Tidak benar anggapan islam disebarkan dengan pedang. Pedang adalah cara terakhir dan ibarat kata, bukanlah merupakan solusi. Bagi islam, pedang adalah sebuah sikap kepada musuh yang tak mau diajak melewat jalan baik-baik. Dakwah islam amat beragam. Dan semuanya dilakukan dengan cara yang baik. Memangnya agama mana yang justru datang untuk mengacaukan tatanan kehidupan? Agama islam dibawa oleh rasul-Nya untuk membawa kemaslahatan.
Para pemeluk agama lain tidak dipaksa untuk masuk kedalam agama islam. Pemeluk agama lain yang dulu tinggal menetap di wilayah kekuuasaan islam boleh tetap dengan keyakinannya masing-masing, bahkan boleh beribadah seperti biasanya. Tempat peribadatan mereka tidak dirobohkan, bahkan dilindungi oleh negara. Semua demi terciptanya keamanan dan stabilitas.
Dalam perkembangan metode dakwahnya sendiri, banyak jalan yang ditempuh. Jika secara konkret dan nyata adalah menggunakan metode bil lisan, dengan mengajak secara langsung. Dengan cara kreatif yang beragam. Disesuaikan dengan kebutuhan dan sasaran dakwah. Ada pula yang memakai metode bil hal, menjadi suri tauladan yang baik. Dimulai dengan berbenah dari diri sendiri, lalu kemudaian orang terdekat, dan seterusnya. Kemudian entah sadar disadari atau tidak, ada metode syiar, menampakkan kepada pemeluk agama lain betapa besar, kuat, dan hebatnya islam. Maka dengan sendirinya pemeluk agama selain islam akan tertarik untuk paling tidak, pertama mau mengenal apa itu islam, lalu masuk lebih jauh.
Syiar Sebagai Metode Dakwah
Tuntunan-tuntunan syari’at yang diajarkan nabi Muhammad SAW tidak akan terlepas dari hikmah dan rahasia-rahasia tersembunyi yang tidak secara langsung bisa diketahui. Setiap sunnah tentu memiliki sirri tersendiri. Seperti halnya jikalau kita teliti, nabi Muhammad SAW mengajarkan umatnya untuk bermu’asyaroh, tidak hanya diluangkan secara langsung lewat interaksi antar individu di majlis-majlis liar saja, namun lebih dari itu nabi Muhammad SAW menuntun bermu’asyaroh dengan cara yang praktis, menyuruh umatnya untuk senantiasa menunaikan salat secara berjamaah. Interaksi antar umat dengan sendirinya akan terjadi di masjid-masjid ketika mereka sama-sama menunaikan salat berjamaah. Saling bertemu dan saling mengenal akan menjadi imlpikasi. Tak peduli yang kaya atau yang miskin.
Perlu dicatat, bahwa islam menyebar sendiri dengan cara yang ramah, tidak lewat jalur paksaan. Nabi tidak serta merta memaksakan setiap orang non muslim yang ditemuinya untuk memeluk agama islam. Namun upaya yang dilakukan nabi adalah sebatas mengajak, dan menyampaikan risalah-Nya. Sebenarnya bukan menjadi tugas nabi Muhammad SAW untuk memberikan hidayah sehingga orang bisa masuk islam. Allah SWT sendiri dengan tegas dalam Alquran berfirman,
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (يونس : 99)
“Andaikan saja tuhanmu menghendaki, niscaya seluruh mankhluk yang ada dimuka bumi akan beriman semuanya. Adakah engkau memaksa seluruh manusia untuk menjadi beriman seluruhnya?” (QS. Yunus: 99)
Namun islam menyebar “dengan sendirinya”. Dengan cara-cara yang tak terduga, kadang lewat hikmah dibalik sunnah yang diajarkan nabi kepada para sahabatnya.
