Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir r.a., dia berkata, “ Rasulullah Saw. tinggal di Madinah selama sembilan tahun, tetapi selama itu pula beliau belum pernah berhaji. Pada tahun kesepuluh, barulah beliau mengumumkan kepada khalayak bahwa beliau segera menunaikan haji. Berbondong-bondong orang ke Madinah dengan maksud yang sama, yaitu mengikuti dan melaksanakan haji seperti halnya Rasulullah Saw.
Lima malam sebelum Dzul-qa’dah[1] berakhir, beliau meninggalkan Madinah menuju Makkah Al-Mukarramah. Jabir mengatakan, “Ketika Rasulullah telah menyiapkan untanya untuk berangkat, sejauh mata memandang aku melihat di depan Rasulullah Saw. banyak orang, jumlah yang sama juga di belakangnya, di kanan dan kirinya. Jadi, beliau, sang pengemban wahyu, berada di tengah-tengah kami.”
Para narator berbeda. Ada yang berpendapat bahwa pada waktu itu Nabi. ihram dengan niat haji ifrad (hanya menunaikan haji). Perawi yang lain mengatakan bahwa Nabi SAW. ihram untuk menunaikan Haji Qiran (melakukan haji dan umrah secara bersamaan). Yang lain mengatakan, Rasulullah Saw. ihram dengan niat haji tamattu (umrah dulu baru haji sendiri-sendiri).
Rasulullah Saw. memasuki Makkah melalui wilayah Kida, bagian atas Makkah, kemudian menuju Gerbang Bani Syaibah. Ketika dia melihat Rumah, dia berdoa, “Ya Allah, tambahkan ke rumah ini kemuliaan, keagungan, dan kebesaran. Juga menambah kemuliaan, keagungan, dan kebesaran serta kebaikan bagi orang-orang yang memuliakannya dengan menunaikan haji dan umrah.”
Setelah itu, Rasulullah Saw. melaksanakan haji. Rasulullah Saw. juga mengajari tata cara dan hal-hal yang disunahkan dalam haji. Pada hari Arafah, Rasulullah Saw. menyampaikan khutbah di hadapan para sahabatnya yang sedang berkumpul di sekelilingnya. Berikut salah satu petikannya:
“Wahai manusia, sesungguhnya setan telah putus asa karena tidak disembah lagi di bumi kalian ini, selamanya. Namun, jika setan ditaati pada perkara lainnya, ia akan membuat kalian rela terhadap perbuatan yang kalian anggap hina. Berhati-hatilah kalian dengan setan dalam menjalankan agama kalian.”
Mereka menjawab, “Kami akan bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, melaksanakan dan menasihatkannya.” Kemudian, Rasulullah Saw. menunjuk dengan telunjuknya ke arah langit lalu kepada orang banyak sembari berkata, “Ya Allah, saksikanlah! Ya Allah, saksikanlah! Ya Allah, saksikanlah!”
Pengertian Haji Rasulullah Saw.
Haji Rasulullah Saw. memiliki sarat makna terkait kelangsungan dakwah Islam, kehidupan Rasulullah Saw., dan aturan Islam secara umum. Kaum Muslimin telah belajar dari Rasulullah Saw. tentang shalat, puasa, dan zakat, serta hal-hal yang berkaitan dengan ibadah-ibadah dan kewajiban-kewajiban mereka. Satu-satunya ibadah yang belum Rasulullah Saw. lakukan adalah mengajarkan kepada meraka tata cara pelaksanaan ibadah haji.
Seruan berhaji ke Baitullah akan terus menggema hingga Hari Kiamat. Dia adalah seruan bapak para nabi, Ibrahim a.s., berdasarkan perintah Allah Swt. Akan tetapi, ibadah ini telah dinodai oleh berbagai bentuk penyimpangan jahiliah. Kesesatan dalam bentuk menyembah patung-patung, kebatilan, dan perilaku-perilaku kekafiran dan kemusyrikan.
