Menggapai Lailatul Qadar

Salah satu keistimewaan dan keagungan bulan Ramadan adalah di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan atau yang lebih dikenal dengan nama Lailatul Qadar.

Bahasa “Lailatul Qadar” diabadikan dalam kitab suci Al-Quran, di surat Al-Qadar tertera, “Aku turunkan Al-Quran pada malam Lailatul Qadar, dan apakah itu malam Lailatul Qadar? Lailatul Qadar adalah malam yang lebih baik daripada seribu bulan.” (QS. al-Qadar: 1-3)

Sahabat Mujahid RA menceritakan tentang sejarah diturunkannya surat ini. Ketika itu, sampailah kepada para sahabat tentang berita bahwa dahulu kala pernah ada seorang dari kalangan Bani Israel yang berperang di jalan Allah SWT terus-menerus selama seribu bulan. Selama itu pulalah konon ia tak pernah sekalipun meletakkan pedangnya. Para sahabat terkagum-kagum betapa kuatnya orang itu. Hal inipun lantas disampaikan kepada Rasulullah SAW, lalu menyusul kemudian turunlah surat Al-Qadar. Allah berfirman dalam hadis qudsi-Nya, “Malam Lailatul Qadar masihlah lebih baik daripada seribu bulan yang dilakukan lelaki Bani Israil tersebut. Dimana ia tak pernah meletakkan senjatanya.” (Tafsir Mujahid, hlm.740)

Mengenai waktunya, para ulama silang pendapat mengenai kapan tepatnya malam Lailatul Qadar jatuh. Pendapat mayoritas ulama, malam Lailatul Qadar jatuh setiap tahun. Dan ada yang mengatakan malam Lailatul Qadar jatuh pada satu hari di antara sepuluh tanggal terakhir bulan Ramadan, ada pendapat lain yang mengatakan satu hari diantara sepuluh awal bulan ramadan, ada yang mengatakan hanya jatuh malam-malam yang ganjil saja, dan bahkan ada yang persis mengatakan akan jatuh setiap tanggal tujuh belas, seperti pendapat yang diungkapkan oleh Al-Hasan, Ibn Ishaq dan Abd Ibn Zubair RA.

Sementara pendapat ‘Aly, ‘Aisyah, Muawiyah, dan Ubay bin Ka’ab RA, malam Lailatul Qadar adalah malam ke dua puluh tujuh. Lalu ada pula yang mengatakan bila malam Lailatul Qadar jatuh pada malam ke dua puluh satu. Juga ada yang berpendapat di malam ke dua puluh tiga. Akan tetapi pendapat yang paling masyhur dan sahih, seperti diutarakan oleh Syaikh Ibn Jarir Al-Thabari dalam tafsirnya, malam Lailatul Qadar biasanya jatuh pada salah satu dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadan. (Tafsir Al-Qurthubi, XX/135)

Banyak keutamaan malam tersebut. Beberapa di antaranya, malam Lailatul Qadar adalah malam yang apabila seseorang beribadah tepat di malam itu, pahalanya akan “Lebih baik daripada seribu bulan”. Jika melihat secara tekstual kalimat, seribu bulan yang dimaksud adalah delapan puluh tiga tahun. Namun kebanyakan kalangan ahli tafsir memiliki pandangan lain, jika yang dimaksud dengan “lebih baik dari seribu bulan” adalah seribu bulan yang tanpa Lailatul Qodar di dalamnya.

Adapula yang mengatakan jikalau “seribu bulan” dalam surat Al-Qadr adalah sebuah bahasa majaz untuk menyampaikan waktu yang tak terbatas, sesuai kebiasaan dalam literatur Arab. Orang Arab biasa menggunakan kata seribu, namun maksudnya adalah bilangan yang sangat banyak hingga tak mampu dihitung.

Tidak berhenti sampai disitu, keutamaan lain malam Lailatul Qadar adalah, pada malam itu para malaikat turun ke dunia atas kehendak Allah SWT. Malaikat akan mendoakan dan mengamini siapa saja orang mukmin yang ditemui tengah berdoa atau beribadah kepada-Nya.

Amalan apapun yang dilakukan di malam Lailatul Qodar ini, akan dilipat gandakan pahalanya. Sesuai yang disampaikan Imam Sufyan Al-Sauri, “Sampai padaku dari Mujahid RA. bahwa malam Lailatul Qodar lebih baik dari seribu bulan. Yaitu, amalan-amalan, puasa, dan ibadah yang dilakukan pada malam itu lebih baik daripada seribu bulan.” (Tafsir Ibn Katsir, VIII/427)

Artinya mulai dari salat tarawih yang kita lakukan, salat tahajud, witir, hajat, dan bacaan Alqurannya, semua lebih baik daripada seribu bulan. Dalam salah satu hadis disebutkan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ – أَيْ الْعَشْرُ الْأَخِيرَةُ مِنْ رَمَضَانَ – شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ (متفق عليه)

“Nabi SAW apabila sudah memasuki sepuluh –maksudnya sepuluh hari terakhir Ramadhan- beliau ‘mengencangkan ikat pinggangnya’, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhori dan Muslim) []waAllahu a’lam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.