Memetik Hikmah dari Perjanjian Hudaybiyah

  • Khoirul Wafa
  • Feb 09, 2018

Peristiwa bersejarah yang menjadi titik balik perjuangan umat muslim, salah satunya adalah perjanjian Hudaybiyah, atau Shulh al-Hudaybiyyah. Sebuah kesepakatan damai yang dicapai oleh Nabi dan kubu kaum musyrik kota Mekah. Perjanjian yang disepakati di kawasan Hudaybiyyah, atau sumur Hudaybiyah, —jaraknya hanya sekitar 22 KM dari kota Mekah—ini menjadi tonggak sejarah tak terlupakan, dimana banyak peristiwa besar yang menggugah hati: layak dijadikan pelajaran.

Pada suatu ketika, di bulan Dzulqa’dah menjelang akhir tahun ke enam pasca hijrah Nabi ke Madinah, Nabi memaklumkan kepada para sahabatnya untuk berkenan ikut menjalankan ibadah umrah. Maklumat itu disambut oleh para sahabat beliau, tak tanggung-tanggung, sekitar seribu empat ratus orang menyatakan bersedia turut serta. Tak ada senjata yang dibawa, tak ada pedang atau busur panah. Yang dibawa adalah hewan ternak yang nantinya akan dikurbankan di tanah suci. Itu mempertegas tujuan mereka kepada penduduk Mekah, bahwa kedatangan rombongan menuju ke baitullah bukan untuk berperang. Tapi sekedar untuk berziarah dengan damai. Dan penduduk Mekah yang sudah mentradisikan diri —bahkan jauh sebelum Nabi dilahirkan— sebagai penyambut para peziarah sudah sepatutnya tidak menolak kedatangan mereka seperti para peziarah-peziarah lain pada umumnya.

Desas-desus kedatangan kaum muslimin dengan jumlah sebanyak itu menjadikan penduduk Mekah gusar. Orang-orang yang dianggap “musuh bebuyutan” selama bertahun-tahun akan datang lantas sikap apakah yang akan diambil? Mekah yang gundah akhirnya dalam kondisi siaga satu. Mereka bersiap atas segala kemungkinan yang terjadi. Belum habis memori buruk karena kerugian materi amat besar dan kekalahan memalukan dalam ajang perang Khandaq belum lama ini, sudahkah peristiwa baru akan bersambut?

Tapi kedatangan Nabi benar-benar bukan untuk perang, apalagi balas dendam. Sampai di daerah Dzulhulaifah Nabi mengutus seseorang untuk memata-matai gerak-gerik penduduk Mekah. Sikap macam apa yang akan mereka ambil. Namun kabar yang diterima bukan berita baik. Menurut mata-mata yang dikirim, penduduk Mekah sudah dalam keadaan siap untuk berperang. Menghadapi kedatangan Nabi dan rombongan yang ingin berziarah dengan sikap tak ramah. Nabi lantas bermusyawarah dengan sahabat-sahabat beliau. Bagaimana menurut kalian?

“Engkau keluar menuju baitullah bukan untuk membunuh seorangpun atau berperang melqawan siapapun. Maka lanjutkanlah. Kalau ada yang menghalangi kita, maka kita akan perangi mereka bersama-sama.” Usul sahabat Abu Bakr RA.

Dan rombonganpun melanjutkan perjalanan.

Setiba rombongan di kawasan dekat sumur Hudaybiyyah, mereka bertemu dengan Budail bin Warqa’ al-Khuza’i bersama beberapa orang lain. Budail mengatakan, bahwa orang-orang Mekah sudah siap perang, dan siap menghalau Nabi masuk ke tanah suci. Mendengar hal itu, Rasullullah SAW menjelaskan maksud kedatangan mereka baik-baik kepada Budail. “Kami datang tidak untuk memerangi siapapun, tapi kami datang untuk melakukan umrah.” Sabda Nabi. Ia mengingatkan akan kelelahan penduduk Mekah yang beberapa waktu lalu kalah perang, mereka, sabda Nabi, akan diberi waktu untuk “beristirahat”. Dan waktu untuk berunding. Budail akhirnya menyampaikan maksud kedatangan Nabi tersebut kepada orang Mekah. Bahwa sepenuhnya rombongan datang dengan damai.

