Penulis: Rif’an Haqiqi
Islam yang lahir beberapa abad lalu di suatu kota di semenanjung Arab, sekarang sudah masuk ke segala penjuru dunia. Dalam perjalanannya dari kota asal menuju daerah yang dimasuki, tentunya Islam bertemu, bersinggungan, dan bergaul dengan berbagai macam budaya dan peradaban.
Hal ini merupakan sebuah keniscayaan. Layaknya orang yang ingin memiliki banyak teman dan relasi, dia harus bergaul dan beradaptasi dengan banyak orang dengan karakter beragam. Jika tidak ingin bersentuhan dengan hal asing—diam saja dalam gua.
Maka, menyimpan dan mengeksklusifkan Islam agar tidak bersentuhan dengan banyak hal (yang dianggap mengurangi nilai ke-Islaman oleh sebagian kalangan) sama saja menutup atau paling tidak mempersempit pintu dakwah Islam. Prof. Nadirsyah Hosen memberi tamsil, Kentucky Fried Chicken (KFC) yang ada di Kentucky, USA tentu berbeda dengan KFC Indonesia. Jika di sana disajikan dengan kentang, di Indonesia disajikan bersama nasi. Namun menu utamanya sama, ayam goreng.
Saat masuk ke Indonesia dan sekitarnya, otomatis Islam pun beradaptasi dengan budaya setempat. Adaptasi di negeri ini pada saat itu bukanlah hal yang mudah, karena budaya daerah setempat sudah tercampur ajaran kepercayaan lain seperti Hindu. Kemenangan Islam dalam pertarungan budaya demi memperebutkan tempat di bumi Nusantara ini adalah hasil jerih payah yang tak kenal lelah para pendakwah, dalam waktu yang tak sebentar pula.
Di samping keilmuan, tentu kesabaran, ketelatenan, keikhlasan, dan kebijaksanaan menjadi modal pokok para pendakwah Islam di bumi Nusantara kala itu. Maka kita sudah sepantasnya bersyukur dan menghormati jasa-jasa para wali tersebut. Langkah yang diambil beliau-beliau tentu sudah melalui proses pemikiran yang matang. Tidak sepatutnya kita dengan congkaknya mengubah tatanan yang sudah sedemikian mapan.
Metode dakwah demikian terbukti efektif menarik banyak massa, seperti yang dicatatkan Kiai Abul Fadhl Senori, Tuban dalam bukunya Ahla al-Musamarah:
فلم يزل السيد رحمة يدعون الناس إلى دين الله تعالى وإلى عبادته حتى أتبعه في الإسلام
.جميع أهل عمفيل وما حوله وأكثر أهل سوربايا وما ذلك إلا بحسن موعظته وحكمته في الدعوة
وحسن خلقه مع الناس وحسن مجادلتهم إياهم.
“Sayyid Rahmat (Sunan Ampel) tak henti-hentinya mengajak orang-orang untuk masuk ke-agama Allah dan menyembah-Nya, hingga seluruh penduduk Ampel dan mayoritas penduduk Surabaya masuk Islam. Hal tersebut tak lain karena bagusnya nasihat, kebijaksanaan dalam berdakwah, akhlak yang luhur, dan perundingan (adu argumen) santun yang beliau lakukan jika diperlukan”.
Seperti itulah Islam mula-mula merebak ke penjuru Nusantara, maka bukan sesuatu yang mengejutkan jika karakteristik Islam masyarakat Indonesia cenderung santun dan luwes, di samping juga karena karakteristik penduduknya yang santun dan bersahabat. Itu merupakan hasil adaptasi Islam dengan kultur Nusantara, hal ini bukan berarti mengubah Islam dari watak originalnya, akan tetapi merupakan sebuah perantara agar Islam dapat diterima dengan lapang dada tanpa paksaan oleh penduduk Nusantara. Inilah manifestasi khuluqin hasan yang diperintahkan Nabi Saw.:
وخالق الناس بخلق حسن
“Dan perlakukanlah manusia dengan akhlak yang baik”
Sayyidina ‘Ali sebagaimana dikutip oleh Syekh Nawawi Banten dalam Mirqat Su’ud al-Tashdiq menjelaskan makna dari kata khuluqin hasan (ahlak yang baik) adalah:
موافقة الناس في كل شيئ ما عدا المعاصي
“Mengikuti (adat) orang-orang dalam segala hal selain kemaksiatan”
Maka, selagi kultur dan budaya Nusantara tidak melanggar rambu-rambu syari’at, hal itu tetap dipertahankan sebagai penghormatan terhadap budaya setempat, juga pelestarian keberagaman yang sudah menjadi sunnatullah (ketetapan Allah). Dan jika ada praktik atau ritus budaya yang melanggar rambu-rambu syariat, langkah yang diambil adalah membersihkan ritus tersebut dari kemaksiatan, bukan menghilangkan praktiknya secara keseluruhan.
Dalam misi penyebaran, Islam mau tidak mau harus berinteraksi dengan berbagai budaya. Bahkan, interaksi antara Islam dan budaya setempat sudah ada sejak di tempat kelahirannya. Ada beberapa budaya orang pada masa itu yag diakomodir dalam syariat. Seperti tradisi akikah, tradisi ini sudah ada sejak sebelum Islam datang. Lalu ketika Islam datang, tradisi yang tadinya mengandung unsur keharaman ini dibersihkan tanpa menghilangkan asalnya.
Seperti halnya kisah dari Abdullah bin Buraidah yang ada dalam Sunan Abi Dawud dan Sunan Al-Nasa’i memaparkan:
عن عبد الله بن بريدة عن أبيه قال: كنا في الجاهلية إذا ولد لأحدنا غلام ذبح شاة ولطخ رأسه بدمها.
فلما جاء الله بالإسلام كنا نذبح شاة ونحلق رأسه ونلطخه بزعفران . حديث حسن صحيح (سنن أبي داود، سنن البيهقي)
“Diceritakan dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ayahnya bercerita, “Pada masa Jahiliyah, jika ada bayi yang baru lahir, kami menyembelih kambing dan mengoleskan darahnya pada kepala bayi tadi. Lalu setelah Allah datangkan Islam pada kami, yang kami lakukan adalah menyembelih kambing dan mengolesi kepala bayi dengan minyak Za’faron” (Hadis Hasan Shahih).
Contoh di atas adalah bentuk akomodasi Islam terhadap budaya, di mana yang tadinya tradisi akikah diwarnai dengan perbuatan haram berupa pengolesan darah yang dalam fikih dikategorikan sebagai tadhammukh binnajasah (berlumur dengan perkara najis), digantikan dengan minyak Za‘faran tanpa menghilangkan tradisi itu sendiri, yang justru tradisi tersebut diakomodir menjadi kesunahan.
Lalu budaya dan warisan yang tidak mengandung kemungkaran—namun juga tidak bernuansa Islam, tetap dilestarikan sebagai bentuk pelestarian keanekaragaman yang sudah menjadi ketetapan Allah. Juga sebagai bentuk manifestasi dari khuluqin hasan (perilaku yang baik) yang disabdakan Nabi Saw. seperti dijelaskan Sayidina ‘Ali bahwa makna khuluqin hasan adalah mengikuti apa saja yang dilakukan orang lain kecuali maksiat.[]
Baca juga:
IMAM AN-NAWAWI: SANG IDOLA FUQOHA MASA KINI
Subscribe juga:
Pondok Pesantren Lirboyo
Beserta keluarga channel kami untuk mendapatkan video-video terbau darinya