Jarang terdengar ketika kita mencoba bertanya suatu hal yang bersifat asin dan kita tak tahu jawabannya kepada mereka “yang lebih tahu”, mereka akan menjawab dengan “aku tak tahu”. Seperti menjadi aib yang teramat besar bagi sebagian orang untuk mengakui dirinya, kalau memang dia “tak tahu”. Terlalu sempitnya orang mengartikan ketidak tahuan sebagai sebuah ujung dari mata rantai kebodohan. Padahal siapa tahu saja jawaban akhir “tidak tahu” adalah ritus terakhir dari berbagai pengalaman yang matang. Dengan berbagai pertimbangan, memang harus dijawab seperti itu, -atau lebih baik diam saja sekalian “agar setidak-tidaknya” memanfaatkan waktu untuk berfikir.
Sejatinya adalah hal yang wajar, bahkan sepandai-pandainya orangpun akan memiliki sisi “ketidak tahuan”. Selain karena tidak mungkin cukup usia seseorang untuk membuka semua khazanah yang ada, masih banyak yang harus dikaji ketika mulai menimba ilmu menjadi terasa semakin mengasyikkan.
Orang dengan gelar sarjana, adakah yang masih sudi untuk mengakui kehebatan anak sekolah dasar? Tentu menjadi pertanyaan yang naif jika hanya soal-soal sederhana yang diajukan padanya. Tapi faktanya, adalah sebuah dilema ketika pertanyaan mendadak menjadi sulit. Yang biasanya menjawab, “aku tahu” terasa kelu lidahnya ketika belajar mengucapkan, “aku sungguh-sungguh tidak tahu”.
Orang kadang terlalu sederhana menilai lautan, jika lautan itu umpamanya samudera pengetahuan, dengan mudahnya dia katakan pada dirinya sendiri sembari membusungkan dada, “Ternyata lautan memiliki ujung di bawah matahari yang sedang terbit itu”.
Adalah analogi sederhana ketika seorang pemula yang belum tahu apa-apa baru memulai belajarnya. Dia pikir, ini akan ada akhirnya, “Ditempuh dalam satu tahun juga aku sudah jadi orang yang sangat hebat,” pikirnya.
Dan ketika kapalnya mulai berlayar, mendadak dia dilanda kecemasan lantaran kapalnya tak kunjung menemukan pelabuhan. Dicari ke arah manapun tak ada tempat bersandar, seolah tersesat di suatu medan asing yang tak memiliki peraduan. Dia menemukan sebuah kesimpulan, “Lautan ini lebih luas dari yang pernah aku bayangkan”. Dia agak mulai merasa rendah diri sekarang, “bahkan sepuluh tahunpun sepertinya aku belum setengah jalan”.
[ads script=”1″ align=”center”]
Adalah analogi sederhana ketika sedikit-sedikit dia akhirnya mau “membaca sesuatu”. Bukan saja ini tak akan ada habisnya, tapi justru semakin “dibaca” semakin bikin penasaran.
Ketika kapalnya mulai akrab dengan samudera, yang dia lakukan adalah belajar menyelam. Di atas permukaan saja dia hanya menemukan nuansa yang sangat sederhana. Hanya ada hamparan lautan biru dimana-mana. Di atas sana juga hanya ada langit dan bintang yang setia dengan karakternya. Pagi matahari terbit di timur, dan hilang di barat. Digantikan rembulan pada malamnya. Begitu setiap harinya. “Adakah hal menarik dibawah sana?” Alangkah terkejutnya ketika dia mendapati teronggok lapisan terumbu karang maha indah, ikan-ikan yang tak bosan berganti wajah. Warna yang bukan hanya biru yang ia berhasil temukan, namun juga mulai nampak hijau dan merah. “Didalam lautan ini adalah keindahan ynag sesungguhnya”.
Adalah analogi sederhana ketika orang mulai mengerti ada apa dibalik “perjalanan ilmiah” yang sedang ia lalui. Bukannya kurang percaya diri atau apapun istilahnya, selamanya pun dia tidak akan selalu tahu ada apa jauh di sana. “Kepuasan itu muncul dari hati ketika aku sudah berhasil melalui semua pelan-pelan,” katanya sambil agak menundukkan kepala.
Ketika dia pulang ke daratan, dia sudah memiliki cara lain untuk memandang lautan di sana. Sambil takjub dan tahu diri bahwa penglihatan kecilnya tak akan sebelah mata lagi memandang apa yang di depannya adalah hal yang segera berkesudahan.
Sederhananya, ketika kita enggan untuk mengatakan “aku tak tahu”, berarti kita baru memandang apa yang “kita tahu” ibarat sedang berdiri di bibir pantai. Merasa apa yang dia ketahui sekarang adalah tentang segala hal. Padahal, matanya baru berhasil menangkap “lautan” hanya sampai garis cakrawala –semua orang tahu kalau laut tidaklah sesempit itu.
Mari untuk sekedar belajar jujur pada diri sendiri. Manusia lengkap dengan keterbatasan yang dia miliki. Tidak mungkin untuk “tahu segala hal”, maka sedikit-sedikit coba kita katakan “beri aku waktu.” Untuk berfikir, atau lebih bagus lagi, “membaca.” Biarkan ia mengerti “lautan” dengan lebih jauh lagi. Semakin ia memahami laut, semakin ia tahu bahwa ia tak lebih dari setitik ombak diantara jutaan ombak lainnya.
وقال محمد بن رمح عددت لمالك مائة مرة قال لا أدري في مجلس واحد
“Aku pernah menghitung imam Malik bin Anas berkata, ‘aku tak tahu,’ sampai seratus kali dalam satu majlis.”
Lalu bagaimana dengan kita? [SLr]
0