Dalam bidang fiqih, Ahlussunnah wal Jama’ah mengikuti 4 madzhab, yakni Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Di Indonesia, mayoritas umat Islam menganut madzhab Syafi’i. Meskipun demikian, bagi sebagian besar masyarakat, istilah Qoul Qodim dan Qoul Jadid masih terasa asing di telinga mereka. Namun bagi kalangan pemerhati kajian madzhab fiqih, kedua istilah tersebut adalah hal yang sangat populer. Sebab, diskursus kajian madzhab Syafi’i tidak akan pernah terlepas dari perjalanan sejarah intelektual As-Syafi’i yang menjadi cikal bakal munculnya dua istilah yang mewakili dualisme madzhab Syafi’i tersebut.
Sejarah Singkat Qoul Qodim dan Qoul Jadid
Qoul Qodim adalah pendapat Imam Syafi’i yang pertama kali difatwakan ketika beliau tinggal di Bagdad, Irak (195 H). Fatwa tersebut dikeluarkan ketika beliau mendapat wewenang langsung oleh gurunya, yaitu Muslim bin Kholid, seorang ulama besar yang menjadi mufti di Mekah, dan Imam Malik, yang mana tinta emas sejarah mencatatnya sebagai pendiri Madzhab Malikiyah dan yang pertama kali mempunyai inisiatif untuk mengumpulkan hadis dalam bentuk kitab Sunan.
Imam Syafi’i tinggal di Baghdad selama 2 tahun. Sejak itu pula, pengaruh Madzhab Syafi’iyyah mulai tersebar luas di kalangan masyarakat. Kemudian untuk sementara waktu, beliau terpaksa pergi mennggalkan Baghdad untuk pergi menuju Mekah demi memenuhi pangilan hati yang masih haus ilmu pengetahuan. Hal ini lah yang menjadikan Madzhab Syafi’iyyah mengalami stagnansi selama kurang lebih 16 tahun sampai saat kedatangan beliau di Baghdad untuk yang kedua kalinya pada tahun 195 H.
Imam Syafi’i saat kembali ke Baghdad berusaha merawat kembali dan mengembangkan benih-benih madzhab yang telah ditebarkan. Dan pada saat itulah pengaruh Madzhab Syafi’iiyah mengalami perkembangan yang begitu pesat. Hampir tidak ada lapisan masyarakat Baghdad yang belum tersentuh oleh roda pemikiran Imam Syafi’i.
Di antara pilar pendukung Madzhab Syafi’iyyah yang masyhur adalah Imam Ahmad bin Hambal (yeng kemudian terkenal sebagai pendiri Madzhab Hanabilah/Hambali), Az-Zafaroni, dan Abu Tsur. Empat orang ini lah yang tercatat sebagai periwayat Qoul Qodim yang tertuang dalam kitab Al-Hujjah.
Kemudian Imam Syafi’i terpanggil untuk memperluas lagi ladang dakwahnya. Dengan berbekal semangat dan tekad yang tak kunjung padam, akhirnya Imam Syafi’i memantapkan langkahnya untuk mengembara menuju negeri Mesir. Di sana, beliau mulai meneliti dan menelaah lebih dalam lagi terhadap ketetapan fatwa-fatwanya selama di Baghdad. Maka dari itulah, muncullah rumusan-rumusan baru yang kemudian terkenal dengan istilah Qoul Jadid yang tertulis dalam kitab Al-‘Um, Al-Imla’, Mukhtashor Muzani, dan Al-Buwaiti.
Di antara para pendukung dan periwayat Qoul Jadid yang terkenal adalah Al-Muzani, Al-Buwaiti, Ar-Robi’, Al-Jaizi, Al-Murodi, Al-Harmalah, Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakim, dan Abdullah bin Az-Zubair Al-Makki.
Dualisme Pendapat As-Syafi’i
Sebagian pendapat mengatakan, termasuk Qoul Qodim adalah pendapat Imam Syafi’i setelah keluar dari Irak namun belum masuk dan pendapat tersebut belum ditetapkan di Mesir. Dan termasuk Qoul Jadid adalah pendapat Imam Syafi’i yang telah ditetapkan di Mesir meskipun diucapkan di Irak.
Menurut Al-Asnawi, pendapat Imam Syafi’i yang tertuang dalam Qoul Qodim merupakan pendapat di luar Mdzhab Syaifi’iyyah, kecuali pendapat tersebut sama dengan Qoul Jadid. Hal ini didasari karena keberadaan Qoul Jadid telah menghapus (Nasikh) terhadap Qoul Qodim. Sebagai bukti, Imam Syafi’i melarang para muridnya untuk meriwayatkan Qoul Qodim dan tulisan-tulisan beliau yang terdapat dalam kitab Al-Hujjah yang tidak cocok dengan Qoul Jadid dihapus menggunakan air. Pendapat senada juga dilontarkan oleh Tajuddin Al-Kindi (terkenal dengan sebutan Farkah Al-Kindi), ia mengatakan bahwa Qoul Qodim sama sekali tidak bisa digunakan sebagai rujukan untuk berfatwa.
Di lain pihak, syaikh Ibnu Abdis Salam berpendapat, bahwa Qoul Qodim boleh digunakan sebagai tendensi hukum. Sebab munculnya Qoul Jadid bukan berarti menghapus (Nasikh) terhadap ketetapan Qoul Qodim, melainkan hanya sebatas penilaian kuat dan lemahnya suatu pendapat (Tarjih). Dengan pengertian, Qoul Jadid lebih kuat dibandingkan Qoul Qodim tanpa menafikan sama sekali terhadap keberadaan Qoul Qodim.
Dan pada akhirnya, Al-Asnawi berprediksi bahwa khilafiyah atau perbedaan pendapat di atas hanya terfokus terhadap Qoul Qodim yang tidak dicabut secara langsung oleh Imam Syafi’i. Adapun Qoul Qodim yang dicabut secara langsung oleh Imam Syafi’i, para ulama bersepakat atas ketidakabsahannya sebagai madzhab dan tidak boleh digunakan. Pendapat ini diperkuat oleh riwayat yang dikutip syaikh Abu Hamid dari Az-Za’faroni (periwayat Qoul Qodim), bahwa As-syafi’i telah mencabut sebagian Qoul Qodim sebelum beliau pergi ke Mesir. Meskipun demikian, Qoul Qodim yang telah dicabut yang dianggap sebagai pendapat di luar madzhab. Namun ada sebagian fatwa Imam Syafi’i yang boleh digunakan karena dianggap kuat dari sisi dalilnya menurut penilitian Ahli Tarjih. waAllahu a’lam[]
______
Referensi:
Syarah Al-Mahalli ala Al-Minhaj, Sab’ah Kutub Mufidah, Manaqib A’immah Al-Arba’ah, Hamisy Fatawi Al-Kurdi.