Tuntutlah Ilmu Sampai ke Ponpes Lirboyo

Oleh: Tgk. Mustafa Husen Woyla, S.Pd.I*

Lirboyo awalnya adalah nama sebuah desa terpencil yang terletak di Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur. Dulu desa ini merupakan ‘sarang’ Partai Komunis Indonesia (PKI), penyamun dan perampok. Berkat kerja keras KH. Abdul Karim, seorang yang alim berasal dari Magelang Jawa Tengah berhasil mengubah semua tatanan masyarakat Komunis dan Kejawen menjadi masyarakat yang santun dan agamis, bermazhab ahlussunanh wal jamaah, dan berorganisasikan Nahdhatul Ulama (NU) lewat pendidikan pesantren salafiah.

Dengan model pembelajaran pesantren tradisional para kiai penerus KH. Abdul Karim telah berhasil mendidik puluhan ribu santri yang berilmu yang mumpuni sejak 1910 sampai sekarang. Pesantren Lirboyo sekarang (2014-Red.) dihuni oleh 13.000 ribu santri lebih yang terdiri dari 9 unit yakni PP HM Al Mahrusiyyah, PP Putri Hidayatul Mubtadi-aat (P3HM), PP Haji Ya’qub (HY), PP Haji Mahrus HM ANTARA, PP Putri Tahfizhil Qur’an (P3TQ), PP Putri Hidayatul Mubtadi-aat Al-Qur’aniyyah (HMQ), PP Darussalam, PP Murottilil Qur’an (PPMQ), PP Salafiy Terpadu Ar-Risalah (sekarang sudah bertambah dengan diresmikannya unit PP Al Baqoroh-Red.).

Kesembilan unit tersebut berada di bawah naungan pondok induk Lirboyo, kiai sepuh KH. M. Anwar Manshur yang berada dalam satu komplek dengan luas area 19 hektare. Sedangkan Yayasan Pendidikan Islam Tribakti (YPIT) berada di luar komplek, namun tidak jauh dari PP Lirboyo. Di samping itu Lirboyo juga memiliki lembaga otonom yang diberi kewenangan mengambil kebijakan membuat manajemen secara terpisah.

Kedatangan kami ke berbagai Pesantren di Jawa Timur pada Selasa, 20 Agustus 2014 berakhir sampai 18 September 2014 merupakan Program Badan Pembinaan Pendidikan Badan Dayah (BPPD) Provinsi Aceh yang diberi nama Magang/Kaderisasi Guru Dayah ke Jawa Timur. Kami semua beranggotakan 50 orang dari berbagai dayah di 23 kabupaten/kota di Aceh dan ditempatkan 10 orang perpesantren.

Adapun yang menjadi tujuan adalah Pesantren Tebuireng di Jombang, Pesantren Lirboyo di Kediri, Pesantren Sidogiri di Pasuruan, Pesantren Langitan di Tuban, dan Pesantren Asy-Syafi’iyah di Situbondo. Sementara saya dan teman-teman ditempatkan di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.

Belajar kitab kuning
Sekilas Ponpes Lirboyo tidak berbeda jauh dengan pesantren pada umumnya di Aceh yakni belajar kitab turats (kitab kuning Arab gundul) dan menekankan aspek penanaman karakter terhadap santri, mulai bangun tidur sampai tidur kembali. Namun ketika diperhatikan metode belajar di Lirboyo ada yang berbeda dengan dayah-dayah di Aceh.

Umumnya, dayah atau pesantren di Aceh menerapkan metode guru aktif dengan cara guru membaca dan menjelaskan isi kitab, sementara santri hanya dituntut mendengar dan bertanya jika masih kurang jelas. Di Lirboyo, para santri dibagi dalam tiga tingkatan yaitu Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah. Pembagian tingkatan ini bukan berdasarkan umur, namun berdasarkan kemampuan. Maka tidak heran ada dosen, misalnya, yang duduk di kelas 4 Ibtidaiyah.

Jadwal atau waktu belajar di Ponpes Lirboyo pagi, siang dan malam. Jika dilihat dari kalender akademik pelajaran, jumlah alokasi waktu kegiatan belajar mengajar (KBM) formal (dalam kelas) 8 jam (60 menit perjam pelajaran). Dari 8 jam tersebut hanya 2 jam digunakan oleh mustahiq (guru) untuk menjelaskan pelajaran. Selebihnya guru hanya diam mengamati jalannya musyawarah (diskusi) santri dengan mengunakan metode bahtsul masail (pemecahan masalah) yang dipimpin oleh rais (ketua) yang dipilih secara bergiliran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.