Revitalisasi Peristiwa Isra’ dan Mi’raj

  • Nasikhun Amin
  • Apr 21, 2017

Dalam kitab Tafsir At-Thobari, peristiwa Isra’ dan Mi’raj diartikan sebagai peristiwa perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjid Al-Haram di Mekah menuju Masjid Al-Aqsha di Baitul Muqoddas (Jerusalem), lalu dilanjutkan dengan perjalanan dari Qubbah As-Sakhrah menuju Sidratul Muntaha (akhir penggapaian).[1] Kronologi tersebut sebenarnya sudah ditegaskan oleh Allah SWT dalam Alqur’an:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير

Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambanya pada suatu (potongan) malam dari Masjidil haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Al-Isro’: 1).

Mengenai kapan peristiwa tersebut terjadi masih diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan peristiwa tersebut terjadi di tahun kesepuluh dari masa kenabian.[2] Namun dalam kitab Al-Thobaqot Al-Kubro karya Ibnu Sa’d dikatakan, bahwa peristiwa ini terjadi diantara 18 bulan sebelum Rasulullah SAW mendapatkan perintah untuk melakukan hijrah ke kota Yatsrib (Madinah).

Menurut catatan sejarah, Isra’ dan Mi’raj adalah salah satu peristiwa paling bersejarah bagi umat Islam. Peristiwa tersebut menunjukkan betapa Maha Kuasanya Allah SWT. Bagaimana seorang hamba yakni Nabi Muhammad SAW bersama ruh dan jasadnya menempuh jarak jutaan kilometer hanya dalam satu malam saja.

Sebuah hadis yang cukup panjang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dan Imam Muslim berkenaan dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini. Dalam riwayat itu disebutkan bahwa Rasulullah SAW mengendarai Buraq, sejenis makhluk hidup yang ukuran tubuhnya lebih besar daripada keledai. Dan juga disebutkan bahwa ketika di Masjidil Aqsha, Rasulullah SAW melakukan salat dua rakaat. Setelah itu, datanglah malaikat Jibril membawa sebuah bejana berisi khamar dan bejana lain berisi susu, namun Rasulullah SAW memilih bejana yang berisi susu.

Dan dalam riwayat itu pula kronologi peristiwa Mi’raj Rasulullah SAW ke langit pertama, kedua, dan seterusnya hingga mencapai Sidratul Muntaha (akhir penggapaian), ‘Arsy, dan Mustawa. Di sanalah beliau mendapatkan wahyu dari Allah SWT, dan sejak saat itu pula salat lima waktu diwajibkan bagi seluruh umat Islam. Semula, sholat yang diwajibkan berjumlah 50 rakaat.

Keesokan paginya, ketika Rasulullah SAW menuturkan peristiwa yang beliau alami kepada khalayak penduduk kota Mekah, orang-orang musyrik pun segera menyebarluaskan berita itu kepada teman-teman mereka sambil mengolok-olok Rasulullah SAW.

Karena Rasulullah SAW mengaku datang ke Baitul Muqoddas di Palestina, beberapa orang musyrik menantang beliau untuk menjelaskan semua yang ada di sana. Padahal, ketika mendatangi Baitul Muqoddas pada malam itu, tidak pernak terlintas dalam benak Rasulullah SAW untuk memperhatikan dengan seksama seluruh detail bangunan Baitul Muqoddas, apalagi menghafalkan jumlah pilarnya. Mendapatkan tantangan seperti itu, Allah SWT menampakkan Baitul Muqoddas di hadapan Rasulullah SAW. Beliau pun dapat menjelaskan semua hal tentang Baitul Muqoddas dengan sangat rinci seperti yang diminta orang-orang kafir.

Imam Bukhari dan Imam Muslim juga meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda;

لَمَّا كَذَّبَتْنِيْ قُرَيْشٌ قُمْتُ فِي الْحِجْرِ فَجَلَّى اللهُ لِيْ بَيْتَ الْمُقَدَّسِ فَطَفَقْتُ أُخْبِرُهُمْ عَنْ آيَاتِهِ وَأَنَا أَنْظُرُ اِلَيْهِ

“Ketika orang-orang Quraisy menganggap aku berdusta, aku pun berdiri di Hijr, dan Allah menampakkan Baitul Muqoddas padaku, maka aku pun menceritakan kepada mereka semua tanda-tanda bangunan tersebut sembari aku melihat bangunan itu”.[3]

Sementara itu, beberapa orang kafir Quraisy telah mendatangi Abu Bakar As-Shidiq RA untuk menyampaikan hal yang baru dituturkan oleh Rasulullah SAW. Mereka berharap sahabat terdekat Rasulullah SAW ini menganggap peristiwa tersebut merupakan sebuah kebohongan besar. Mereka juga berharap, Abu Bakar As-Shidiq RA tidak akan mempercayai Rasulullah SAW lagi. Ternyat Abu Bakar As-Shidiq RA malah berkata, “Jika memang benar Dia (Muhammad SAW) mengatakan seperti itu aku percaya. Bahkan, jika beliau mengatakan yang lebih jauh (lebih ajaib) dari itu, akau pasti akan tetap mempercayainya,”.[4]

[ads script=”2″ align=”left”]Pada pagi hari setelah peristiwa Mi’raj tersebut malaikat Jibril datang memberitahu kepada Rasulullah SAW tentang tata cara salat beserta waktu pelaksanaannya. Sebelum syariat salat lima waktu ditetapkan, rasulullah SAW biasa melaksanakan salat dua rakaat di pagi hari dan dua rakaat di sore hari, sebagaimana dilakukan nabi Ibrahim AS.[5]

Konteks Situasi dan Kondisi

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang terjadi pada saat-saat Rasulullah SAW mengalami masa-masa kecemasan. Karena beberapa waktu sebelumnya, Rasulullah SAW sangat terpukul dengan meninggalnya dua orang yang menjadi ujung tombak kekuatan beliau dalam mendakwahkan agama Islam, yakni Khadijah RA dan Abu Thalib RA. Sementara tekanan fisik maupun psikis yang terus dilancarkan kafir Quraisy semakin menambahkan kegelisahan beliau, seolah tiada celah dan harapan bagi masa depan agama Islam pada saat itu.