Mendengar hal itu, sontak seseorang bernama ‘Urwah bin Mas’ud berdiri dan menawarkan diri sebagai mediator. Ia ingin mempertegas maksud kata-kata Nabi, dan maksud kedatangan beliau beserta rombongan. Maka dikirimlah ‘Urwah. Di tempat peristirahatan sementara Nabi, dekat sumur Hudaybiyyah, ‘Urwah terlibat dialog dengan Nabi dan para sahabat beliau. Ia amat takjub akan sikap para sahabat Nabi yang rela sepenuh hati mengorbankan nyawa, dan memberi pengagungan yang luar biasa kepada Nabi. “Ketika rasulullah memerintahkan sesuatu maka perintah itu segara dilakukan, dan ketika  rasulullah berwudhu, maka para sahabatnya hampir-hampir saling bunuh untuk berebut bekas air wudhunya.” Kata ‘Urwah melambangkan kekagumannya. Nyatanya orang yang mereka musuhi hanya orang yang “belum  mereka kenal dengan baik”.

‘Urwah pun mengusulkan agar orang Mekah mau menempuh jalan damai: berunding. Selanjutnya yang dikirim adalah Suhail bin ‘Amr. Oratornya orang Mekah. Juru bicara ulung yang mampu “menghipnotis” para pendengarnya ketika ia berpidato. Orang yang punya kemampuan retorika jauh diatas rata-rata.

Suhail meminta melakukan perjanjian tertulis. “Izinkan aku melakukan pejanjian tertulis dengan kalin.” Katanya. Rasulullah SAW yang tidak bisa menulis memanggil sahabat Ali bin Abi Thalib RA untuk menulis kesepakatan. “Tulislah,  bismillahirrahmanirrahim.” Perintah Nabi. Belum lagi sempat menulis, Suhail sudah lebih dulu menukas. “Kami tidak mengenal ar-Rahman itu. Jadi, tulislah Bismika allahumma!”

Para sahabatnya yang hadir disitu tentu saja tidak terima. Tak rela mereka menghapus nama ar-Rahman yang biasa diagungkan. “Demi Allah, kami hanya bersedia menulis Bismillahirrahmanirrahim!” sergah mereka. Tapi Rasulullah buru-buru menenangkan. Mengalah menuruti apa kata Suhail. “Tulislah Bismika Allahumma.” Sabda Nabi. “Inilah yang telah ditetapkan Muhammad utusan Allah.” Lanjut Rasulullah.

Sahabat Ali RA segera menulis sabda Nabi. Tapi lagi-lagi buru-buru disanggah oleh Suhail. “Demi Allah, jika kami mengakui kalau kau adalah utusan Allah, maka kami tidak akan menghalangimu mendatangi baitullah.  Atau memerangimu. Jadi, tulislah ‘Muhammad bin Abdullah’!”. Kalimat Suhail benar-benar merobek perasaan para sahabat. Menghina Nabi artinya menghina seluruh orang yang hadir di tempat itu. Tentu saja semua orang tidak berkenan. Sahabat Ali sebagai juru tulis juga enggan menuruti kemauan Suhail. Tapi Rasulullah mengajarkan sikap yang lain. beliau tidak mempermasalahkan hal tersebut. Dan segera meminta sahabat Ali menghapus tulisan “utusan Allah” tersebut. Sahabat Ali KRW sangat keberatan. Beliau tidak mau menghapusnya. Bagaimanapun juga dihati beliau Muhammad tetaplah utusan Allah. “Tunjukkan aku, dimana letak tulisan itu.” Sabda Nabi. Sahabat Ali menujukkan letak tulisan tersebut, dan Rasulullah SAW sendiri yang menghapusnya. Dengan sedikit membusungkan dada, kubu kafir Mekah merasa menang. Dan para sahabatpun hanya dapat diam.

Isi perjanjian Hudaybiyyah dinilai sangat merugikan pihak muslim. Meskipun disepakati perjanjian gencatan senjata selama sepuluh tahun, tapi tahun ini umat muslim dilarang melaksanakan umrah. Mereka harus kembali ke Madinah. Dan setiap ada orang Mekah yang masuk Islam lalu pergi dan bergabung ke Madinah tanpa seijin walinya, maka harus dikembalikan ke Mekah. Tapi jika ada orang Madinah yang tertangkap orang Mekah, tidak harus dikembalikan. Satu-satunya poin yang netral adalah setiap kabilah di jazirah Arab diperkenankan untuk berkoalisi dengan kubu siapapun, entah kubu Madinah, atau Mekah tanpa paksaan. Disini lagi-lagi kaum kafir kota Mekah merasa menang. Bukan diatas gelanggang perang, tapi merasa menang secara moral.

