Euforia pengakuan pemerintah pada elektabilitas pelajar-pelajar pesantren menjadi kebahagiaan tersendiri bagi dunia kaum tradisional. Meski pengakuan bukanlah tujuan akhir dari seluruh kinerja lulusan pesantren, setidaknya hal ini dapat menjadi cambuk penyemangat untuk terus berkarya dan mengabdi kepada bangsa.
Pesantren, dengan kurikulum-kurikulum yang secara garis besar dapat menggambarkan kualitas lulusannya, sekarang ini menjadi barometer pendidikan di Indonesia. Ketidakpuasan atas kredibilitas lulusan di luar pesantren yang ketika diberi kesempatan untuk berkarya justru cenderung merugikan negara, mendorong pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada pesantren untuk mengirimkan lulusan terbaiknya, guna turut berkarya untuk kemajuan bangsa. Terlebih dalam masalah moralitas anak-anak bangsa. Meski begitu, saat ini masih sedikit sekali lulusan pesantren yang mengabdikan diri dalam jajaran kepemerintahan.
Pencederaan nilai-nilai pancasila banyak sekali dilakukan oleh para peminmpin negeri, mulai dari korupsi, tindak asusila, dan masih banyak tindakan tak beradab lainnya. Para alumni pesantren dituntut untuk mengisi kekosongan pemimpin yang berprinsip tegas sesuai dengan nilai-nilai pancasila—terutama kandungan dalam kutipan sila keempat yaitu “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan, dalam permusyawaratan, perwakilan.” Sila keempat adalah wujud gambaran ideal seorang pemimpin. Dengan “hikmat,” seorang pemimpin akan menjaga amanat kepemimpinan melalui penjagaan nila-nilai agama, serta sesuai dengan tatanan negara.
Wujud kebijaksanaan dalam diri seorang pemimpin menjadi prinsip dasar munculnya keputusan-keputusan yang bersifat toleran dan menjaga persatuan. Pemimpin negara besar dengan aneka ragam suku, budaya, dan agama, haruslah memiliki sikap kepemimpinan yanng penuh hikmat serta kebijaksanaan dan beberapa faktor pendukung lainnya. Melihat betapa sulit memenuhi kriteria ideal seorang pemimpin, mengharuskan penanaman prinsip-prinsip dasar sejak dini. Hal inilah yang menjadikan pemerintah Indonesia memberikan apresiasi dan kesempatan kepada pesantren.
Dalam kajian sejarah, sejak era kepemimpinan berada dalam garis komando Nabi sebagai panjang tangan kebijakan Tuhan hingga era kebijakan Pak Jokowi, telah mengalami beberapa perubahan dalam konteks “keterkaitan pemimpin dengan agama,” yang secara tidak langsung menghasilkan kriteria ideal bagi seorang pemimpin. Era pertama dalam kepemimpinan Nabi, seluruh keputusan yang diambil dan dilaksanakan di masa itu merupakan wujud keputusan Tuhan. Maka tidak janggal jika semuanya menghasilkan kebijakan yang penuh maslahah dan keadilan.
Nabi Muhammad saw selaku sosok imam yang menjadi gambaran kriteria pemimpin ideal, dengan kesempurnaan berfikir dan penguasaan ilmu tata negara, serta sebagai utusan Tuhan yang secara tidak langsung dalam semua kebijakannya mengandung kebenaran yang tidak bisa disalahkan. Kajian sejarah yang mengambarkan kemajuan-kemajuan Madinah, banyak ditemukan dalam tinta emas islam. Pembentukan “Piagam Madinah” menjadi tonggak awal dunia sebagai sikap bijaksana untuk menjaga persatuan sebuah negara yang di dalamnya terdapat beberapa suku, budaya, dan agama. Dengan ide cemerlang ini, Madinah menjadi satu-satunya negara yang memiliki garis-garis demokrasi bagi setiap warga negaranya.