Maka pada malam malam 27 Rajab, seakan menjadi penyejuk di tengah kegersangan yang selama ini menyelimuti beliau. Perjalanan Isra’ dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsha di Baitul Muqoddas menjadi langkah untuk menjelajahi napak tilas perjuangan nabi-nabi terdahulu. Begitu pula dengan proses Mi’raj, beliau dapat melihat secara langsung seluruh alam dan singgasana kebesaran di jagad raya. Secara keseluruhan, semua yang dialami pada malam itu telah membantu meredakan kecemasan yang beliau alami selam ini dan meningkatkan kembali gairah dakwah dan tekad yang semakin kuat ke depannya.

Melihat konteks situasi dan kondisi peristiwa Isra’ dan Mi’raj telah memberi pelajaran berharga kepada umat manusia dalam menghadapi sebuah perjuangan. Segala rintangan dan penentangan yang ditemukan akan dapat diselesaikan dengan cara maupun metode yang sudah diketahui oleh Allah SWT. Karena yang terpenting bagi manusia adalah terus berjuang, memperkuat tekad, dan terus konsisten dalam semua keadaan. Firman allah SWT dalam Alqur’an;

يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

“Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir, (QS. Yusuf: 87). 

Berbuah Syariat Salat

Sudah dimaklumi bersama, Alqur’an sebagai kitab suci agama Islam memuat seluruh ajaran syariat yang ada di dalamnya, tak terkecuali salat. Seperti salah satu firman Allah SWT;

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah :43). Namun tidak sebatas itu, Allah SWT memanggil secara langsung Rasulullah SAW dalam rangkaian peritiwa Isra’ Mi’raj untuk menyampaikan perintah salat kepada umat islam. Karena hikmah yang paling besar dari peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut adalah disyariatkannya salat. Hal ini sangat berbeda dengan disyariatkannya ibadah-ibadah yang lain, yang keseluruhannya sudah dicukupkan melalui malaikat Jibril sebagaimana yang telah ada dalam Alqur’an.

Kualitas keimanan seseorang dapat diketahui dengan komitmennya terhadap pengamalan ajaran Islam, baik yang berhubungan dengan tuhannya maupun yang berhubungan dengan sesama makhluk. Salat merupakan bentuk peribadatan tertinggi seorang muslim, sekaligus merupakan simbol ketaatan totalitas kepada Allah SWT. Karena di dalam salat, terdapat bentuk upaya interaksi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dari sinilah titik terang keberadaan salat sebagai barometer seorang muslim untuk mengukur sebatas mana kekuatan agamanya. Dalam sebuah hadis dijelaskan;

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ

“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam, dan tiangnya adalah salat,” (HR. Thurmudzi).

Sebagai tiang agama, maka harus ada makna dan nilai bagi setiap orang Islam dalam melaksanakan salat, sebagaimana uraian Al-Ghozali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, yakni;

  • Hudhurul Qolbi (menghadirkan jiwa). Ketika melaksanakan salat diharuskan konsentrasi penuh semata-mata mengahadap Allah SWT dan mengharap ridho-Nya. Segala sesuatu yang bersifat keduniaan harus dilupakan sejenak. Firman Allah SWT dalam Alqur’an;
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ  الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya,” (QS. Al-Ma’un :4-5).

  • Tafahhum, yakni menghayati semua hal yang dikerjakan dalam salat, baik yang berupa bacaan maupun gerakan anggota badan. Karena di dalamnya tersimpan makna pernyataan kesiapan dan kepasrahan kepada allah SWT. Sebagaimana firman-Nya:
وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكْرِىٓ

“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku,” (QS. Thaha :14).

  • Ta’dzim, artinya sikap mengagungkan Allah SWT sebagai Dzat yang disembahnya serta adanya kesadaran secara total bahwa manusia merupakan sesuatu yang sangat kecil dan hina di hadapan-Nya.
  • Khouf wa Roja’, yakni rasa takut hanya kepada Allah SWT disertai dengan harapan untuk selalu mendapatkan rahmat dan rido-Nya.
  • Haya’, yaitu rasa malu kepada Allah SWT karena apa yang dipersembahkan kepada-Nya sama sekali belum sebanding dengan rahmat dan karunia yang telah diberikan-Nya kepada manusia.[6]

Dengan mampu menghadirkan makna dan nilai-nilai ibadah yang menjadi “buah tangan” dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, maka diharapkan akan ada hubungan timbal balik antara ibadah ritual salat dengan sesuatu yang ada di dalamnya. Dan pada gilirannya sesuai dengan berjalannya waktu, semuanya akan dapat menghiasi kehidupan pribadi setiap muslim dan akan membias dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.[] waAllahu A’lam.

__________________

[1] Tafsir At-Thobari, juz 17 hal 333.

[2] [2] ‘Umdah Al-Qori’ ‘Ala Shahih Al-Bukhari, juz 17 hal 20.

[3] Shahih Al-Bukhari, juz 5 hal 52.

[4] Fiqh As-Sirah An-Nabawiyyah, hal 108-109, Maktabah Dar As-Salam.

[5] Fath Al-Bari, Juz 1 hal 465.

[6] Ihya’ Ulumuddin, juz 1 hal 162.

0

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.