Para sahabat menunjukkan raut kecewa. Mereka sangat tidak puas dengan perjanjian Hudaybiyyah. Tapi Rasulullah SAW tetap tenang, karena beliau percaya sudah dijanjikan kemenangan oleh Allah SWT. Bagaimana tidak, rombongan yang telah menempuh perjalanan ratusan kilometer itu gagal melaksanakan umrah, padahal kota Mekah sudah di depan mata. Bahkan perintah Nabi untuk memangkas rambut dan menyembelih hewan kurban yang telah dibawa tidak langsung dilaksanakan. Baru setelah Nabi sendiri yang memotong hewan kurban beliau, dan memangkas rambut beliau para sahabat akhirnya mengikuti.

Perjanjian Hudaybiyyah yang tampaknya merugikan dan “merendahkan” umat Islam sebenarnya adalah “pintu” dari fathul makkah. Kemenangan besar atas kaum musyrik, dan masuk Islamnya orang-orang yang dulu memusuhi Nabi. Lewat perjanjian ini, dakwah Islam semakin meluas, karena setiap kabilah dibebaskan memilih untuk berkoalisi dengan siapa. Pemeluk Islam jumlahnya kian melonjak. Menurut keterangan sejarahwan Ibn Hisyam, hanya dalam kurun dua tahun, jumlah pemeluk Islam baru telah menyamai jumlah sahabat sebelum ditandatangani perjanjian tersebut, bahkan ada yang mengatakan jumlah muallaf lebih banyak. Semakin naik dari hari ke hari. Pada akhirnya, tidak setiap kemenangan harus dibalut dengan hal yang manis. Allah selalu punya cara tersendiri untuk menunjukkan bahwa Islam itu tinggi, al-Islam ya’lu wala yu’la ‘alaih.[1]

Membela NKRI dari Peristiwa di Hudaybiyyah

Satu pelajaran yang bisa diambil dari peristiwa besar ini adalah, jika kita ingin memahami mengapa NKRI tidak harus bersistim khilafah, maka pahamilah setiap peristiwa yang terjadi dalam perjanjian Hudaybiyyah. Dalam peristiwa tersebut, Rasulullah SAW tidak mempermasalahkan menghapus kalimat “Muhammad utusan Allah” menjadi “Muhammad bin Abdullah”, atau “Bismillahirrahmanirrahim” menjadi “Bismika allahumma”. Beliau melakukan hal tersebut agar tercapai tujuan lebih baik dan mulia: gencatan senjata dan perjanjian damai. dalam satu riwayat, Nabi bersabda ketika meminta sahabat Ali KRW menghapus tulisan “Muhammad utusan Allah”,Demi Allah, sungguh aku utusan Allah walaupun kalian medustakan diriku! Tulislah Muhammad bin Abdullah”. Meskipun dibalut dengan nama apapun, Indonesia tetaplah darul islam. Darul islam, karena dulu pernah berdiri kerajaan-kerajaan Islam, Mataram, Demak, Samudra Pasai, dan lain-lain. Meskipun semua orang tidak mengakuinya. Para pendiri pondasi bangsa ini lebih tahu, untuk mencapai negri yang damai harus mengorbankan sesuatu. Maka, meskipun negri ini tidak harus berasas agama, asalkan kedamaian bisa tetap tercipta dan ibadah bisa dilakukan dengan tenang. Bukan negri yang berasas agama, tapi kering dan penuh konflik. Hendak mendirikan salat saja gelisah karena khawatir ada bom yang hampir meledak.

Sudah menjadi sunnatullah, Allah SWT menciptakan umat yang heterogen. Berbeda dan bersimpul dalam keragaman.