Kesejahteraan tidak menjadi khayalan bak lautan tidak bertepi. Peraturan-peraturan yang tertuang di dalamnya adalah gambaran kecil dari proses demokrasi terpimpin. Kesepakatan untuk hidup bersama dengan peraturan-peraturan yang menghilangkan fanatik kesukuan dan digantikan dengan semangat kenegaraan adalah langkah besar dalam dunia ketatanegaraan. “Sempurna” adalah kata dari nilai pemerintahan era Rasulullah saw, dengan struktural yang diisi oleh para ahli dalam bidangnya—menjadi faktor penting dari keputusan-keputusan yang cemerlang.
Berlanjut pada era Sahabat, kepemimpinan masih berada dalam jalur yang benar. Di mana tonggak kepemimpinan di bawah komando para ahli. Baik dari sistem tata negara, politik, hingga bekal pemahaman agama secara mendalam. Masa Sahabat Abu Bakar ra menjadi awal perubahan dalam tata cara mengambil kebijakan-kebijakan baru. Jika di zaman Nubuwwah, semua melalui perantara Nabi sebagai panjang tangan dari peraturan-peraturan Tuhan, di masa para sahabat semua keputusan merupakan hasil dari permusyawarahan yang dilakukan oleh para sahabat. Dengan kejelian dalam melihat maslahat dan madhorot, serta didasarkan kepada keputusan bersama, mewujudkan kebijakan-kebijakan baru menjadi lebih efektif untuk merubah tatanan kehidupan masyarakat.
Di era Sahabat Umar ra, kemajuan Madinah semakin terlihat. Dalam kepemimpinannya yang relatif sebentar, Umar dapat memberikan gambaran atas sikap patriotisme sebagai seorang pemimpin yang dapat mengesampingkan kepentingan pribadi. Di masanya, islam dengan kota Madinah menjadi pusat kemajuan bangsa Arab. Kebijaksanaannya semakin terlihat saat mengambil keputusan untuk tidak memberlakukan hukum potong tangan bagi pencuri ketika Madinah mengalami krisis moneter. Kontekstualisasi hukum islam menjadi semakin mudah ketika pemimpin juga ahli dalam penguasaan ajaran agama. Namun, semakin jauh dari era Nabi serta para sahabatnya, tidak ditemukan sosok pemimpin yang dapat memenuhi kriteria sebagai pemimpin ideal.
Relasi umara (pemimpin) dengan ulama menjadi benang merah dalam sejarah kepemimpinan. Di era sahabat hampir semua pemimpin memiliki dua komponen tersebut. Sehingga menciptakan sosok pemimpin yang tidak hanya ahli dalam sistem tata negara, namun juga menguasai ajaran serta aturan agama. Kejayaan negara menjadi hal yang dapat diperoleh dengan tanpa melewati garis-garis agama. Permasalah muncul ketika islam berada dalam negara yang pemimpinnya tidak memiliki dua komponen di atas. Seperti gambaran kecil di era kerajaan islam (sistem monarki), dalam setiap keputusannya seringkali akan membawa kerusakan yang muncul karena tidak adanya kredibilitas, serta kepemimpinan mutlak—yang menghilangkan tuntunan nabi untuk memusyawarahkan setiap keputusan. Kandungan nilai demokrasi islam pada saat itu kehilangan kekuataannya.
Hubungan yang seharusnya dapat menjadi solusi untuk menutupi kekurangan kualitas pemimpin, tidak sepenuhnya dilakukan oleh sultan-sultan di masa itu. Meski mereka tetap memberi tempat tinggi kepada para ulama, namun tidak semua masukan para ulama diterapkan (kendati secara riil merupakan keputusan terbaik). Hampir setiap keputusan yang diambil adalah wujud usaha mereka untuk mempertahankan kekuasaan.
Begitu juga dalam kajian sejarah kepemimpinan kemerdekaan Indonesia. Di era awal kemerdekaan, sulit sekali ditemukan sosok yang kredibel sebagai pemimpin negara sekaligus ahli agama. Akhirnya semua itu ditutupi dengan semangat gotong royong untuk saling bahu membahu antar ahli dalam setiap bidangnya. Para umara selalu meminta pertimbangan ulama dalam setiap keputusan yang akan diambil. Sehingga tercipta buah terbesar dari kuatnya relasi keduanya, kemerdekaan.
