Isra Mikraj terjadi di tengah-tengah kehidupan carut-marut bangsa Arab. Saat itu, aktivitas dakwah islam sangat sulit dan tidak kondusif. Jumlah umat Islam tak kunjung bertambah, meskipun segala daya dan upaya terus dikerahkan semaksimal mungkin. Alih-alih merespons dakwah dan mengikrarkan keislaman, orang-orang kafir justru memberi tekanan berupa intimidasi, persaingan, bahkan ancaman pembunuhan kepada umat muslim.
Di sisi lain, mereka
juga menuntut Rasulullah saw. menunjukkan bukti-bukti secara kasatmata akan
kebenaran risalah yang dibawanya. Jika Rasulullah saw. tidak mampu
menunjukkan bukti-bukti tersebut secara kasat mata, maka mereka akan menuduh
dan mengklaim beliau sebagai pembohong, tukang tenung, tukang sihir, bahkan
sebagai manusia tidak waras.
Dari sinilah awal mula
peristiwa agung Isra Mikraj terjadi. Sebagaimana setiap kejadian besar dalam
sejarah, para pakar berbeda pendapat dalam menentukan latar belakang penyebab
terjadinya, tak terkecuali dalam Isra Mikraj sendiri. Setidaknya, ada tiga
pendapat populer dalam menguak penyebab tersebut, yaitu:
Perdebatan Langit dan
Bumi
Kisah yang sudah
sangat pupuleer ini bermula ketika terjadi perdebatan antara langit dan bumi,
siapakah yang paling mulia di antara keduanya. Setelah beradu argumen yang
cukup panjang, akhirnya langit tidak kuasa melanjutkan perdebatan setelah bumi
berkata bahwa pemimpin para Rasul, penutup para Nabi, kekasih Tuhan alam
semesta, makhluk paling mulia di jagad raya bertempat di bumi dan menjalankan
syariat di sana.
Langit pun mengadu
kepada Allah perihal tersebut. Akhirnya demi mengabulkan permintaan langit, dan
Allah mengangkat Rasulullah saw ke langit dalam peristiwa Isra Mikraj.[1]
Tahun Kesedihan
Kala itu, Rasulullah
saw. ditinggal oleh pamannya, Abu Thalib, dan istri tercinta, Khadijah. Sepeninggal
kedua orang istimewa ini, kehidupan Rasullah saw. kerap dilanda kesedihan dan
dihujani berbagai duka yang amat perih. Akan tetapi, yang paling membuat Nabi
bersedih adalah tertutupnya pintu-puntu dakwah untuk menyebarkan Islam.
Pasca meninggalnya
kedua orang ini pula, dimana pun beliau menyerukan Islam, di situ pasti
terdapat penolakan. Semua orang kini berani memusuhi Rasulullah saw. secara
terang-terangan.[2]
Dengan menganalisis
Tahun Kesedihan inilah banyak yang mewacanakan kesimpulan bahwa Allah swt.
meng-Isra-kan Rasulullah saw.untuk menghibur, menyenangkan, serta
menggembirakan hati bleiau agar duka yang bersemayam dalam hati segera sirna. Kesimpulan
semacam ini banyak diwacanakan ulama-ulama kontemporer, seperti Syekh Tantawi
Ahmad Umar, Dr. Mustafa Ahmad Rifa’i, dan yang lainnya.
Namun rumusan dari
sebgian ulama kontemporer tersebut perlu ditelaah kembali. Isra Mikraj ternyata
tak memiliki relevansi dengan Tahun Kesedihan. Memang, dengan perspektif
psikologis, cukup dimaklumi atas alasan tersebut. Namun yang perlu
digarisbawahi di sini—sebagaimana dalam menyikapi kisah perdebatan langit dan
bumi—Tahun Kesedihan sewajarnya tak lebih dari sekedar unsur yang menyertai
peristiwa Isra Mikraj, bukan sebagai esensi paling utama.[3]
Memperlihatkan
Kekuasaan Allah
Esensi paling utama dalam perjalanan Isra Mikraj ialah apa yang telah ditegaskan sendiri oleh Allah swt. satu ayat pembuka dalam al-Qur’an:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ
آيَاتِنَا
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam
dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami.” (QS. Al-Isra’ [17]: 1)
Ayat ini menjadi
bidikan paling fundamental dan yang paling berperan. Melalui perjalanan Isra
Mikraj, Allah memberi kesempatan kepada Rasulullah saw. untuk menyaksikan dan
merasakan sendiri pengalaman-pengalaman yang maha luar biasa, yaitu melampaui
teori-teori umum yang berlaku di bumi dan langit; melihat ayat-ayat kebesaran
Allah, menjelajahi tujuh lapis langit dan luasnya jagad raya, menyaksikan
sendiri Baitul Makmur, Sidratul Muntaha, surga, neraka, al-Kursy, Mustawa,
permadani agung (Rafraf), al-‘Arsy, dan yang lainnya.[4]
Lebih lanjut,
Fakhruddin Ar-Razi—seorang pakar tafsir terkemuka—memberikan kesimpulan, “Firman
Allah swt. ‘Agar kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari ayat-ayat
kekuasaan Kami,’ menunjukkan bahwa fungsional dari perjalanan Isra Mikraj
secara khusus adalah kembali kepada Nabi Muhammad saw.”[5]
Pernyataan Ar-Razi di
atas menyiratkan adanya nilai edikatif. Yaitu memberikan pelajaran bahwa bumi
tempat manusia dan para musuh beliau hidup ini sangatlah kecil, apalah arti
sebuah bumi beserta isinya dibandingkan dengan mahaluasnya jagat raya? Apalah arti
kekuasaan musuh dan kekuatan musuh beliau dibandingkan kekuatan dan kekuasaan
Sang Maha Pencipta yang telah memperjalankan dirinya menjelajahi angkasa tinggi
jagad raya?
Lebih dari itu, Isra’
Mikraj bukan hanya sekedar untuk meninggikan iman atau lebih memacu dakwah
Nabi. Lebih jauh lagi, Isra Mikraj adalah
manifestasi konkret kebesaran cinta Allah kepada Nabi Muhammad saw.[6] []waAllahu a’lam
[1] Dzurroh An-Nashihin, hal. 117, cet. Toha Putra
Semarang
[2] Fiqh As-Sirah An-Nabawiyah, hal. 97.
[3] Rihlah Semesta Bersama Jibril, hal. 177, cet. Lirboyo Press.
[4] As-Sirah An-Nabawiyah ‘Ard Waqai’ wa Tahil Ahdats, vol. I hal. 334.
[5] Tafsir Mafatih Al-Ghaib, vol. X hal. 122.
[6] Tafsir Ruh, vol. V hal. 102, CD. Maktabah Syamilah