Syiar islam menjadi salah satunya. Islam memiliki syiar, sebuah metode dakwah “tersembunyi” yang seolah-olah tidak disengaja dilakukan oleh umat islam untuk membesarkan agamanya. Dengan menampakkan kebesaran dan kekompakan islam kepada pemeluk agama lain, dengan sendirinya mereka akan tertarik untuk mengenal islam. Membayangkan dahulu ketika para pemeluk agama yahudi di Madinah melihat berbondong-bondong umat islam datang ke masjid nabi untuk menunaikan salat fardhu secara bersama-sama, atau dalam intensitas yang lebih besar lagi, setiap satu minggu satu kali umat islam dalam jumlah yang lebih besar dari segala penjuru datang berduyun-duyun untuk menunaikan kewajiban salat jumat. Terbayang dihati jika mereka berdecak kagum atas islam yang begitu kuat, bersatu, dan besar. Lama-lama merekapun tertarik untuk minimal bertanya “Apakah itu islam? Agama yang begitu menjaga persatuan.”
Dalam bab syarat salat jamaah di kitab-kitab fiqh klasik sendiri, sangat ketat prosedur tentang tercapainya syiar islam melalui jamaah ini. Beberapa persyaratan memang sengaja diwajibkan demi tercapainya maqshud al-a’dhom, cita-cita terbesar dibalik diharuskannya berkumpul umat islam dalam sehari lima kali. Seperti minimal jamaah harus dilaksanakan di tempat umum, sekiranya orang tidak malu untuk memasuki tempat itu, sehingga belum dianggap bisa menggugurkan fardhu kifayah jikalau salat jamaah disuatu daerah hanya dilakukan secara diam-diam di dalam rumah, meskipun didirikan oleh banyak orang. Azan sendiri kala dikumandangkan harus sebisa mungkin terdengar oleh seluruh kaum muslimin. Maka dari itu, kesunahan azan dahulu dilakukan ditempat-tempat yang tinggi.
Demi menjaga kekompakan kaum muslimin, diwajibkan menurut salah satu pendapat, dalam satu negri harus memakai hanya satu naskah khotbah jum’at yang dikeluarkan oleh seorang mufti. Naskah tersebut kemudian dibaca pada waktu pelaksanaan salat jum’at oleh khotib yang ditunjuk. Dan jumlah jamaah yang hadir dalam salat jumat sendiri minimal adalah empat puluh orang. Empat puluh orang adalah bilangan yang tidak dapat ditawar, sebab jika kurang satu orang saja, maka jamaah jumat dihukumi tidak sah.
Ada satu pendapat menarik yang diutarakan oleh imam Al-Isnawi[1], bahwa dalam kewajiban fardhu kifayah untuk haji bagi seluruh umat islam harus mencapai bilangan tertentu yang secara umum sudah bisa dikatakan “ada syiar islam disana”. Namun pendapat konvensioanal tidak mengharuskannya. Yang penting setiap tahun ada kaum muslimin yang melakasanakan ritus ibadah haji.
Setiap malam menjelang hari raya juga disyari’atkan bertakbir. Takbir tidak hanya sunah digemakan di masjid-masjid. Namun juga di jalan-jalan dan di pasar-pasar. Orang sama bertakbir tentang kemenangan agama islam. Walau karihal kâfirȗn, meskipun orang-orang yang memnusuhi islam membencinya. Takbir sepanjang malam dilantunkan, bahkan dihari raya kurban, takbir masih sunah dikumandangkan sampai tiga hari kemudian. Hal ini, disadari atau tidak akan menunjukkan alangkah besar dan hebatnya agama islam. Disaat pemeluk agama lain merayakan hari rayanya dengan tenang, tak ada nama tuhan mereka terdengar dijalan-jalan. Tapi nama-Nya dapat didengar oleh siapapun diseluruh dunia, sepanjang malam.
