Panggil mereka, Kang Santri. Namanya selalu harum di penjuru negeri, sebutkan namanya di antara masyarakat luas, maka kesan positif yang muncul. Orang-orang baik, beriman, santun, sederhana, calon menantu yang sholeh. Setidaknya begitu menurut khalayak. Hmm… baiklah. Semoga setiap apa yang mereka nilai tentang Kang Santri senantiasa berbanding lurus dengan realita. Dalam perjalanan Nusantara, dari masa ke masa, nama santri selalu terselip di antara lembaran sejarah yang panjang. Semua berawal ketika langkah para pendahulu santri, atau kita sebut Wali Songo, manampakkan kakinya di bumi Majapahit, yang terkenal sebagai negeri Nusantara. Hindu dan Budha adalah agama yang tumbuh di masyarakat luas kala itu, ditambah para penganut ajaran animisme dan dinamisme.
Mulailah para pejuang agama Kanjeng Nabi mengibarkan benderanya. Menjadi bagian baru di antara masyarakat yang kental dengan adab yang dijunjung tinggi. Apakah mudah? Tentu saja tidak. Butuh srategi dan cara yang memikat. Mulai dari membaur dengan masyarakat, menyumbang berbagai jasa besar seperti ilmu pengetahuan dan sebagainya. Disusul hubungan pernikahan di antara kedua belah pihak, menambah kedekatannya serasa tak ada sekat. Jangan lupakan tentang budaya, akulturasi budaya menjadi jurus jitu milik Wali Songo. Masyarakat mampu terpana, lantas berbondong-bondong bergabung menjadi bagian dari agama Kanjeng Nabi. Seni wayang kulit, budaya nyadran, mitung ndino, tahlilan, slametan, dan masih banyak lagi adalah jejak yang tak pernah terkubur sampai sekarang. Menjadi bukti nyata budaya telah diolah dengan sangat baik oleh Wali Songo.
Catat
baik-baik. Masyarakat Nusantara adalah orang-orang yang memegang terus sesuatu
yang sudah mereka peluk, seperti
keyakinan dan budaya kala itu. Bukan hal yang mudah meruntuhkan keyakinan itu.
Dakwah Wali Songo ditantang untuk menancapkan benih-benih Islam sampai ke akar-akarnya.
Setelah
periode Wali Songo berjaya, nama Islam mulai harum, semerbak seperti kasturi di
penjuru negeri. Periode berikutnya, penjajahan negara Eropa menyusul. Santri
ditantang lebih jauh lagi, bagaimana mempertahankan agama dalam penindasan
berkepanjangan.
Masyarakat
menerima dengan tangan terbuka tamu-tamu berkulit putih. Memberi tempat mereka
untuk singgah dan membangun kehidupan. Namun, tak selalu air susu dibalas
dengan air susu. Adalah orang-orang yang tidak tahu terimakasih yang membalas
dengan secangkir air tuba. Dan itu adalah mereka para tamu yang tak diundang. Mereka
mulai memanfaatkan setiap jengkal kekayaan negeri Nusantara. Tahu sendiri, sumber daya alam di negeri ini
melimpah, mengampuh negara manapun. Awalnya masyarakat tidak keberatan, makin
lama niat busuk itu tercium bangir di ujung hidung. Dengan tegas masyarakat
menolak. Jadilah bersitegang di antara
dua kubu.
PR yang berat
bagi para penjajah melumpuhkan rakyat Nusantara, persatuan dan kesatuan mereka
seperti tali yang tak mudah dipotong. Kenapa? karena para santri ada di antara mereka. Cara berperang fisik saja
tidak cukup bagi mereka. Mereka butuh siasat yang mematikan. Tak lama, ide
busuk itu muncul, mereka akan mengadu domba satu sama lain di antara
rakyat Nusantara. Cara ini hebat sekali. Mampu membuat rakyat tumbang dengan
mudah. Awalnya mereka masih sok dekat
dan baik hati, ternyata diam-diam menyelipkan racun di mana-mana.
Tugas ini
jelas tidak mudah bagi para santri kala itu. Tak jarang santri terkena umpan
beracun mereka. Harus diakui, penjajah mampu mengelabuhi santri yang sudah
berjaga dengan awas di tengah masyarakat. Tiga setengah abad, waktu yang sangat
amat lama bangsa ini dijajah. Ditindas tanpa ampun, monopoli permainan VOC, kerja
rodi, culture stelsel, romusa dan berbagai bentuk penindasan lain. Benar-benar
merugikan rakyat saat itu. Penduduk negeri ini di era itu serasa menjadi budak di negeri sendiri.
Santri yang
senantiasa setia mengawal masyarakat, tak kenal putus asa. Mereka kobarkan
panji-panji perang. Menyatakan tidak terima, memberontak atas setiap bentuk
penindasan. Perang Padri,
perang Diponegoro, perang Bali dan sederetan nama lainnya menjadi catatan
sejarah yang tak terlupakan. Santri selalu aktif, berdiri di garis terdepan
para pembela agama dan bangsa tercinta ini.
Budi Utomo
menandai garis awal kebangkitan persatuan Nusantara dari berbagai penjuru.
