Bus yang Membawa Kerinduan (Bagian 1)

Oleh: Wildan Nur Shofwani

Ketika bus merayap keluar dari terminal, jarum jam yang menggantung di atas kaca menunjukan angka 10: 12.  Dan jam baru akan dapat menuntaskan rindu untuk kota yang kutuju. Rindu yang berulang, rindu yang hampir membatu.

Di antara deru mesin, berpekik klakson di tengah padatnya jalan raya. Bibir sopir samar-samar kudengar menyandungkan tembang kasono—nyanyikan rindu. Dari spion di atas kaca depan, wajah sang sopir tampak bersih dan bersinar. Rambut dan kumisnya berhiasan garis-garis putih tapi mata dan bibirnya terus tersenyum, tembang kasono—kepada siapa dia merindu—Ah! Tentu kepada istrinya.

Dia tentunya bukan sopir bus malam dalam cerita-cerita rekaan; laki-laki yang hatinya mudah singgah pada perempuan lain di manapun bus singgah. Boleh jadi dia berangkat dari rumah berbekal peluk, cium, doa dan cinta dari sang istri. Mungkin istrinya wanita canitik yang setia menjaga pernikahan yang sudah merumur belasan tahun, setia menunggu sang suami dari perjalanan sehari-semlam.

Sekali bertugas, sopir akan berada di jalan raya setidaknya 18 jam, ditambah 3 atau 4 jam di kota tujuan sebelum kembali ke kota asal. Itu sebabnya sopir tidak boleh bawa bus 2 kali berturur-turut. Jika benar ia merindukan sang istri, hati para penumpang tentunya tenang dan tentram karena yakin sopir akan menjalankan bus dengan hati-hati, dengan kecepatan sedang dan tidak ugal-ugalan. Karena baginya ada rindu yang harus pulang dengan selamat.

Aku duduk di bangku kedua dari depan di deret kanan. Aku tidak suka duduk di baris paling depan karena cahaya mobil-mobil dari arah berlawanan akan selalu menganggu penglihatan. Aku ingin tidur pulas di perjalan, lalu turun dalam kodisi badan segar sesampai di tujuan.

Di sebelahku duduk merapat jendela seorang lelaki berusia 50 tahun. Ah, bisa saja baru 40 atau justru sudah 60 tahun. Cahaya remang memang selalu mengaburkan pendapat dan pandangan sebenarnya tentang seseorang. Ia tampak sudah terlelap sebelum bus benar-benar meninggalkan keramaian lalu lintas kota, kepalanya menyandung ke belakang dan mulutnya terbuka.

Mungkian ia sama denganku; naik bus dengan tujuan menuntaskan rindu. Bisa saja ia bekerja berjualan bakso, menyusuri gang-gang kota dengan dorongannya, lalu pulang seminggu, dua minggu atau sebulan sekali karena istri dan anaknya tinggal jauh di luar kota. Tiap pulang pasti ia membawa segepok uang dan sekeranjang rindu.

Di jok depanku, duduk sepasang lelaki dan perempuan dengan seorang bocah di apit di tengah-tengah, tak banyak yang mereka percakapkan selain mereka hendak menuju kota yang sama dengaku setelah seminggu menikmati liburan si bocah di kota. “Aku sudah kangen teman-teman.” Mungkin gumam si bocah di benaknya.

Para penumpang asyik dengan pembicaraannya sendiri. Suara mereka sudah seperti dengung lebah. Namun hanya satu hal yangk kutangkap dari dengung suara mereka; sama-sama rindu kampung halaman.

Keluar dari keramaian kota, bus melaju lebih kencang di jalan yang agak lengang. Kondektur mulai menagih ongkos dari arah depan ke belakang. Kepalanya separuh botak, tapi kumisnya tebal dan hitam. Di bawah cahaya lampu temaram, wajahnya lebih menunjukan jenaka daripada menyeramkan. Baru saja ia hendak menangih ongkosku, tiba-tiba mengalun lagu lama The Mercy—dalam kerinduan. (Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.