Periodesasi Ijtihad

Secara bahasa ijtihad adalah ungkapan bagi pengerahan daya kemampuan untuk menghasilkan sebuah hal yang dituju. Sedangkan secara istilah, ijtihad diartikan sebagai upaya mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang bersifat dugaan[1].

Ijtihad di Era Nabi

Terjadi kontroversi diantara para ulama mengenai apakah nabi juga melakukan aktifitas ijlihad. Menurut mayoritas ulama ushul, beliau boleh berijtihad ,dan hal ini pernah terjadi. Banyak sekali argumentasi yang diajukan pendapat ini, seperti firman allah: fa’tabiru ya ulil albab. Dalam ayat tesebut, yang dimaksud kata itibar adalah ijtihad dan qiyas. Ayat tersebut mengisntruksikan pada orang-orang yang memiliki akal sempurna untuk beri’tibar (berijtihad) termasuk diantaranya Nabi Muhammad saw, bahkan beliaulah yang lebih layak menerima perintah tersebut, sebab kapasitasnya sebagai orang yang paling sempurna akalnya[2]. Dan juga banyak hadits yang menggambarkan praktek ijtihad nabi, seperti ketika nabi ditanya sahabat umar mengenai dirinya yang telah menyentuh istrinya di siang hari padahal ia sedang berpuasa, kemudian beliau menjawab: bagimana pendapatmu jika saat puasa engkau berkumur?, dalam menjawab pertanyaan tersebut, nabi menganalogikan hukum mencium istri saat puasa dengan hukum berkumur saat puasa, dan ketika pertanyaan tersebut diajukan, nabi tidak menunggu turunya wahyu, dan memang saat itu wahyu tidak turun, sehingga jawaban tadi murni dari hasil ijtihad beliau.

Sedangkan mayoritas ahli kalam, dan mayoritas mu’tazilah dan asya’iroh berpendapat nabi tidak- boleh melakukan aktifitas ijtihad, sebab itu akan menyalahi firman allah: wama yanthiqu ‘anil hawa, yang menjelaskan bahwa semua kebijakan hukum nabi bersumber dari wahyu, bukan ijtihad, dan pendapal ini juga berargumentasi, bahwa semua tindakan nabi dipantau oleh Allah yang senantiasa menurunkan wahyunya ketika nabi dihadapkan sebuah persoalan, sementara hasil ijtihad hanya bersifat asumtif, dan wahyu bersifat pasti, sehingga nabi tidak perlu berijtihad, sebab hal yang pasti (qoth’i) harus didahulukan daripada hal yang masih sebatas dugaan (dhanni).

Ijtihad Sahabat di Masa Nabi

Sebelum wilayah kekuasan Islam meluas ke hampir seluruh jazirah Arab, semua persoalan yang terjadi masih dimungkinkan terpantau dan di tangani langsung oleh nabi, sehingga saat itu para sahabat tidak ada yang melakukan aktifitas ijtihad, kalaupun ada keputusan final tetap diserahkan nabi. Namun, setelah terjadi wilayah kekuasaan Islam yang hampir meliputi seluruh jazirah arab seperti Syam dan Yaman, tidak mungkin semua persoalan yang terjadi dimintakan langsung jawabanya kepada nabi,sehingga, nabi dirasa perlu mendelegasikan beberapa sahabatnya untuk menjadi hakim (qodhi) yang menangani persoalan yang terjadi di beberapa wilayah kekuasan islam, hal inilah yang membuka ruang bagi mereka untuk berijtihad, oleh karna itu mayoritas ulama berpendapat bahwa para sahabat di masa nabi boleh melakukan ijtihad, sebagaimana (diceritakan hadits Mu’adz bin Jabal yang masyhur itu, yaitu ketika nabi mengirimnya dan Abu Musa al-Asyari ke Yaman untuk dijadikan qodhi, ketika itu nabi bertanya: dengan apa kalian berdua memutuskan hukum? Mereka menjawab: dengan kitab Allah, jika disana tidak ditemukan jawabanya maka kami memutuskan dengan sunnah rasul, jika masih tidak ada maka kami kan menyamakan sebuah permasalahan dengan permasalahan yang serupa, kemudian kita ambil yang paling mendekati benar, kemudian nabi berkata: kalian berdua benar[3]). Jelas, dalam hadis tersebut nabi memberikan legalitas pada sahabatnya untuk berijtihad.

Ijtihad di Era Sahabat

Meski tradisi ijtihad para sahabat sudah dimulai sejak zaman nabi, yaiyu ketika mereka didelegasikan untuk menjadi qadhi, namun peran ijtihad mereka waktu itu belum terlalu signifikan, mengingat belum banyak persoalan yang terjadi ketika itu, disamping itu kehadiran nabi ditengah-tengah mereka membuat terjadi hukumnya langsung bisa dipertanyakan kepada beliau- wafatnya nabi pintu kreatifitas ‘ijtihad para sahabat lebih luas. Namun tidak semua sahabat melakukan iilihad, mereka yang mampu dan mengerti tentang nasikh mansukh,’am khas dan perangkat ijitihad yang lain yang berijtihad. Seperi kebijakan sahabat Abu Bakar untuk memerangi kelompok yang tidak mau membayar zakat, padahal dalam Alquran maupun hadits tidak ada instruksi tegas untuk memerangi mereka.

Ijtihad di Era Tabi’in

Corak ijtihad pada era tabi’in sangat beragam, ada kalangan yang bercorak rasional (ahli ra’yi) yang kebanyakan berdomisili di daerah Irak, ada kalangan yang bercorak literal (ahli hadits) yang banyak berdomisili di Hijaz. Karakter ijtihad kelompok rasionalis sangat berhati-hati dalam menggunakan hadits, mereka tidak menerima hadits kecuali jika memenuhi syarat-syarat yang ketat dan sulit terpenuhi, sehingga dalam berijtihad mereka lebih mengedepankan nalar dengan banyak menggunakan qiyas. Hal ini disebabkan beberapa hal, diantaranya, karakter ijtihad mereka sangat tersinpirasi dengan corak ijtihad Ibnu Mas’ud yang kerap menggunakan nalar dalam berijtihad, dimana Ibnu Mas’ud menjadi guru mereka di Irak, dan juga minimnya stok hadis yang mereka miliki , sementara persoalan yang muncul semakin beragam disebabkan kondisi Irak yang sudah terkontaminasi budaya Persia, Romawi dan Yunani, sehingga hal ini mendesak mereka untuk menggunakan nalar[4]. Sedangkan kolompok literalis terkenal memiliki komitmen terhadap hadits, mereka dalam menerima sebuah hadis tidak memberikan syarat-syarat yang ketat, bahkan hadis ahad dan dhoif sekalipun mereka jadikan tendensi hukum dan didahulukan daripada qiyas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.