Assalamualaikum Wr. Wb.
Sekarang ini, khususnya di perkotaan banyak sekali masyarakat muslim yang karena kesibukannya/ tidak adanya kemampuan untuk mengurus masjid/ mushola mengangkat seseorang untuk mengurusnya dengan imbalan gaji yang diambilkan dari kas masjid/ mushola. Sedangkan yang harus dikerjakan antara lain mengurus kebersihan masjid/ mushola tersebut, menjadi muadzin, mengimami salat, khutbah, dan hal-hal lain yang masih berhubungan.
Yang menjadi pertanyaan saya adalah: Bolehkah mengambil gaji dari kas masjid/ mushola dengan pekerjaan di atas? Dan bagaimana menurut pandangan tasawuf, apakah gaji tersebut baik untuk dimakan?
Atas jawabannya kami ucapkan terima kasih teriring do’a, Jazakumullah ahsanal jaza’.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Ibnu Kosim
Admin – Waalaikumsalam warahmah wabarakah. Terima kasih Kami sampaikan atas kenan singgah Anda pada website Kami.
Dalam perspekstif fikih, status tanah atau bangunan yang sudah diwakafkan untuk dijadikan masjid, musholla, madrasah, pondok, dan lain-lain, merupakan harta yang terlepas dari hak kepemilikan manusia. Artinya, harta tersebut telah berpindah menjadi hak milik Allah. Konsekuensinya tidak dapat diwariskan, dijual, atau diberikan pada siapapun. Dalam metode pengelolaan dan pembelanjaannya (tasharuf), setiap muslim berhak memanfaatkannya sesuai dengan tujuan pewakafan, seperti dibuat salat untuk wakaf masjid, musholla, dibuat sekolah, dan seterusnya.
Sedangkan kekayaan masjid dan musholla yang diwakafkan, seperti uang kas masjid, pola pembelanjaannya dibedakan sesuai dengan sumber dari mana dana tersebut dihasilkan. Secara terperinci dapat dipetakan dalam beberapa perincian sebagai berikut:
- Bila kekayaan tersebut dihasilkan dari sedekah dan hibah, maka bentuk pembelanjaannya disesuaikan dengan tujuan pemberi (qosdu al muhdi). Hal tersebut dapat diketahui dari ucapan atau indikasi-indikasi yang ada, seperti melihat tradisi yang umum terlaku di masyarakat. Hal ini dapat berlaku jika dalam tradisi, pemberian itu dimaksudkan untuk kemaslahatan masjid secara umum atau secara khusus, semisal hanya untuk pembangunan saja.
- Bila kekayaan itu dari hasil barang-barang yang di wakafkan pada masjid (roi’ul mauquf ‘ala al masjid), seperti kebun yang diwakafkan untuk kepentingan masjid (bukan dijadikan masjid), maka hukumnya dipilah: Pertama, bila kepentingan masjid itu yang dikehendaki mutlak atau untuk meramaikan masjid, maka pembelanjaannya untuk pembangunan masjid, menara, ongkos, dan penjaga masjid. Sedangkan untuk ongkos muadzin dan imam atau biaya beli karpet, lampu, para ulama berbeda pendapat. Kedua, bila yang dikehendaki dengan kepentingan masjid adalah untuk kemaslahatan masjid, maka boleh ditasharufkan untuk semua keperluan di atas dengan kesepakatan para ulama. Dan untuk mengetahui kepentingan ini adalah dengan menyesuaikan kehendak orang yang mewakafkan (waqif) ketika mewakafkan. Namun, apabila waqif memutlakkan kepentingan yang dikehendaki, maka tata cara pembelanjaannya mengikuti tradisi (urfy) yang berlaku, yang pada prinsipnya adalah arah pembelanjaannya lebih mendekati tujuan waqif.
Dengan demikian, uang kas masjid atau mushola boleh digunakan untuk gaji penjaga apabila tidak menyalahi tujuan pemberi atau tujuan waqif yang dapat diketahui dengan ungkapan atau indikasi (qarinah) ketika terjadi pemberian atau pewakafan. Namun yang perlu digaris bawahi adalah bahwa standar gaji yang berhak ia peroleh dari uang kas masjid ditentukan dengan syarat sebagai berikut:
- Tidak kaya/ masih membutuhkan.
- Menurut Imam Rofi’i, besar gaji diukur sesuai dengan kebutuhan nafkahnya. Sedangkan menurut pendapat Imam Nawawi, setidaknya diukur dengan dua perkara, yaitu biaya nafkah dan ongkos umum sebagai penjaga masjid. Dan pendapat inilah yang dinilai paling ihthiyat (hati-hati).
Walllahu a’lam bisshowab. Untuk referensi bisa dilihat pada al Syarwani Juz VI, I’anah at Thalibin Juz III, dan al Mahalli Juz III.
8