Zakat Manifestasi Islam

Pembatasan sosial bersekala besar membuat kita tidak bisa bergerak bebas dalam beraktifitas. Pandemi Covid-19 menjadi pemicu, menggerus tatanan ekonomi di segala sektor. Para pengusaha banyak yang gulung tikar, sebab pemasukan tidak memadahi dengan modal yang telah dikeluarkan. Kebanyakan dari mereka terpaksa memberhentikan kontrak kerja kepada buruh, agar pemasukan dan pengeluaran dapat berjalan seimbang.

Data yang dikumpulkan oleh KOMPAS.com mewartakan sebanyak 1,7 juta pekerja terkena pemutusan kerja (PHK) atau dirumahkan. Pengangguran menyeruak. Untuk mencari pekerjaan lain—dalam masa pandemi ini—mereka sangat kesulitan. Grafik kemiskinan naik signifikan. Permasalahan ini sangat perlu untuk direspon sesegera mungkin. Sebab, jika berlarut-larut, aksi kekerasan akan terjadi di mana-mana. Ulah pencurian, penjarahan, dan bentuk anarkis lainnya akan marak.

Perputaran ekonomi menjadi permasalahan yang paling substansial untuk direnungkan. Sebab ekonomi menjadi kebutuhan primer yang tidak akan lepas dalam kehidupan manusia. Keprihatinan dan kepekaan, rasa solidaritas, tolong-menolong kepada orang yang membutuhkan bantuan, harus menjadi tindakan nyata.

Dalam Islam, segala aspek tatanan sosial telah didesain dengan apik. Hal ini membuktikan bahwa perhatian Islam terhadap kemakmuran umatnya adalah prioritas terdepan. Penanggulangan kemiskinan bisa kita atasi dengan penyaluran zakat yang merata.

Syaikh Muhammad asy-Syathiri dalam Syrah Yaqut an-Nafis mengungkapkan bahwa zakat adalah roda perputaran ekonomi yang luar biasa besarnya dan bisa mengentaskan kemiskinan secara nyata jika diaplikasikan sesuai dengan prosedur yang benar. (Asy-Syathiri, tt)

Menjabarkan perihal hikmah zakat, Imam ar-Razi berasumsi;

أن الأغنياء لو لم يقوموا بصلاح مهمات الفقراء فربما حملهم شدة الحاجة ومضرة المسكنة على الالتحاق بأعداء المسلمين ،او على الاقدام على الأفعال المنكرة كالسرقة وغيرها فكان ايجاب الزكاة يفيد هذه الفائدة

Jika orang kaya tidak menunjang kebutuhan primer orang faqir, boleh jadi kebutuhan yang sangat mendesak, dan kemlaratan yang teramat sangat, dapat mendorong mereka bergabung bersama musuh-musuh Islam atau mereka nekat melakukan tindakan-tindakan kriminal seperti mencuri dan lain sebagainya. Dengan alasan ini maka diwajibkan zakat bagi orang-orang kaya.” (Ar-Razi, tt)

Mengambil i’tibar dari ibarat di atas, tidak hanya aksi kriminal saja yang akan terjadi ketika krisis moneter berkepanjangan, respon murtad, bahkan aksi terorisme akan sangat mudah kita temui. Maka pembayaran zakat dari orang kaya menjadi tumpuan yang sangat berarti atas kelangsungan hidup bagi orang-orang fakir, di samping kewajiban yang telah dibebankan kepada setiap personal yang memenuhi syarat pembayaran zakat.

Mendermakan Zakat Kepada Non Muslim

Menjadi permasalahan baru, ketika pandemi mewabah. Melambatnya perekonomian global disertai ketidakpastiannya, akan sangat berpengaruh pada ekonomi di dalam negeri. Dampak kerugian menyeluruh di segala sendi. Banyak orang yang mengalami kemudaratan akibat kasus ini.  Mereka yang mengalami cobaan, kesialan, kesusahan, sangat mengharapkan uluran tangan.

Krisis ini menjadi kasus hangat untuk menanggapi permasalahan yang terjadi dalam tubuh Baznas (Badan Zakat Nasional). Menukil Surat Keputusan (SK) Ketua Baznas Nomor 64 Tahun 2019 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat, tertulis, di antara asnaf fakir adalah korban bencana alam dan bencana sosial, maka meliputi orang beragama Islam dan non Muslim. (Amanda & Permana, 2020) Yang menjadi problem adalah, dapatkah penyaluran zakat diberikan kepada non Muslim?

Sebagai instrument yang masuk dalam salah satu rukun Islam, tentu saja, zakat memiliki aturan mengikat dalam fan ilmu fikihnya. Berdasarkan surat At-Taubah ayat 60, yang berhak menerima manfaat zakat adalah delapan asnaf yang sudah kita ketahui. Tetapi respon cepat mengambil jalan tengah dalam mencari solusi, adalah tanggapan paling bijak supaya tidak terjadi kesenjangan yang berkelanjutan.

Pendapat yang digunakan mayoritas ulama, dalam pemberian zakat kepada non Muslim tidak bisa dilegalkan dalam syariat Islam. Namun, Imam Abu Hanifah, Muhammad, dan ulama yang lain, memberikan celah bahwa zakat dapat ditasarufkan kepada ahli dzimmi (non Muslim yang berakad damai). Ulama yang melegalkan pemberian zakat kepada non Muslim, berlandaskan keumuman ayat 271 dari surat Al-Baqarah. (Al-Qordhowi, tt)

إن تبدوا الصدقات فنعما هي، وإن تخفوها وتؤتوها الفقراء فهو خير لكم، ويكفر عنكم من سيئاتكم (البقرة: 271).

“Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang faqir, maka menyembunyikannya itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian dari kesalahan-kesalahanmu.” (Al-Baqarah: 271)

Pendapat ini bisa jadi sangat mencengangkan, dan tidak bisa diterima oleh mayoritas orang Islam. Apalagi dalam nuansa akhir-akhir ini dengan sensitifitas agama yang semakin hari tambah memanas. Anggapan ini bukan hal yang baru, bahwa sejak dulu, memang pendapat ini dianggap bertentangan dengan ijma’ (konsensus seluruh ulama). Tetapi, dakwaan ijma’ yang dilontarkan banyak ulama tentang ketidakbolehan memberikan zakat kepada non Muslim juga tidak sah. Ketidaksahan dakwaan ijma’ dilatarbelakangi sokongan pendapat yang sama dengan Abu Hanifah dari beberapa Mujtahid lain, seperti; Ibnu Sirrin dan az-Zuhri. (An-Nawawi, tt)

Sementara dalam perspektif Yusuf al-Qordhowi, memperbolehkan memberikan zakat kepada ahli Dzimmi, jika harta zakat mencukupi dan tidak membahayakan untuk orang fakir yang Muslim. (Al-Qordhowi, Fiqih Zakat, tt)

Pemberian zakat kepada non Muslim, hanya merupakan opsi ketika tidak menemukan—belum memastikan tidak ada—orang muslim yang berhak menerima zakat. Pendapat ini seperti yang dipaparkan oleh Syekh al-Jassos.  (Al-Jassos, tt)

Sedang daripada itu, yang perlu diingat adalah, pendapat ulama yang menyatakan bahwa tidak boleh memberikan zakat kepada kafir, bukan berarti membiarkan mereka dalam keadaan miskin dan terlunta-lunta. Mereka berhak untuk disantuni, diberikan tunjangan dari kas negara; seperti pendapatan dari pajak, dan hal ini sesuai yang diimplementasikan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Bahkan, beliau melakukan hal tersebut, tanpa harus menunggu permintaan dari orang non Muslim. (Al-Qordhawi , tt)

Perluasan Sektoral Zakat

Di masa pandemi dengan grafik kemiskinan yang makin meningkat, secara otomatis, untuk mengentaskan kemiskinan juga dibutuhkan dana yang besar. Problem ini, dapat kita carikan solusi melalui perluasan sektoral zakat.

Menurut Wahbah az-Zuhaily, jika tidak mencukupi kebutuhan orang-orang yang berhak mendapatkan zakat dari harta-harta yang wajib dizakati menurut pandangan konvensional (tanaman, buah-buahan, hewan ternak, dagangan, emas dan perak), maka untuk menambah kas zakat  demi menutupi kebutuhan mereka, kita dapat mengaplikasikan pendapat ulama kontemporer yang mewajibkan zakat mesin industri (temasuk bus, mobil jasa ekspedisi, pesawat, kapal tanker, kargo, pesiar dan alat-alat transportasi yang lain), uang (seperti brusa saham, surat obligasi atau surat berharga), pekerja tetap atau karyawan, dan pekerja lepas atau serabutan (wirausaha), perumahan atau apartemen, dan tempat-tempat yang disewakan (hotel dan wisma). (Az-Zuhaily, tt)

Dan maklum kita ketahui, bahwa pendapatan dari sektoral tersebut lebih banyak dan jauh dari hasil pendapatan tani, dan segala bidang yang wajib dizakati menurut konvensional. Maka sangat realistis dan mau tidak mau harus diterapkan kewajiban zakat sektor di atas.

Gerakan Aksi

Hari ini kita menyaksikan kemiskinan masih menjadi polemik utama kaum Muslimin. Padahal masyarakat Muslim adalah mayoritas di dunia ini. Hal ini disebabkan tidak adanya gerakan sosial ekonomi yang diterapkan dalam lingkup bermasyarakat. Padahal, Rasulullah Saw. bersabda:

لا يقبل إيمان بلا عمل ولا عمل بلا إيمان

“Iman tidak bisa diterima dengan tanpa amal (aksi nyata). Begitupun amal tidak diterima tanpa iman.” (HR. At-Thabroni)

Maka untuk menjadi Muslim yang baik, bukan sekedar pengunaan aksesoris saja (seperti gamis, dan cadar), atau diskusi-diskusi keislaman yang melelahkan, tetapi harus disertai aksi nyata berupa kepedulian sosial kepada sesama. Tanpa itu, Islam hanya terlihat nyata di panggung mimbar khotbah, dan tidak pernah terasa dalam kehidupan kita.

Jika menginginkan tatanan dunia yang baik, selayaknya ada prinsip saling tolong menolong, membantu orang yang mengalami kesulitan, dan peka dengan keadaan orang disekitar. Dengannya, kesalehan sosial dalam Islam akan tampak mewarnai hidup seluruh orang. Melaluinya, nafas Islam menjadi apa yang diharapkan Nabi Muhammad Saw. bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.

Zakat menjadi bukti validitas dalam menjalin keintiman dan belas kasih di antara sesama. Ia juga dapat memotong aksi kejahatan yang dipicu akibat kemiskinan. Jika zakat dapat direalisasikan dengan tepat, diharapkan kesenjangan sosial akan hilang. Keamanan dan kemakmuran akan dapat kita raih. Sikap moral kepada sesama juga akan terbentuk dengan manis.[]

Penulis: : Nur Muhammad Alfatih

Baca juga: Ringkasan Fikih Zakat Fitrah.

Simak juga: Renungan mengisi bulan Ramadhan oleh KH. M. Anwar Manshur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.