lemah lembut dan kasih sayang. ‘Allah akan senantiasa menolong hambanya, manakala hambanya masih senantiasa menolong saudaranya.’”[3]

Menyambung lidah dari Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, Syaikh Muhammad Jamaludddin Al-Qasimy merangkum syarat-syarat amar makruf kedalam tiga poin penting. Pertama, apa yang dihadapi adalah kemungkaran. Kemungkaran yang dimaksud adalah sesuatu yang memang dilarang untuk dilakukan menurut kacamata syari’at. Kata-kata munkar memiliki arti yang berbeda dengan maksiat. Contoh sederhana, jika ada anak kecil yang minum minuman keras, itu termasuk tindakan munkar yang wajib diingkari, meskipun bukan termasuk maksiat. Sebab anak kecil belum terkena taklif (tuntutan hukum syari’at). Kedua, tindakan munkar haruslah nampak tanpa perlu adanya tajassus. Sebagai contoh, jika ada orang yang menyembunyikan maksiatnya didalam rumah dan mengunci rapat-rapat pintunya, kita tetap dilarang masuk tanpa ijin untuk melihat maksiat yang dia lakukan. Tidak dibenarkan pula mencari-cari kesalahan orang lain tanpa bukti nyata. Oleh agama Islam, kita senantiasa dituntun untuk berprasangka baik dan berfikir positif kepada sesama saudara muslim. Ketiga, perkara yang dihadapi bukan termasuk masalah khilafiyyah antara Imam Madzhab. Maksudnya, kita yang bermadzhab syafi’iyyah tidak dibenarkan menegur penganut madzhab lain yang melakukan sesuatu yang dilarang dalam lingkup madzhab kita[4].

 

 

[1] Lihat: Tafsir Durrul Mantsur karya As-Suyuti (7/ 567) versi Maktabah Syamilah.

[2] Al-Minhaj Syarh Shaih Muslim bin Hajjaj. Juz 2. Hal 26. Cet. Mathba’ah Mishriyyah.

[3] Nashoihu Diniyyah. Hal 253. Dar Hawi.

[4] Mau’idhotul Mukminin. Juz 1. Hal 169. Dar Kutub Islamiyyah.

0

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.