Merenungkan Kembali (Sebenarnya) Betapa Besar Dan Kuat Islam
Pernahkah kita sebagai pemeluk islam sejak lahir ini, berfikir sekenak tentang agama yang kita anut? Jika kita renungkan baik-baik, tak ada agama yang sesempurna dan seperti islam. Mungkin sudah terbiasa kita baca dalam jurnal-jurnal ilmiah atau bacaan-bacaan keagamaan lain bahwa islam adalah agama yang sempurna. Hanya saja, sebatas lewat, kita kurang merenunginya baik-baik kalimat tersebut. Tak akan kita temukan agama yang seperti islam, jika kita tinjau dari sejarah dan ajarannya. Sejarahnya jelas. Islam masih merupakan agama yang murni dan belum dicampuri oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab seperti agama lainnya. Dan kita masih selalu berdoa untuk semoga terus selalu seperti itu. Islam memiliki pegangan kitab suci yang sangat bisa dipertanggung jawabkan keasliannya. Dan apa yang diajarkan nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya pasti memiliki maslahat. Semua aturan-aturannya memang benar-benar bisa mengatur kehidupan ke arah yang lebih baik pada akhirnya. Entah kita jika belum mengetahui manfaatnya untuk saat ini, tentu mungkin akan terjawab dikemudian hari.
Maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mengembangkan nila-nilai islam sebagai pemeluk agamanya yang sah. Bukan orang lain. sudah menjadi kewajiban kita untuk menanamkan kembali nilai-nilai islam yang tidak hanya berhenti pada sektor ubudiyyah, hubungan tegak lurus antara hamba dan penciptanya saja. Namun juga kembali menggapai sisi horizontal, hubungan antara sesama makhluk dengan mengembangkan sektor perekonomian dan lain sebagainya semampu kita.
Pernahkah utuk sejenak merenungkan kembali, jikalau perlahan-lahan ternyata kita mulai kehilangan nilai-nilai tersembunyi dibalik aktifitas keagamaan yang kita lakukan setiap hari. Kesalahan ada anggapan bahwa agama adalah hal pokok yang kembali kepada-Nya, sebenarnya -Ia tidak membutuhkan apapun, dan agama yang kita lakukan sehari-hari adalah semata-mata langkah menuju keharibaan rida-Nya. Dahulu ada zakat untuk “sambung rasa” sesama umat islam. Agar semua orang bisa merayakan hari raya secara layak. Sekaligus tentunya, upaya pengentasan kemiskinan. Islam nampak begitu besar dan kuat ketika dihari raya semua orang berduyun-duyun disaksikan pemeluk agama lain mendirikan salat hari raya bersama-sama. Semakin terlihat bersatu, ketika orang melihat kaum muslimin hanyut dalam satu garakan yang dipimpin oleh seorang imam. Kemudian dengan khusyuk disampaikan pesan-pesan yang menghimbau untuk meneguhkan keimanan. Ditutup dengan doa, semua orang asal masih satu agama, tak dikecualikan dalam doa memohon ampunan. Membayangkan kembali, jika bisa menghayati ketika takbir digemakan dijalan-jalan, di pasar, dan di masjid-masjid menjelang hari raya. Alangkah besar dan kuatnya agama isalm dipandang pemeluk agama yang lain. tidak perlu bersusah payah memaksa mereka mengucapkan kalimat syahadat, karena semoga saja dikemudain hari, kekaguman mereka atas besarnya islam akan menghanyutkan lisan mereka dengan sendirinya untuk bersyahadat.
Andaikan saja semua kaum muslimin punya kepedulain yang sama untuk membesarkan agama yang diianutnya ini. Sekarang hampir tak ada yang peduli, orang beragama kebanyakan hanya berhenti dalam sebuah formalitas. Dan punya rasa tak ingin tahu untuk menenal lebih jauh, punya arti apa sebenarnya ritus yang dengan tekun dilakukannya setiap hari itu. Jika bukan kaum muslimin sendiri yang peduli, lantas siapa?[]
[1] Periksa : Hasyiyah I’anah Tholibin. Jilid 4. Hal. 184.
0