Wafatnya Abu Thalib & Sayyidah Khadijah

Hikmah Wafatnya Abu Thalib & Sayyidah Khadijah

Kita mengetahui bahwa sepanjang hidupnya Abu Thalib selalu melindungi Rasulullah Saw. dari berbagai ancaman dan kesulitan yang ditimpakan kaumnya. Apa hikmah di balik wafatnya Abu Thalib? Apa pula hikmah di balik meninggalnya Khadijah r.a. di tahun yang sama?

Sementara, kita tahu bahwa Khadijah adalah pelipur lara dan yang senantiasa membesarkan hati Rasulullah Saw. Khadijah juga telah banyak meringankan beban Rasulullah. Di sini tampak jelas fenomena penting yang berkaitan dengan dasar  akidah Islam.

Seandainya Abu Thalib berusia panjang hingga bisa terus mendampingi, membela, dan melindungi Rasulullah Saw. Hingga beliau berhasil mendirikan negara Islam di Madinah, tentu Rasulullah Saw. lebih terlindungi dari intimidasi dan tekanan kaum musyrik.

Namun, keadaan itu justru berpotensi menimbulkan prasangka bahwa Abu Thalib adalah tokoh di balik layar dakwah ini, dan bahwa dialah yang mendorong Muhammad Saw. untuk terus maju dan dia akan tetap melindungi beliau dengan kedudukan dan kekuasaannya meskipun dia tidak pernah menyatakan keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Di samping itu, tentu akan muncul tuduhan bahwa Rasulullah Saw. sukses menjalankan dakwah berkat perlindungan pamannya. Juga bahwa Rasulullah tetap aman dan terlindung dari aniaya kaum musyrik, sementara kaum Muslim lainnya mengalami nasib buruk, yaitu disiksa dan dianiaya kaum musyrik.

Hakikat dari Rasa Kehilangan

Kebijaksanaan Allah Swt. menetapkan bahwa Rasulullah Saw. harus kehilangan Abu Thalib dan Khadijah binti Khuwailid, dua orang yang memiliki peran sangat penting dalam perjuangan Rasulullah. Semua itu untuk menunjukkan dua hakikat penting berikut ini:

Hakikat pertama: perlindungan, pemeliharaan, dan kemenangan hanya datang dari Allah Swt., yang telah berjanji untuk melindungi Rasul-Nya dari kaum musyrik dan musuh-musuhnya.

Maka, baik ada maupun tidak ada orang yang melindungi Rasulullah Saw., Allah tetap menjaga beliau dari keburukan manusia dan memenangkan perjuangannya.

Hakikat kedua: penjagaan (al-‘ishmah) dari manusia bukan berarti beliau tidak mengalami intimidasi, siksaan, atau penindasan yang dilakukan musuh-musuhnya.

Penjagaan yang dijanjikan Allah Swt. dalam firman-Nya, Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia (QS Al-Mâ’idah [5]: 67), adalah penjagaan dari pembunuhan atau segala kesulitan dan permusuhan yang menyebabkan terhentinya dakwah Islam.

Bentuk Kebijaksanaan Allah

Kebijaksanaan Allah Swt. telah menetapkan bahwa para nabi harus merasakan intimidasi, siksaan, dan penindasan yang tidak ringan. Ini tidak bertentangan dengan makna al-‘ishmah yang dijanjikan Allah Swt. untuk para nabi dan rasul-Nya.

Oleh karena itu, setelah firman Allah Swt., Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang yang memperolok-olok (kamu) (QS Al-Hijr [15]: 94–95).

Sungguh merupakan hikmah yang sangat besar ketika sunnatullah menetapkan bahwa Rasulullah Saw. mengalami cobaan berat di jalan dakwah. Tujuannya adalah agar generasi Muslim berikutnya selalu siap sedia menghadapi segala rintangan dalam mengemban dakwah Islam.

Seandainya Nabi Saw. sukses menjalankan dakwah tanpa sedikit pun gangguan, kesulitan, dan penderitaan, tentu para sahabat dan kaum Muslim sepeninggalnya akan selalu mendambakan kehidupan yang “aman dan nyaman” seperti beliau.

Mereka pasti akan menganggap berbagai rintangan dan kesulitan di jalan dakwah sebagai musibah yang sangat berat. Ingatlah, bahwa salah satu hal yang meringankan cobaan berat dan penderitaan yang dialami kaum Muslim adalah perasaan bahwa mereka mengalami apa yang pernah dialami Rasulullah Saw. Dan bahwa mereka menempuh jalan yang pernah ditempuh Rasulullah Saw.

Ujian untuk Rasulullah

Betapa pun menyakitkannya ejekan dan penghinaan manusia terhadap mereka. Semangat mereka tidak melemah karena mereka pun menyaksikan bagaimana Rasulullah Saw. pernah dilempari kotoran ketika berjalan di pasar. Sehingga beliau pulang ke rumah dengan kepala kotor, lantas dibersihkan oleh salah seorang putrinya.21q

Padahal, beliau adalah habîbullâh (kekasih Allah) dan manusia pilihan-Nya. Kita pun akan melihat beratnya kesulitan yang dihadapi Rasulullah Saw. ketika menemui penduduk Thaif.

Penderitaan yang beliau alami di sana membuat kaum Muslim menganggap enteng segala cobaan berat dan penderitaan yang mereka rasakan di jalan dakwah.

Hal lain yang perlu disampaikan, tentang anggapan sebagian orang bahwa Rasulullah Saw. menyebut tahun itu sebagai “Tahun Duka Cita” semata-mata karena beliau kehilangan Abu Thalib dan Khadijah binti Khuwailid.

Bisa jadi mereka menjadikan semua itu sebagai dalil untuk memasang tanda[1]tanda duka cita serta mengadakan acara berkabung dalam waktu yang lama. Sesungguhnya itu merupakan pemahaman dan penilaian yang keliru.Sebab, Nabi Saw tidak bersedih hati sebesar itu atas meninggalnya paman dan istrinya.

Pasca Wafatnya Abu Thalib

Setelah wafatnya Abu Thalib, peluang-peluang itu tertutup tepat di depan wajah Nabi Saw. Sekeras apa pun Rasulullah Saw. berusaha, selalu ada halangan dan kesulitan yang menghadangnya. Ke mana pun beliau pergi, jalan-jalan tertutup seolah-olah beliau berjalan di tempat.

Tidak seorang pun sudi mendengar apalagi mengimaninya. Bahkan, semua orang mencemooh dan memusuhi beliau. Tentu saja keadaan itu membuatnya berduka karena seruan dan ajakannya tidak menghasilkan apa-apa. Oleh karena itu, beliau menamai tahun ini sebagai “Tahun Duka Cita”. Bahkan, kesedihan akibat tidak berimannya orang-orang pada kebenaran yang disampaikan Nabi Saw. memenuhi hatinya sehingga beliau kerap terlihat bersedih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.