Islam datang untuk mencuci semua daki yang menempel pada ibadah mulia ini, kemudian mengembalikannya pada kemurnian dan kesuciannya dengan cahaya tauhid, yang tegak di atas ubudiyah hanya kepada Allah.
Oleh karena itu, Rasulullah Saw. mengumumkan kepada orang banyak bahwa beliau segera melaksanakan haji menuju Baitullah Al-Haram. Karena itu pula, manusia berbondong-bondong mengikuti Rasulullah Saw. guna mempelajari tata cara pelaksanaan haji yang sahih. Agar mereka tak terjebak perilaku-perilaku jahiliah yang buruk.
Tampaknya, Rasulullah Saw. sadar bahwa misinya segera berakhir di dunia ini. Beliau telah melaksanakan amanahnya. Bumi Jazirah Arab telah makmur dengan tanaman tauhid. Islam telah tersebar luas mengisi hati-hati dan sanubari-sanubari di setiap tempat.
Manusia, yang saat ini semakin banyak dan tersebar di berbagai belahan dunia, sungguh sangat rindu bertemu rasul mereka. Mengambil faedah dan meminta nasihat darinya. Demikian pula Rasulullah Saw., beliau pun rindu untuk bertemu dengan mereka semua. Terutama mereka yang baru masuk Islam, yang berasal dari berbagai wilayah Jazirah Arab.
Mereka yang memang belum mendapatkan kesempatan yang cukup bertemu Rasulullah Saw. Sesungguhnya kesempatan yang paling indah dan terbesar adalah pertemuan antara umat dan rasulnya. Saat haji di Baitullah Al-Haram, di padang Arafah, di bawah naungan syiar di antara syiar-syiar Islam yang agung.
Haji Wada’ Sebagai Wasiat
Sungguh jelas dalam ilham yang diberikan kepada Rasul-Nya, bahwa pertemuan tersebut adalah sebuah perpisahan sekaligus penyampaian wasiat.
Rasulullah Saw. juga ingin bertemu sekelompok kaum Muslimin yang datang sebagai bukti hasil perjuangan Rasulullah Saw. selama dua puluh tiga tahun. Untuk menjelaskan kepada mereka ajaran dan aturan-aturan Islam dalam bentuk ungkapan yang padat dan nasihat yang singkat.
Rasulullah Saw. juga ingin menerawang dari wajah-wajah mereka gambaran keturunan dan generasi mereka yang datang berikutnya. Beliau ingin nasihat dan wasiat yang beliau sampaikan dapat pula sampai kepada mereka yang masih di balik batas-batas zaman dan di belakang dinding-dinding generasi.
Itulah beberapa makna yang terkandung dalam haji Rasulullah Saw., Haji Wada‘. Batang tubuhnya dapat Anda lihat dalam khutbah Rasulullah Saw. di Lembah ‘Urnah, pada hari Arafah.
Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah hal. 324 (Darul Fikr)
Baca Juga : Daging Kambing Makanan Favorit Rasulullah dan Mitos Darah Tinggi
Tonton Ngaji Kemis Legi 14/07/2022
[1] Para perawi berbeda pendapat soal penentuan hari keluarnya Rasulullah Saw. Ibnu Hazm menyebutkan Kamis, sedangkan perawi lainnya menyebutkan bahwa beliau meninggalkan Madinah pada Jumat. Namun, pendapat yang sahih, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Sa’d dalam Thabaqât-nya, bahwa beliau keluar pada Sabtu. Pendapat ini dikuatkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri. Kamis adalah hari awal Dzulhijjah, dan jumlah hari Dzul Qa’sudah pada tahun itu dua puluh sembilan hari. Perawi yang meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. meninggalkan Madinah lima hari sebelum Dzul Qa’dah berakhir beranggapan bahwa jumlah hari pada bulan tersebut tiga puluh hari.