Catatan Kisah Santri Baru

Perkenalkan, namaku Fajar. Aku berasal dari daerah Pasuruan, Jawa Timur. 15 Syawal 1439 H., menjadi pagi pertamaku di Lirboyo. Aku merasa impian yang selama ini terpendam akan terwujud menyambut kebahagiaanku.

Setibanya di pondok, aku langsung diantar ke kamar G.15, salah satu komplek santri yang berasal dari Pasuruan. Mulanya aku kaget melihat jalan menuju kamar yang sempit, kotor dan sulit untuk diingat.

Saat-saat pertama, aku pernah kesasar dan salah masuk kamar pula. Itu salah satu alasan kenapa aku sempat berpikir pulang, gak mau mondok di sini. Setelah satu minggu, ada banyak hal baru yang aku temukan. Diantaranya, saat aku mau mengambil air wudu. Selain aku harus antri, aku juga harus menahan nafas melihat  genangan air (jeding kobok -red) itu banyak sekali kotoran. Aku jadi ragu, antara nyebur atau tidak. Tapi, mau gimana lagi, terpaksa aku nyebur juga. Belum selesai sampai di situ, aku juga dibuat bingung, kok cuma aku yang kumur-kumur? anak-anak yang lain langsung basuh muka. Sebenarnya yang salah siapa ya? ah, sudahlah.

Selain cerita di atas, ada lagi pengalaman pertamaku saat mandi. Temanku berkata, “Fajar, Aduse nganggo telesan. (Fajar, mandinya pakai telesan)”

Telesan itu apa? Aku kira semacam sabun atau apa, ternyata telesan itu berupa sarung khusus buat mandi. Sebelum berangkat, katanya tempat mandinya berupa kolam. Sempat terbersit dalam pikiranku kalau kolam-kolam itu paling sempitnya sama seperti kamar-kamar di komplekku. Eh, ternyata kolamnya luas banget. Apa aku harus pindah ke sini aja ya?. Tapi, tetep terasa sempit juga kalau mandinya harus berdesakan begini.

Terahkir, momen yang membuatku heran adalah pas menghadiri acara Halal Bihalal Pondok sekaligus pembacaan peraturan santri baru itu. Saat itu, aku duduk dalam posisi enak-enaknya. Tiba-tiba, anak-anak mengeluarkan suara “shuut…shuuut…” dan spontan yang lain merunduk. Aku biasa saja, gak merunduk, sampai akhirnya temen di sampingku menarik paksa kepalaku supaya ikut merunduk.

“Sakjane ono opo se? kok arek-arek podho ndingkluk kabeh pas ono muni shuut…shuuut… (Sebenarnya ada apa sih? Kok teman-teman menunduk semua saat ada bunyi shuut…shuut…)” tanyaku penasaran.

“Lek ngunu iku berarti enten masyayih atau kiyai lewat, paham?. Mulane ndang ndingkluk. (Klau seperti itu berarti ada Masyayikh atau Kyai lewat, paham?. Makanya cepatlah merunduk)Jawab temanku.

Aku jadi tahu, ternyata itu kode etik para santri kalau ada masyayih atau keluarga masyayih. Haduh, aku malu juga sih, maklumin aja ya, aku masih baru.

Dua minggu sudah, bagiku itu waktu yang lama. Rasa ingin pulang tambah besar, aku merasa gak nyaman banget. Sampai akhirnya, ada momen yang baru lagi, minggu itu juga ada acara jam’iyyah se-Kabupaten Pasuruan. Aku disuruh hadir. Kebetulan yang mengisi mauidzoh hasanah adalah bapak-bapak penasehat santri Pasuruan sendiri. Di sela beliau menyampaikan wejangan, ada satu hal yang berhasil memotivasiku. Beliau menuturkan, “Ada pepatah mengatakan bahwa di tangan seorang santri ada cita-cita para ulama.

Saat itu juga, bayangan rumah, keinginan untuk pulang lenyap gak tersisa. Aku harus tetap di sini, aku ingin belajar terus di sini. Aku ingin meneruskan cita-cita para ulama, aku ingin menyebarkan cita-cita ini pada santri, dari generasi ke generasi, begitu seterusnya. Aku kembali mengingat impianku saat pertama kali menapakan kaki di pondok ini. Impian menjadi seorang yang bermanfaat, dan berguna bagi agama, terlebih lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mungin itu yang bisa aku ceritakan. Selain berbagi pengalaman, tulisan ini juga menjadi pelipur hati. Karena dengan menulis, ketenangan itu selalu menghampiri. Sekian, kurang lebihnya mohon maaf. Terimakasih.

 

_____________

Penulis adalah Muhammad Fajar, salah satu santri baru yang berasal dari Pasuruan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.