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ

“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu.” (QS. Al-Maidah:48)

Namun menciptakan “satu umat” tidak terjadi. Jika kita ingin membuat satu bangsa yang homogen, secara kodrat kita “menentang” apa yang termaktub dalam Alquran. Di NKRI ini, para sesepuh dan pendiri bangsa telah menyikapi keniscayaan tersebut dengan bijak. Mereka membingkaikan keragaman tersebut dalam bingkai tali wa’tashimû bihablillâh. Meskipun berbeda, tapi kita tetap diajarkan tentang ukhuwah Islamiyyah, bentuk persaudaraan sesama bangsa karena dasar agama. Ukhuwah wathaniyyah, kesadaran dalam bingkai sama-sama mencintai tanah air yang kita pijak. Dan ukhuwah basyariyyah, meskipun berbeda ras, suku, bahkan agama , setidaknya kita masih sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang menjunjung tinggi persaudaraan sebagai fitrah.

Syaikh Whabah Zuhaili menegaskan, sebenarnya bentuk negara tidak diatur pasti oleh syariat. Bentuk sebuah negara adalah masalah siyasah yang kaitannya dengan maslahat. Disesuaikan dengan waktu dan kondisi. “Khilafah, imamatul ‘udzma, imarahtul mukminin (atau apapun sebutan lainnya) sejatinya mempunyai satu spirit dan tujuan: kokoh tegaknya berdiri hukum. Ulama-ulama Islam banyak sekali yang mendefinisikan dengan pengertian beragam, tapi esensinya sama: tidak penting bagaimana bentuk ‘khilafah’ dan kepemimpinannya. Yang penting adalah adanya sebuah kepemimpinan yang dipatuhi, bisa mengatur urusan-urusan negrinya, dan menjaga megri dari ancaman musuh-musuhnya.”[2] Pendapat Syaikh Wahbah Zuahaili ini menguatkan hadis Nabi bahwa khilafah yang diakui Nabi hanya bertahan selama tiga puluh tahun, tepat masa kepemimpinan khulafaur rasyidin yang jika kita hitung jumlahnya sama dengan prediksi Nabi[3].

Maka walaupun bentuk NKRI agaknya sekilas nampak “merugikan” mayoritas muslim yang tinggal didalamnya, karena tidak berasas khilafah, namun tercapainya kedamaian dan dakwah bil hal, dakwah dengan etika, jauh lebih penting. Kita bisa berkaca pada perjanjian Hudaybiyyah yang tampaknya merugikan umat Islam, namun nyatanya disebut-sebut sebagai kemenangan terbesar. Hari di panas terik setelah perjanjian itu disepakati, hampir-hampir tak ada satu sahabatpun yang tidak merasa kecewa dan sedih. Bahkan sampai sahabat Umar RA menemui Nabi dan memprotes perjanjian ini. Beliau tidak puas, mengapa kita merendahkan diri dan agama kita, jika benar engkau adalah utusan Allah, dan Islam adalah agama yang benar? Lalu surat al-Fath yang menjawab kegelisahan sahabat Umar RA: Allah SWT sudah menjanjikan kemenangan di depan mata. “Perjanjian Hudaybiyyah sejatinya adalah kemenangan terbesar. Karena tercipta kedamaian antar manusia. Dan orang-orang kafir bisa berbaur dengan orang kafir dan memulai dakwah, memperdengarkan Alquran kepada mereka, dan berdiskusi tentang Islam secara bebas dan aman. Lalu orang yang dulu menyembuyikan keislamannya juga akhirnya bisa menampakkan diri. Lantas masuk Islamlah orang-orang yang hendak masuk Islam dengan bebas, tanpa dihalangi.”[4] Atau Syaikh az-Zuhri dalam Sirah Ibn Hisyam membahasakan “kemenangan batin” dalam perjanjian ini sebagai, “Orang muslim dan non muslim saling bertemu, berbincang-bincang, dan berdebat. Bahkan tak ada seorangpun yang berakal sehat dan membicarakan Islam kecuali dia memeluknya.”[5]

 

 

 

[1] Disarikan dari Fiqh Sirah Nabawi, Syaikh Ramadhan al-Buthy 230-232. Darus Salam. 2015.

[2] Fiqh Islami. 6/573. Darul fikr 2008.

[3] Lihat HR. Tirmidzi. Hadis ke 2226.

[4] Zadul Ma’ad fi Huda Khoirul Ibad. Maktabah al-Manar al-Islamiyyah. Hal 309-314. 1994.

[5] Sirah Ibn Hisyam Hal 434. Darul Kutub Ilmiyyah. 2014.

0

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.