Kontruksi Nalar dan Perkembangan Ahlus Sunnah wal Jamaah

Menilik sejarah umat Islam di masa akhir khilafah dan masa-masa setelahnya, Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan kekuatan riil yang berkembang dan mengakar melalui perjuangan di luar lingkaran pertikaian. Saat konflik mulai merusak berbagai sendi kehidupan umat, sekelompok sahabat dan generasi sesudahnya selalu bersikap tawasuth; mengambil jalan tengah, dan tawazun; seimbang di dalam menyikapi setiap persoalan, dan bersikap tasamuh; toleran, adil dan netral di dalam menghadapi perselisihan.

Pada saat terjadi perselisihan politik antara sahabat Ali Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyan, terdapat beberapa sahabat yang bersikap netral dan menekuni bidang keilmuan. Sikap netral seperti itu juga dilanjutkan oleh beberapa tokoh tabi’in dan tabi’ al-tabi’in. Dalam kondisi seperti ini, terdapat sejumlah sahabat antara lain: Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan lain-lain, yang menghindarkan diri dari konflik dan menekuni bidang keilmuan dan keagamaan. Dari kegiatan mereka inilah kemudian lahir sekelompok ilmuan sahabat, yang mewariskan tradisi keilmuan itu kepada generasi berikutnya. Selanjutnya melahirkan para muhadditsin (ahli hadis), fuqaha (para ahli fikih), mufassirin (para ahli tafsir), dan mutakallimin; para ahli ilmu kalam. Kelompok ini selalu berusaha untuk mengakomodir semua kekuatan, model pemikiran yang sederhana, sehingga mudah diterima oleh mayoritas umat Islam dan mengakar kuat sebagai kekuatan riil dalam ideologi, syariat, maupun bidang-bidang yang lain.

Pada kurun berikutnya, potret “perjuangan tradisional” serupa dikembangkan oleh Al-Asy’ariy dalam menegakkan akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah. Sebagaimana telah terdahulu, awalnya Al-Asy’ariy belajar kepada Al-Jubba’i, seorang tokoh Mu’tazilah dan sementara waktu Al-Asy’ariy menjadi penganut Mu’tazilah, sampai tahun 300 H. Dan setelah beliau mendalami paham Mu’tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara beliau dengan gurunya, Al-Jubba’i dalam berbagai masalah, terutama masalah Kalam. Perdebatan itu membuat Al-Asy’ariy meragukan konsep akidah Mu’tazilah, dan pada masa berikutnya mengikrarkan dirinya keluar dari Mu’tazilah, dan  berjuang memantabkan Ahli Sunnah wal Jamaah.

Al-Asy’ariy membuat sistem hujjah yang dibangun berdasarkan perpaduan antara dalil nash (naql) dan dalil logika (‘aql). Dengan ini beliau berhasil memukul telak hujjah para pendukung Mu’tazilah yang selama ini mengacak-acak eksistensi Ahli Sunnah Wal Jamaah. Bisa dikatakan, sejak berdirinya aliran Asy’ariyah inilah Mu’tazilah berhasil dilemahkan dan dijauhkan dari kekuasaan. Setelah sebelumnya sangat berkuasa dan melakukan penindasan terhadap lawan-lawan debatnya, termasuk di dalamnya Imam Ahmad bin Hanbal.

Kemampuan Al-Asy’ari dalam melemahkan Mu’tazilah bisa dimaklumi, karena sebelumnya Al-Asy’ariy pernah berguru kepada mereka. Beliau paham betul seluk beluk logika Mu’tazilah dan dengan mudah menguasai sisi dan titik lemahnya. Meski awalnya kalangan Ahlus Sunnah sempat menaruh curiga kepada beliau dan pahamnya, namun eksistensinya mulai diakui setelah keberhasilannya memukul Mu’tazilah dan komitmennya kepada akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Di masa pemerintahan Islam dikuasai Bani Abbasiyah, terjadi perdebatan sengit antara para ulama dan tokoh-tokoh teologi yang ditimbulkan akibat masuknya nilai-nilai filsafat non-Islam terutama dari barat (Yunani). Karena akar filsafat dan teologi mereka berangkat dari mitos tanpa dasar agama samawi yang kuat. Hal ini menimbulkan gejolak di dunia Islam dan berubah menjadi pertentangan tajam. Dalam tubuh umat Islam, pertentangan ini terkonsentrasi pada tarik menarik antara dua kutub utama yaitu Ahlus Sunnah yang mempertahankan paham berdasarkan nash (naql) dan Mu’tazilah yang cenderung menafikan nash (naql) dan bertumpu kepada akal semata. Karena inilah mereka disebut dengan kelompok rasionalis.

Memanfaatkan pemerintahan yang didominasi oleh pengagum filsafat, Mu’tazilah pada akhirnya berhasil mempengaruhi penguasa saat itu untuk memaklumat faham Mu’tazilah sebagai akidah resmi negara. Mu’tazilah berhasil memboncengi kekuasaan khilafah Abbasiyah semenjak khalifah al-Ma’mun hingga kepemimpinan al-Mutawakkil. Mu’tazilah yang memegang kendali kekuasaan mencoba melakukan upaya pembatasan gerak dan pencekalan terhadap lawan-lawan mereka. Memanfaatkan isu-isu akidah, mereka berupaya melikuidasi dan melenyapkan tokoh lawannya. Perlawanan “Islam tradisional” berbasis Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak bisa terelakkan, dan mulai menghebat pada saat barisan Ahlus Sunnah dikomandani oleh dua tokoh ulama yang cukup berpengaruh, Al-Asya’ri dan Al-Maturidi. Mereka dalam hal ini menjadi kutub kekuatan madzhab akidah yang sedang mengalami gempuran hebat dari kelompok rasionalis yang saat itu memang sedang di atas angin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.