Sahabat Nabi Juga Berijtihad

  • Khoirul Wafa
  • Sep 08, 2017

Waktu dzuhur telah tiba. Hari itu masih bulan Dzulqa’dah, lima tahun selepas Nabi menetap di Madinah. Perang Khandaq yang amat melelahkan baru saja usai dengan kemenangan di pihak kota Madinah. Pasukan Ahzab pimpnan Abu Sufyan sudah pulang karena menyerah tak mampu melewati parit pertahanan yang dibangun untuk melindungi Madinah. Padahal jumlah mereka hampir mencapai sepuluh ribu orang. Jumlah pasukan terbesar yang pernah dikerahkan untuk melawan Nabi Muhammad SAW.

Belum sampai Nabi Muhammad SAW beristirahat setelah melewati beratnya perang Khandaq, malaikat Jibril AS sudah memberi kabar dari Allah SWT agar beliau bergegas menaklukkan perkampungan Yahudi Bani Quraidzah yang sebelumnya telah berkhianat.

“Kau telah meletakkan senjata? Demi Allah, kami belum melatakkan senjata. Keluarlah kepada mereka.” Tutur malaikat Jibril AS.

“Kemana?” Tanya Nabi.

“Kesana.” Jelaslah yang ditunjuk oleh malaikat Jibril AS adalah pemukiman Bani Quraidzah.[1]

Malaikat Jibril AS bahkan menunggangi kuda, serta memakai mahkota dan pakaian sutra. Beliau mengatakan akan lebih dulu kesana untuk mengacaukan mental kaum Yahudi.

Nabi bergegas menemui para sahabat beliau. Beliau kabarkan, untuk bersiap memperjuangkan islam sekali lagi. Jihad kali ini harus dilakukan secepatnya. Sampai-sampai Nabi berpesan kepada para sahabat. “Jangan dahulu kalian salat ashar kecuali telah tiba di pemukiman Bani Quraidzah.”[2]

Memahami pesan Nabi diatas, para sahabat berselisih paham. Sebab perjalanan menuju perkampungan Bani Quraidzah tidaklah dekat. Sementara waktu salat ashar juga tidak terlalu panjang. Akibatnya sebelum tiba di pemukiman Bani Quraidzah, matahari hampir terbenam. Menandakan waktu maghrib segera tiba. Ada yang memilih menunaikan salat ashar ditengah jalan. Dan ada pula yang tetap kukuh pada sabda Nabi, untuk menjalankan salat setibanya disana. Mereka yang melakukan salat ditengah perjalanan hanya menangkap esensi dari sabda nabi, untuk segera bergegas pergi menuju perkampungan Bani Quraidzah secepatnya. Dan mereka yang salat setibanya disana, menangkap pemahaman bahwa sabda Nabi Muhammad SAW harus dipatuhi, dan dilakukan apa adanya sesuai perintah. Mungkin ada rahasia tersembunyi yang tidak mampu ditangkap nalar dibalik perintah Nabi tersebut.

Hal ini akhirnya diadukan kepada Nabi Muhammad SAW. Namun Nabi tidak menyalahkan siapapun. Beliau tidak mengatakan pendapat mereka yang salat dalam perjalanan salah, tidak pula mengatakan pendapat mereka yang salat di pemukiman Yahudi meskipun waktu maghrib telah tiba juga salah. Nabi membenarkan pendapat keduanya.[3]

Hadis tersebut dipahami menjadi tendensi dan salah satu pondasi awal akan kebolehan untuk berijtihad. Sebab memandang literatur dan khazanah yang kian berkembang tanpa adanya ijtihad adalah bentuk kejumudan. Sementara nash otentik Alquran dan hadis sekarang tidak mungkin akan bertambah jumlahnya walau satu hurufpun. “(Hadis diatas) menjadi dalil terpenting dalam salah satu prinsip dasar syari’at islam. prinsip dasar yang dimaksud tak lain adalah keniscayaan perbedaan pendapat dalam persoalan furu’iyyah (fikih). Masing-masing pihak yang berijtihad telah mendapatkan pahala, dan hasil ijtihad tetap berbeda.”[4]

Mengomentari hadis diatas, Imam An-Nawawi berkata, “Dalam hadis tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwasanya seorang mujtahid tidak boleh dicela atas ijtihadnya, ketika ia telah mengerahkan kemampuan yang ia miliki dalam berijtihad. Hadis tersebut juga dapat menjadi tendensi bahwa setiap mujtahid benar pendapatnya.”[5]

Senada dengan Imam An-Nawawi, Imam As-Suhaily juga mengatakan, “Sebagian dari faidah yang dapat diambil dari hadis tersebut adalah apa yang telah diungkapkan oleh As-Suhaily. ‘Dalam hadis tersebut terdapat dalil bahwa setiap perbedaan pendapat mujtahid dalam masalah furu’ adalah benar adanya. Karena tidaklah mustahil sesuatu bisa dihukumi benar untuk seseorang, namun dihukumi salah jika diterapkan untuk orang lain. Maka seorang mujtahid yang berijtihad dalam satu masalah lalu melahirkan hukum halal, benar adanya penghukuman halal tersebut. Dan juga pada permasalahan hukum haram. Yang mustahil adalah, satu permasalahan dihukumi dengan dua hukum yang berlawanan untuk satu orang.’”[6]

Akhirnya kitalah yang harus dituntut bijak menyikapi perbedaan dalam khazanah bermadzhab. Sebab hal tersebut merupakan keniscayaan dan satu bentuk dari makna islam rahmatan lil ‘âlamîn.

 

 

 

[1] Shahih Bukhari : Kitab Maghazi Hadis 4117 Hal 1832 Cet. Al Bushra 2016

[2] Shahih Bukhari : Kitab Maghazi Hadis 4119 Hal 1832 Cet. Al Bushra 2016

[3]  Lihat juga Shahih Muslim hadis 1770. Hadis diatas muttafaq ‘alaih.

[4] Fiqh Siroh Nabawi, Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan  Al-Buthy. Cet Dar As-Salam. Hal 226.

[5] Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj, Imam An-Nawawi.  Juz 12, Hal 98. Maktabah Syamilah.

[6] Fathul Bari syarh Shohih Bukhori, Imam Ibn Hajar Asqalany. Juz 7, Hal 209. Dar Thoybah

0

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.