Jika kita sepenuhnya kembali ke Alquran dan hadis tanpa melalui ulama yang tentunya lebih memahami seluk beluk keduanya, kita akan mudah menemukan pemahaman yang absurd, kacau, dan justru terkesan radikal. Menafsiri sendiri hadis nabi sesuai pengalaman pribadi, atau bahkan berani memfatwakan tafsiran tersebut kepada khalayak, sebelum jelas kebenarannya sama dengan “menyiapkan persinggahan” di api neraka. Kita sudah sangat tahu, betapapun Alquran dan hadis adalah dimensi yang multi interpretasi, tapi bukan sesederhana itu orang bisa mensyarahi sabda nabi dan kalam ilahi. Butuh pengalaman ilmiah yang panjang, dan kematangan keilmuan yang mumpuni.
Dalam salah satu hadis Nabi, dijelaskan predikat amar makruf.
“Barang siapa diantara kalian melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang terakhir itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Bila sepenuhnya kembali ke hadis, banyak penjelasan dan penafsiran hadis tersebut justru diabaikan. Padahal jelas disebutkan dalam kajian-kajian fikih klasik, maupun kontemporer, ada pra syarat panjang sebelum “tangan bertindak” meluruskan kemungkaran. Lihatlah imbas dan dampaknya dahulu. Kalaulah saja, amar makruf yang kita lakukan justru mendatangkan kemaksiatan yang lebih besar, maka hukum amar makruf dengan tangan tersebut jadi tidak wajib. Bahkan haram. Kisah masa lampau Ibn Taymiyyah adalah salah satu contohnya. Dahulu di zaman ketika bangsa Tartar masih berkuasa, suatu ketika santri-santri Ibn Taymiyyah bertemu dengan sekelompok orang yang meminum arak. Santri-santri Ibn Taymiyyah mengingatkan geromolan orang tersebut bahwa arak yang mereka minum haram hukumnya. Bukannya mengiyakan dan mendukung apa yang dilakukan santri-santrinya, Ibn Taymiyyah justru menegur tindakan santri-santrinya tersebut. “khamr yang mereka minum dapat mencegah mereka melakukan pembunuhan, penculikan, dan perampokan. Biarkanlah mereka dan minuman keras mereka.”[1] Ibn Taymiyyah menyuruh murid-muridnya yang sebenarnya mampu beramar makruf dengan “tangan”, untuk pindah ke derajat yang lebih rendah: dengan hati. Karena khawatir timbulnya efek bahaya yang lebih besar.
Imam al-Ghazali bahkan punya “batasan” yang lebih tegas lagi. bahwa selama masih ada penguasa, maka amar makruf “dengan tangan” adalah wilayah mereka. Rakyat tidak boleh serta merta ikut serta begitu saja. Sebab nantinya memang dikhawatirkan akan timbul fitnah dan mafsadah yang jauh lebih besar. “Mencegah dengan paksaan tidak boleh dilakukan oleh satu orang rakyatpun selama ada penguasa. Karena hal tersebut dapat memicu fitnah dan menggelorakan keburukan. Dan dampak negatif yang dihasilkan juga lebih besar. Adapaun jika menakut-nakuti dengan kata-kata, semisal mengucapkan ‘wahai orang lalim’, wahai orang yang tak takut pada Allah’, dan sejenisnya dapat menimbulkan fitnah yang imbasnya dirasakan orang lain, maka jelas tidak boleh.”[2]
Bukankah Allah swt. sendiri telah melarang nabi-Nya untuk berkata buruk tentang berhala orang kafir dalam salah satu firman-Nya?
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’am: 108).
[1] Al-Tasyri’ al-Jana’I fi al-islam. juz 2. Hal 4.
[2] Ihya’ ulumuddin. Juz 2. Hal 327. Dar Ihya Kutub ‘Arobiyyah.