Memasuki era Orde Baru, kerenggangan terjadi antara dua komponen ini. Para ulama memilih untuk menjauhi umara karena mereka semakin jauh dari prinsip awal dibentuknya negara Indonesia. Semua nilai-nilai pancasila hingga arti semboyan Bhineka Tunggal Ika tidak berlaku lagi. Masukan-masukan dari para ulama hanyalah angin berhembus yang tidak perlu diambil kebijaksaannya. Kerusakan-kerusakan pun terjadi hingga Indonesia berada dalam titik nadir dengan maraknya peristiwa dan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di masa itu.
Belum ada perubahan signifikan hingga memasuki akhir tahun 2019 masehi ini. Meski secara tidak langsung, relasi dari keduanya saat ini nampak semakin kokoh dengan tampilnya lulusan pesantren yang menempati beberapa posisi strategis. Namun, semua itu tidak bisa menjadi solusi akhir dari kekacauan yang sering terjadi di negara Indonesia. Diperlukan seorang pemimpin yang dapat menyelesaikan problem-problem masyarakat dengan bijaksana dan pemegang amanat dengan hikmat.
Melihat kenyataan ini, sudah saatnya kepemimpinan berada di bawah komando sosok yang menjadi gambaran nilai-nilai pancasila serta dapat mengibarkan semboyan bangsa. Para alumni pesantren dengan bekal agama kuat, sudah seharusnya membuka diri untuk juga mempelajari ilmu-ilmu trias politika, serta ilmu-ilmu lain. Karena banyak klaim bahwa sebagian besar teori siasat dalam kitab kuning sudah tidak relevan dengan zaman. Perlunya bukti bahwa relevansi ilmu fiqh selalu dapat menjawab permasalahan baru. Tidak cukup dengan kita hanya menyampaikan sebatas teori, namun hanya cenderung kepada pengaplikasiaan teori-teori yang menurut banyak pihak yang sedemikian rumit.
Sebagian pesantren memang masih merasa antipati terhadap proses pemerintahan Indonesia. Bukankah KH. Wahab Hasbullah sudah memberikan contoh dalam memperjuangkan kebenaran dan usaha merubah kemungkaran yang mengharuskan kita untuk bersentuhan langsung, meski dalam beberapa fase kita juga akan turut dalam pelaksaan kemungkaran tersebut. Namun dalam agama hal seperti ini bukanlah larangan.
Perubahan-perubahan mindset alumni pesantren harus menjadi agenda besar di setiap tahun. Karena berdiam atas kemungkaran bisa jadi merupakan gambaran kerelaan wujudnya mungkar itu sendiri. Pemerintah telah memberikan peluang besar untuk para alumnus pesantren guna terjun dalam kabinet pemerintah. Program penyetaraan lulusan Ma’had Aly menjadi jalan terkonkret keseriusan pemerintah. Saat ini, para santri bukanlah sosok yang dianggap kolot, cupu, serta tidak cakap dalam bidang selain agama. Mereka adalah bibit unggulan yang menjadi harapan bangsa untuk memimpin negeri. Dengan kurikulum pesantren yang syarat akan makna persatuan, sudah seharusnya menjadikan mereka tampil sebagai yang terdepan di negeri ini.
Dunia tidak akan berhenti untuk sekedar menunggu kita. Jika tidak mengubah mindset, kita akan semakin tertinggal dengan perubahan-perubahan baru yang tidak dapat kita hentikan. Tuntunan agama untuk menjadi sosok yang mengamalkan amr bil ma’ruf wan nahyu anil munkar mengharuskan kita untuk siap dan sedia sebagai jawaban atas kerusakan moral masyarakat.
