Meneguhkan Nasionalisme Santri di Era Milenial

Meneguhkan Nasionalisme Santri di Era Milenial
Penulis: A. Zaeini Misbaahuddin Asyu’ari*

“Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari Agama dan keduanya saling menguatkan.”
KH. Hasyim Asy’ari

Hari ini, Indonesia tiba di sebuah persimpangan jalan. Hal itu terjadi seiring dengan meruncingnya berbagai problematika kebangsaan di negara kita ini. Sejak dari pasca berdirinya NKRI, bahkan terus berlanjut hingga kini seakan tak kunjung usai mempersoalkan beberapa rumusan kebangsaan. Term nasionalisme salah satunya, sering dibenturkan dengan agama sehingga terjadi tarik ulur antara kebangsaan dan keagamaan. Dua pilar yang seharusnya saling menguatkan itu di perselisihkan seolah bertentangan. Akibatnya, terus menerus memunculkan banyak keresahan. Mulai dari merebaknya aksi terorisme, sikap intoleran terhadap non-muslim, diskriminasi terhadap etnis minoritas dan segudang problematika lainnya. Meski paham nasionalisme sudah terpatri dalam benak setiap santri. Namun, saat ini kita perlu untuk meneguhkan kembali spirit nasionalisme yang kian memudar di generasi milenial.

Akar historis nasionalisme di Indonesia

Paham nation state modern yang lahir melalui perjanjian Westphalia pada tahun 1648 merupakan fondasi sistem politik modern pasca terjadinya perang agama yang berlarut-larut dengan korban mengerikan yang terjadi dalam sejarah Eropa. Pada intinya, paham nation state atau nasionalisme yang sekarang berkembang dan diterapkan di dunia pada umumnya merupakan cerminan dari filsafat individualisme, liberalisme yang bersifat kapitalistik yang netral terhadap agama.

Ini sangat kontras perbedaannya dengan nasionalisme yang berkembang di Indonesia, karena memiliki akar kesejarahan sendiri dan memiliki latar belakang keagamaan tersendiri pula. KH. Wahab Chasbullah adalah ulama Indonesia yang pertama kali memaknai nation state atau nasionalisme berdasarkan nilai Islam dan budaya Indonesia, sehingga  pada akhirnya memudahkan penerimaan konsep pancasila sebagaimana yang disampaikan Bung Karno pada 1 Juni 1945. Indonesia resmi sebagai sebuah bangsa, lahir sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Sebuah ikrar persatuan luhur pemuda-pemudi Indonesia yang bertekad untuk satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Peristiwa Sumpah Pemuda merupakan eskalasi tekad bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, sehingga kemerdekaan berhasil diperoleh 17 tahun kemudian, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945.

Ikatan kebangsaan yang diikrarkan bangsa Indonesia, tidak semata-mata dibangun atas dasar kesamaan perangai, melainkan lebih pada kesadaran geo-politik, cita-cita, dan nilai-nilai luhur yang hidup mengakar dalam kepribadian bangsa Indonesia. Prinsip seperti inilah, yang selanjutnya melahirkan wajah bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Sebuah bangsa majemuk yang terdiri dari pluralitas suku, bahasa, agama, adat-istiadat, namun memiliki kehendak, cita-cita, dan komitmen untuk hidup mencapai tujuan bersama dalam satu bangsa, Indonesia merdeka. Negara bangsa yang berlaku di Indonesia selain mengandung nilai-nilai Islam juga mengacu pada nilai-nilai sejarah Nusantara, sehingga agama dengan negara hanya bisa dibedakan, tetapi sama sekali tidak bisa dipisahkan, apalagi dipertentangkan. Di situ terdapat hubungan simbiosis mutualistis antara agama dan negara. Konsekuensinya negara tidak bisa mengabaikan budaya Nusantara yang beraneka ragam, karena pada hakikatnya negara adalah rumah bagi para penghuninya yang tidak membedakan agama, suku, dan asal-usulnya.

Nasionalisme dalam perspektif Islam

 Nasionalisme memiliki akar kata “nasional” atau “nation” yang berarti “kebangsaan”. Ernest Renan mengartikan bangsa sebagai satu kelompok masyarakat yang memiliki kemauan atau kehendak untuk bersatu. Sementara Otto Bauer mendefinisikan bangsa sebagai rasa persatuan yang lahir karena persamaan nasib. Definisi nasionalisme inilah yang dikutip oleh Yudi Latif dalam bukunya yang berjudul Negara Paripurna. Banyak kelompok yang tidak setuju dengan ide nasionalisme. Mereka menentang, bahkan menyebutnya sebagai anak kandung sistem demokrasi barat yang cenderung anti agama (sekuler) dan tidak diajarkan dalam Islam. Sementara itu, kelompok lain menilai, kendati dalam Islam ide nasionalisme tidak memiliki ketentuan secara dalil normatif, tidak lantas membuat ide nasionalisme diklaim sebagai ideologi yang keliru dan keluar dari ajaran agama. Meski nasionalisme bangsa barat cenderung mengandung nilai-nilai yang negatif bila diaktualisasikan di negara kita, tetapi yang menjadi prinsip dasar di dalamnya adalah membangun dan merekatkan persatuan-kesatuan (nation-unity) yang selaras dengan prinsip dasar pancasila.

Oleh sebab itu, sistem yang berangkat dan berasal dari peradaban bangsa barat, tidak boleh buru-buru dipandang dan direspon secara negatif. Akan tetapi, harus disikapi secara jernih dengan pandangan positif. Sebagaimana adagium yang sering disampaikan oleh Rais ‘Am PBNU Almaghfurlah KH. A. Sahal Mahfudz:

خُذْ مَا صَفَى وَاتْرُكْ مَا كَدَرَ

“Ambillah perkara yang jernih, dan tinggalkanlah yang keruh.”

Pakar fikih terkemuka asal Suriah, Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam disertasi doktoralnya Atsar al-Harbi Fi al-Islam mengonfirmasi:

وَهَذِهِ الْأُصُوْلُ الضَرُوْرِيَّةُ لِلْمُوَاطَنَةُ تَبْتَعِدُ عَنْ وُجُوْدِ تَصَادُمٍ أَوْ تَعَارُضٍ بَيْنَ الْمَفْهُوْمِ الْغَرْبِيِّ لِلْمَوْطِنِ وَالْمَفْهُوْمِ الْإِسْلاَمِيْ لَهُ.

“Ide dasar nasionalisme yang dipahami paham barat dan Islam tidaklah bertentangan.”

Dalam bahasa Arab sendiri, nasionalisme dikenal dengan istilah “muwatanah” kata ini berasal dari akar kata “watan” yang berarti tanah air. Sementara, istilah tanah air menurut al-Jurjani dalam at-Ta’rifat-nya diartikan sebagai “al-Watan al-Asali” yang berarti tempat seseorang lahir dan tinggal. Menurut pandangan syari’at, rasa cinta tanah air dan nasionalisme telah dituntaskan oleh Rasulullah Saw.:

كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدْرَانِ المَدِيْنَةِ أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِهَا. (رواه البخاري)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.