Memandang Allah adalah kenikmatan terbesar (al-Ladzah al-Kubra) yang tidak tertandingi oleh apapun. Tak ada saat-saat nikmat melebihi situasi perjuampaan seorang hamba dengan Sang Penciptanya. Bahkan kelak, menurut Imam al-Ghazali, ahlul jannah, para penghuni surga, akan melupakan kenikmatan-kenikmatan yang telah disediakan di surga ketika tengah memandangNya.
Berbicara tentang Zat Allah, seringkali menimbulkan kontroversi mendalam mengenai batas-batas keimanan dan kekufuran, mengenai dasar-dasar tauhid sekaligus penyimpangan darinya. Semua pedebatan teologis tentang Zat Allah, pertentangan, serta beragam diskursus yang dimunculkannya, tidak malah membawa seseorang pada pencerahan dalam persoalan ketuhanan, tetapi sebaliknya justru pada kebuntuan serta kesimpangsiuran, dan dalam titik tertentu bahkan mendekatkannya ke batas-batas kekufuran. Yakin tentang kefatalan ini, jauh-jauh sebelumnya Nabi telah memberi antisipasi dengan menyatakan:
“Berpikirlah tentang ciptaan Allah. Janganlah kalian berpikir tentang Allah, karena kalian tidak akan mampu memikirkan-Nya.”[1]
Pernyataan Nabi di atas menunjukkan bahwa upaya-upaya pembicaraan, diskursus, dan pengetahuan untuk menjelaskan tentang Zat Allah, apalagi mengidentifikasinya, dengan cara apapun dan melalui ilmu apapun, adalah upaya utopis dan sepenuhnya absurd. Berkenaan alasan absurditas pembicaraan tentang Zat Allah ini, Ibn Araby, tokoh paling otoritatif dalam spiritualisme, mistisisme sekaligus teologis, dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyah, menulis:
“Adapun pengetahuan tentang hakikat Zat Allah adalah terlarang; hakikat Zat Allah tak dapat diketahui dengan argumen atau pembuktian demonstratif melalui pikiran, dan tak dapat dibatasi. Sebab, Ia—Maha Suci Allah—tidak menyerupai sesuatu apapun, dan tak ada sesuatu apapun yang menyerupaiNya. Sehingga bagaimana mungkin seseorang menerupai segala sesuatu mengetahui Ia yang tidak menyerupai sesuatu apapun dan tidak diserupai oleh apapun? Maka, pengetahuanmu tentangNya hanyalah pengetahuan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang menyerupaiNya…”[2]
Kenyataan mendasar bahwa Zat Allah tidak dapat diserupakan dan tidak menyerupai apapun, memberikan pemahaman bahwa Zat Allah sebagai wujud yang sepenuhnya misterius, tidak dapat dipahami dan tidak dapat dimasukkan ke dalam “kriteria”, “standar”, “skema”, atau “kerangka” apapun karena semua istilah ini merupakan “batasan” bagi Zat Allah sekaligus melekatkan karakter kepadaNya, yang berarti menyematkan penyerupaan kepadaNya. Dengan kata lain, Zat Allah adalah wujud yang tidak mungkin dijelaskan, digambarkan, atau dideskripsikan. Ia bahkan tidak dapat diidentifikasi, diberi simbol, nama, atau disematkan dengan identitas, kondisionalitas, terma, istilah, atribut, alegori, gramatika, atau tanda apapun yang mungkin.
Sampai di sini bisa ditegaskan bahwa idiom “Yang Dilihat” dalam peristiwa Allah sebagai “Yang Dilihat” oleh Nabi Muhammad saw dalam titik kulminasi perjalanan Isra Mikrajnya, atau oleh ahlul Jannah di dalam surga kelak, tidaklah menunjuk kepada arti yang lazim digunakan untuk mengungkapkan pada objek indrawi yang dilihat, di mana masih terliputi, terkerangka, dan terkarakter dengan berbagai kriteria, seperti berada di sebuah tempat, arah, dan jarak; dekat, jauh, dan batasan-batasan lainnya. Ia adalah peristiwa yang tidak dapat terungkapkan dengan Bahasa atau kata-kata apapun, tanpa terkecuali.
“Yang dimaksud tidak lain adalah peristiwa penglihatan spesifik yang tidak dapat dirasionalkan, tidak dapat di-bagaimana-kan, dan tidak dapat digambarkan.”[3]
Maka, rumusan logis yang lebih tepat untuk mengetahui tentang kejelasan peristiwa Allah sebagai Yang Dilihat bukanlah mengetahui Zat Allah sebagai Yang Dilihat atau bahwa Zat Allah sebagai Yang Dilihat dapat diketahui, tetapi yang lebih tepat adalah mengetahui ketidakmungkinan mengetahui Zat Allah sebagai Yang Dilihat atau bahwa Zat Allah sebagai Yang Dilihat dapat diketahui dari kenyataan bahwa Zat Allah sebagai Yang Dilihat tidak dapat diketahui.
Rumusan inilah yang pernah diisyaratkan oleh Sayyidina Abu Bakar ra. melalui ucapannya yang bernada apofatik:
“Kesadaran akan ketidakmampuan mencapai pengetahuan (tentangNya) adalah pengetahuan (tentangNya).”[4]
Bahkan inilah yang menjadi puncak pengetahuan bagi para pencariNya, sebagaimana pernah dinyatakan Imam al-Ghozali:
“Puncak pengetahuan orang-orang ahli makrifat adalah ketidakmampuan mereka mengetahuiNya dan pengetahuan mereka dengan yakin bahwa mereka tidak sedang mengetahuiNya dan sama sekali tidak akan dapat mengetahuiNya.”[5]
Dikutip dari buku Rihlah Semesta Bersama Jibril as., Forum Kajian Ilmiah KASYAF (Kajian Santri Salaf) Purna Siswa III Aliyah 2017.
[1] Hadits ini dikutip dalam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, vol. 4 hal. 410.
[2] Muhyi ad-Din Ibn Araby, al-Futuhat al-Makkiyah, vol. 1 hal. 183.
[3] Muhammad bin Alawi al-Maliki, Wahuwa bi al-Ufuq al-A’la, h. 207
[4] Dikutip dalam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Maqshad al-Asna fi Syarh Ma’ani Asma al-Husna, vol. 1 h. 54.
[5] Ibid