Pada wilayah yang masuk kategori aman dan menyelenggarakan salat Jumat atau salat jamaah seringkali ditemukan pengaturan barisan (shaf) salat renggang dengan jarak minimal 1 meter. Sehingga tak heran menyisakan pertanyaan apakah hal tersebut dilegalkan.
Dalam tata aturan salat Jamaah, para jamaah dianjurkan untuk menertibkan barisan (shaf) dengan lurus dan rapat serta memprioritaskan barisan depan. Namun dalam keadaan tertentu, merenggangkan barisan salat diperbolehkan apabila dengan merapatkannya justru dikhawatirkan akan memberatkan atau berdampak buruk pada orang lain.
Sayyid Muhammad Syato ad-Dimyathi menjelaskan:
وَكُرِهَ لِمَأْمُوْمٍ انْفِرَادٌ عَنِ الصَّفِّ الَذِي مِنْ جِنْسِهِ إِنْ وَجَدَ فِيْهٍ سِعَةً بَلْ يَدْخُلُهُ وَشُرُوْعٌ فِي صَفٍّ قَبْلَ إِتْمَامِ مَا قَبْلَهُ مِنَ الصَّفِّ (قوله: إن وجد فيه) – أي الصَّفِّ – سِعَةً، بِأَنْ كَانَ لَوْ دَخَلَ فِي الصَّفِّ وَسِعَهُ، مِنْ غَيْرِ إِلْحَاقِ مَشَقَّةٍ لِغَيْرِهِ،
“Dan dimakruhkan bagi makmum untuk menyendiri dari barisan yang masih longgar akan tetapi ia dianjurkan untuk mengisinya dan makruh membuat barisan sebelum barisan sebelumnya sempurna. Keterangan apabila di dalam barisan masih longgar ialah sekiranya apabila seseorang mengisi kelonggaran tersebut akan memuatnya tanpa adanya rasa terganggu bagi orang lain.” (I’anah at-Thalibin, II/30).
Menurut sebagian ulama, hukum makruh yang disebabkan tidak teratur dalam merapatkan barisan (shaf) akan hilang apabila adanya uzur, semisal menjaga diri dari potensi penyebaran virus corona. Sayyid Muhammad Syato ad-Dimyathi melanjutkan:
إِنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ الْحَرِّ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، فَلَا كَرَاهَةَ، وَلَا تَقْصِيْرَ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ.
“Apabila seorang makmum yang sengaja mundur dikarenakan uzur seperti musim panas di Masjidil Haram maka tidak makruh. Begitu juga ketika tidak ada kecerobohan di dalamnya.” (I’anah at-Thalibin, II/31).
Baca juga:
TIGA BUKU BARU TERBITAN MA’HAD ALY LIRBOYO