“Terkadang Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk bertobat.
Akan tetapi, terkadang umur kita tidak memberikan kesempatan untuk itu.”
(Bapak Hamim_Arsyad)
Sebelumnya, saya pernah menyendiri dan befikir untuk membuka tabir dari kata tobat. Cukup lama, hingga sekarang saya baru menemukan ilham-ilham untuk berani menyimpulkan dan menulisnya di sini.
Jika kita mau menelusuri, pada akhirnya kita akan berhenti pada tiga unsur yang harus kita kuasai sebelum kita bertobat. Yang pertama adalah ilmu, kemudian kondisi dan perilaku. Kita harus tahu, ilmu dapat mempengaruhi kondisi dan kondisi dapat menyeret perilaku kemana pun ia mau.
Orang yang mengakar dalam ilmunya pasti akan tahu, jika ia berbuat dosa, pasti dalam benak kepalanya selalu dihantui neraka dan siksa-siksanya. Dosa memang selalu seperti racun—yang pasti membunuh orang yang berani meminumnya.
Seperti penggambaran seorang lelaki yang ditinggalkan kekasihnya, pasti lelaki tersebut merasakan panasnya hati dan kemudian rasa sakit itu merobek hati hingga tak berbentuk. Jika kepergian kekasihnya disebabkan perilaku jelek lelaki itu, ada baiknya ia berfikir dan menyesali perilaku yang ia lakukan. Dalam istilah arab menyesal diberi kata “nadhamah”. Ketika rasa sakit menguat di dalam tubuh dan menyelimuti hati seorang lelaki itu, ia harus bergerak untuk bangkit (irodah) dari penyesalan-penyesalan dan keterpurukan yang dihadapinya menuju jalan yang lebih lurus; terang.
Di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, ada penjelasan: bilamana dosa telah bertindis-lapis, niscaya dosa itu akan menjadi berkarat melumuri hati manusia. Jika itu terjadi manusia akan condong berbuat keburukan. Hati yang mati akan sulit untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, ia akan jauh dari kebenaran dan kebaikan agama.
Manusia seperti ini biasanya sering tak mempedulikan perihal yang berkaitan dengan akhirat. Biasanya ia lebih suka dan tertuju pada masalah urusan dunia, ia selalu menganggap bahwa—hidup di dunia yang ia harus kejar dan capai. Menasehati orang seperti ini membutuhkan kekuatan yang cukup untuk bersabar.
Saya punya satu solusi untuk orang-orang muslim agar kelak—saat di penghujung ajal kita bisa dengan mudah melafalkan kalimat thayyibah. Kalimat La ilaha ilallah. Pertama kita harus membiasakan melafalkan kalimat itu. Kedua, hati kita harus selalu diisi dengan kalimat thayyibah setiap harinya. Sering mengucapkan istihgfar untuk membersihkan diri, dan kita parfumi dengan bershalawat kepada Nabi.
Rasulallah meneladani kita dengan tobat sebagai aktivitas rutin bagi orang-orang yang beriman. Bahkan Imam Ghozali pun dalam kitabnya, berani menjadikan tobat sebagai sebuah kewajiban bagi orang yang memiliki keimanan. Imam Ghozali menyandarkan pendapatnya pada sebuah ayat Al-Qur’an: “Dan bertobatlah kamu—sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman—agar kalian beruntung.”(QS.An-nur:31)
Dari ayat di atas dapat kita kita lihat dan renungi bahwa anjuran tobat ditujukan bagi hamba-hamba Allah yang beriman. Kita sebagai orang yang beriman selayaknya membiasakan tradisi tobat setiap saat, jangan sampai di dalam hati kita terbesik sebuah anggapan bahwa kita adalah adalah mahluk yang suci dari dosa.
Ada kalanya kita perlu merenungi dan berfikir, bahwa Rasulullah yang dijadikan maksum oleh Allah selalu melafalkan istighfar setiap hari. Sedangkan kita sebagai manusia biasa yang selalu berhubungan dengan dosa yang kita tak sadari enggan melafalkan kalimat-kalimat suci. Saya pernah membaca sebuah hadits yang mana Rasulallah selalu mengingatkan dan mengajak kepada kita untuk bertobat kepada Sang Ilahi. Kalau tak salah bunyinya begini: “ hai manusia bertobatlah kepada Rab kalian, sungguh aku bertobat kepada Allah seratus kali dalam sehari.”
Manusia tidak akan bahagia menjumpai tuhannya kelak jika mereka masih membawa dosanya. Mereka tak akan bisa menari-nari di taman surga bersama bidadari jika mereka tak mau merontokkan dosa-dosa mereka dengan bertobat. Karena hanya dengan bertobat biasanya orang-orang bisa dengan tulus memberikan senyuman kepada tuhannya kelak saat mereka menjumpainya.
Kita harus tahu bahwa tak ada yang lebih baik dari pada Allah. Jika saja hambanya memiliki dosa sebesar gunung atau dosanya sebesar kerajaan Nabi Sulaiman, sungguh Allah adalah dzat maha pengampun dan mengasihi semua hambanya.
Kadang-kadang orang tidak mau bertobat karena tidak tahu bagaimana caranya bertobat. Gampang saja. Saya suka membeli buku-buku dan kitab di sebuah toko. Di sana tertera jelas bagaimana cara seorang hamba untuk bertobat. Untuk bertobat kita hanya perlu merenungi dan menyesali apa yang telah kita lakukan, dan membuat janji suci kepada Tuhan kita untuk tidak mengulanginya. Perbanyaklah shalat malam karena shalat malam salah satu pintu terdekat untuk mengantarkan kalimat istighfar kepada Tuhan kita. Kita hiasi hidup kita dengan perkara-perkara yang baik dan bermanfaat. Karena dosa terkadang bisa kita hapus dengan perbuatan baik.
Di hari ini, kita bisa memulainya dengan bertobat. Mungkin untuk besok kita sudah bisa membiasakakan tobat sebagai rutinitas kita. Dengan diawali bebuat baik untuk sesama dan di waktu yang masih sempat ini kita bisa melakukannya. Dan jika seandainya kita dipanggil oleh Tuhan, kita tidak akan berat menggerakkan bibir untuk tersenyum dengan indah.[]
(*) Penulis: Ahmad Dhiya’udin santri asal Bojonegoro
1
Assalamu’alaikum izin copas