Persatuan ini dibangun dengan anggota yang tidak hanya mumpuni dalam segi
luarnya. Kualitas Intelektual juga dipertaruhkan di dalam. Sederetan nama
organisasi lain menyusul, Jong Java, Jong Sumatra, Serikat Islam, disusul
Muhammadiyyah dan Nahdlatul Ulama sebagai simbol organisasi santri yang
terlibat membangun kesatuan bangsa. Kini, perang fisik mulai dikurangi. Saatnya
kecerdasan otak dimainkan. Berbagai strategi merebut bangsa dibangun sedemikisn
rupa. Sumpah pemuda digelar dua kali. Bangsa ini mulai menemukan Jatidiri. Menemukan
siapa sesungguhnya Nusantara, siapa sesungguhnya Ibu pertiwi tercinta dan
Indonesia adalah jawabannya.
Semangat
Nasionalis yang diiringi spiritual berkualitas dibangun santri di antara aktivis pembela kemerdekaan. Kini, santri tidak main-main. Setelah ratusan tahun
meringkuk dalam kesengsaraan. Saatnya bangsa ini merdeka, dalam hakekat yang
sesungguhnya. Siapapun harus terbebas dari belenggu penindasan di negeri ini.
Tidak boleh ada unsur siapa yang mulia dan siapa yang hina. Semua sama
mulianya, sama memiliki hak dan kewajibannya. Karena itulah yang diajarkan oleh
agama.
1945, setelah melewati kesepakatan
panjang, dalam periode penjajahan Jepang, Negara Kesatuan Republik Indonesia menyatakan sebagai negara yang
merdeka di mata dunia. Negara di Timur Tengah seperti Palestina, Mesir, dan
beberapa negara yang lainnya adalah yang pertama mengakui kemerdekaan ini.
Sedangkan Belanda, negara yang paling lama menjajah Indonesia baru mengakui
Indonesia merdeka di tahun 2005. Itu berarti
terhitung 60 tahun sejak awal Soekarno memproklamirkan Proklamasi.
Ketika bangsa
ini sudah merdeka, apakah menjadi pertanda tugas para santri sudah usai? Jelas
tidak! Masih ada babak-babak berikutnya. Mulai mempertahankan kemerdekaan yang
baru seumur jagung. Penjajah kembali. Kini, tidak ada kesempatan kedua bagi
penjajah. Santri dan rakyat Indonesia dengan lantang mengusir mereka. Melalui
perang fisik, sampai perang diplomasi yang melelahkan. Akhirnya mereka pulang,
bersungut-sungut membiarkan Indonesia berdiri gagah.
Dalam setiap
periode apa pun, semenjak Wali Songo
hadir, santri tak pernah luput jadi orang-orang yang aktif mengawal NKRI. Pertanyaannya,
mengapa? Mengapa santri mampu
sedemikian perhatiannya pada NKRI? Dengan setia memberi peran yang besar dan
berarti? mengapa pula santri sedemikian kuat dan tegar membangun NKRI? Seolah
tak bosan, tak lelah, tak menyerah, meski sering kali harus terjatuh.
Jawabannya,
sebab sedari awal kang santri
menapakkan kakinya di negeri ini, sejak saat itulah kang santri memutuskan
jatuh cinta pada Nusantara. Apapun yang terjadi, mereka akan tetap setia. Karena
mereka tahu persis, inilah tempat mereka hidup, menjalani kesaharian. Sampai
kelak menutup mata. Maka, tanah ini jualah yang harus mereka bela, hidup atau pun mati, mereka sungguh rela.
Cinta. Ya,
memang cinta. Kata yang kemudian tumbuh subur di dada kang santri. Yang membuat
semangat mereka senantiasa membara. Yang membuat hilangnya setiap duka dan juga
luka. Yang membuat lelah terbayar sebagaimana mestinya. Cinta membuat mereka
memiliki hidup yang sesungguhnya.
Di era ketika
santri dihadapkan dengan tantangan zaman yang makin pelik, seperti saat ini.
Istilah Hubbul Wathon dikibarkan di tengah khalayak kang santri. Menjadi
semboyan tersendiri bagi para santri. Hubbul Wathon, cinta pada NKRI
dijadikannya keyakinan yang melekat bagi mereka. Cinta inilah yang menjadi
bagian keimanan dalam jiwanya.
Kini, adalah
tugas kita membangun bangsa dengan cinta. Menebar kedamaian di penjuru Nusantara.
Kita adalah penerus kang santri terdahulu. Saatnya kita tunjukan perjuangan dan
pengorbanan untuk Indonesia. Kita tidak hanya dihadapkan musuh sebagaimana
abad-abad terdahulu. Media massa
sekarang justru memberi tantangan yang bukan main sulitnya. Rakyat makin
dijajah dengan pembodohan zaman. Belum lagi dihadapkan musuh dalam selimut.
Seperti orang-orang yang hendak membangun bangsa ini dengan dasar khilafah.
Mengatasnamakan agama dan Kanjeng Nabi. Membuat perpecahan di antara rakyat Indonesia. Mereka tidak rela
dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika yang sudah dibangun santri sedemikian rupa.
Tugas kita
jelas tidak mudah. Bukan saatnya kita tertawa tanpa beban. Bukan saatnya kita
diam tanpa perjuangan. Bukan saatnya kita pergi tanpa peduli. Saatnya kita
bangun NKRI. Berantas perpecahan, ikat persatuan.
Dari kami, dari santri untuk negeri.[]
Penulis: Bagus Audi Ahmad Siswa Kelas 2 Tsanawiyah MHM.