Analogi sederhana, kebaikan yang kita serukan dengan posisi kita hanya sebatas rakyat jelata—tidak jauh berbeda dengan mereka yang menghabiskan tenaga serta dana untuk berteriak-teriak tanpa kepastian akan tersampaikannya aspirasi dan usulan. Tindakan kita bisa lebih efektif jika kita pemengang otoritas atas setiap kebijakan yang diambil. Kita dapat menentukan besarnya maslahat dan kecilnya madhorot. Kabur dari semua permasalahan ini bukanlah solusi terbaik. Bom waktu akan meledak saat semua kemungkaran menguasai. Kita yang bersembunyi dari semua kewajiban ini hanya akan menunggu waktu untuk tersingkir dari persaingan.
Kita perlu belajar kepada sosok KH. Wachid Hasyim. Sosok santri yang dapat memberi perubahan dan pengabdian penuh totalitas kepada bangsa Indonesia. Berada di bawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari menjadikannya sebagai sosok intelektual. Bahkan sampai menguasai ilmu-ilmu dari negara barat, yang saat itu cenderung dilarang untuk dipelajari karena wujudnya sentimen terhadat ajaran penjajah. Bekerja sama dengan berbagai ahli dari luar pesantren menjadikannya mengerti, bahwa cita-cita bangsa tidak akan bisa tercipta jika kita berdiam diri tanpa ada semangat perubahan. Banyak pemimpin yang menjadi pejuang intelektual dari kalangan santri, seperti halnya KH. Mahrus Ali yang mempunyai inisiatif untuk mendirikan Sekolah Tinggi di tengah lingkungan pendidikan salaf. Hal ini merupakan gebrakan luar biasa. Ada lagi KH. Badrus Sholeh yang mendirikan pondok pesantren putri pertama di Karesidenan Kediri. Beliau memberikan kesempatan bagi perempuan-perempuan bangsa untuk turut belajar ilmu agama dan memiliki cita-cita mengabdi pada bangsa.
Pembaharusan seperti ini, juga perlu diterapkan dalam konteks kepemimpinan negara Indonesia. Dengan kesempatan yang diberikan oleh pemerintah, tidak ada salahnya bagi lulusan pesantren untuk berusaha mengabdikan diri kepada negara. Meski dalam kajian sejarah banyak sekali ulama yang lebih memilih untuk menghindari jabatan-jabatan pemerintah. Namun sekali lagi, bukan jabatan yang kita tuju. Semangat untuk membawa Indonesia kepada peradaban yang lebih maju, dengan tanpa menyalahi aturan agama, salah satunya dapat dicapai dengan masuk ke jajaran elit pemegang kekuasaan dan pemutus setiap permasalahan.
Dalam kajian fiqh, bukanlah larangan bagi orang-orang yang memiliki kecakapan dalam bidangnya untuk mengajukan diri sebagai calon pemimpin bangsa. Bahkan jika ia adalah sosok yang memiliki kreadibilitas serta memiliki keyakinan mampu memberi perubahan, maka wajib baginya untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa dalam konsep untuk membawa kepada yang lebih baik.
Bangsa Indonesia telah menyematkan kepercayaan tinggi kepada lulusan pesantren untuk memberi sentuhan perubahan. Tidak ada yang harus diperdebatkan. Semua itu hanya perlu pembuktian atas kepercayaan serta amanat bangsa. Tidak ada waktu lagi untuk menghindari atau lari dari tanggung jawab. Prinsip kuat yang ditanamkan para ulama kepada lulusan-lulusan pesantren seharusnya menjadikan semangat untuk berjuang dan mengabdi kepada negara semakin bergelora.
Terkekang dalam ketakutan yang menguasai pikiran, menjadikan kita tidak berani mengambil langkah efektif. Meski dengan sedikit kontroversi bukanlah hal yang perlu ditakuti. Semua itu hanyalah sebagai jalan menuju arah yang lebih baik. Prinsip sederhana yang harus ditanamkan dalam mindset para santri; “Berfikirlah untuk langkah yang memberi perubahan, bukan hanya mengolok-ngolok mereka yang berkorban untuk satu kebenaran dengan perubahan”.
Penulis: Muhammad Hasbullah Siswa Ma’had Aly Smt. IV
0