Setelah rencana orang kafir Quraisy untuk membunuh Rasulullah Saw gagal, kaum kafir Quraisy bersepakat agar ekonomi umat islam diboikot. Mereka membuat kesepakatan tertulis bahwa mereka tidak akan menjalin hubungan pernikahan, tidak akan melakukan transaksi jual-beli, tidak membiarkan keluarga Muhammad mencari nafkah dengan bebas.
Kaum Quraisy juga tidak akan berdamai dengan umat islam, dan tidak akan berbelas kasihan kepada mereka sampai Bani Abdul Muthalib mau menyerahkan Rasulullah Saw untuk dibunuh.
Naskah perjanjian ini pun mereka gantungkan di dinding Ka’bah. Kaum kafir Quraisy berpegang teguh pada perjanjian ini selama tiga tahun, sejak bulan Muharram tahun ke-7 kenabian hingga tahun ke-10. Ada pendapat lain bahwa ekonomi umat islam yang diboikot itu hanya berlangsung selama dua tahun.
Di Kota Makkah ada beberapa wilayah yang terpisah-pisah antara yang satu dan yang lainnya. Di salah satu wilayah itulah Bani Hasyim dan Bani Al-Muthalib, baik yang Muslim maupun musyrik, berkumpul. Kaum Muslim berkumpul di sana lantaran kesamaan akidah.
Sementara yang masih musyrik berada di sana lantaran fanatisme kekeluargaan, kecuali Abu Lahab (Abdul Uzza bin Abdul Muthalib) yang telah bergabung dengan kaum Quraisy dan memusuhi Nabi Saw. beserta para pengikutnya.
Rasulullah Saw dan kaum Muslim hidup menderita selama tiga tahun. Musibah yang mereka alami semakin lama semakin berat. Dalam Shahih Al Bukhari disebutkan bahwa mereka teramat menderita sampai-sampai mereka terpaksa makan kulit pohon dan dedaunan.
As-Suhaili menceritakan bahwa jika ada rombongan pedagang dari luar datang ke Makkah, para sahabat Nabi Saw. pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan kebutuhan keluarga mereka. Melihat keadaan itu, Abu Lahab berteriak,
“Hai pedagang, naikkan harga bagi para pengikut Muhammad agar tidak mampu membeli apa-apa.”
Maka, mereka menaikkan harga berkali-kali lipat sehingga kaum Muslim terpaksa pulang dengan tangan hampa, menemui anak anak mereka yang kelaparan. Di penghujung tahun ketiga pemboikotan, sekelompok orang Bani Qushaiy mengecam perjanjian itu, lalu mereka bersepakat membatalkannya.
Lembar Perjanjian termakan rayap
Allah Swt mengirim rayap untuk memakan lembar perjanjian itu kecuali beberapa kata yang menyebutkan nama Allah Swt. Rasulullah Saw telah memberi tahu kejadian itu kepada pamannya, Abu Thalib. Lantas sang paman bertanya,
“Apakah Tuhanmu yang memberitahukan itu kepadamu?” Nabi Saw. menjawab, “Ya.”
Kemudian, Abu Thalib bersama beberapa orang kaumnya berangkat mendatangi kaum Quraisy dan meminta mereka untuk menunjukkan lembar perjanjian itu, seakan-akan dia akhirnya menyerah untuk menerima syarat yang mereka ajukan.
Maka, mereka mengambil naskah perjanjian yang masih terlipat rapi. Kemudian, Abu Thalib berkata, “Keponakanku telah memberitahuku, dan dia sama sekali belum pernah berdusta kepadaku, bahwa Allah Swt telah mengirimkan rayap memakan lembaran yang kalian tulis sehingga tak ada lagi kalimat-kalimat kezaliman yang memutuskan silaturahim dalam lembar perjanjian itu.
Jika kata-katanya itu benar, aku meminta kalian untuk membatalkan perjanjian itu. Sebab, demi Allah, kami tidak akan menyerahkannya sebelum orang terakhir kami mati. Namun, jika kata-katanya itu tidak benar, anak kami itu akan kami serahkan kepada kalian untuk kalian perlakukan sesuka hati.”
Dengan angkuh dan gembira mereka berkata, “Kami menyetujui ucapanmu.” Kemudian, mereka membuka naskah itu, dan ternyata mereka mendapatinya persis seperti yang dikabarkan Sang Jujur dan Terpercaya (Nabi Saw). Mereka berujar lantang, “Keponakanmu telah melakukan sihir. Ini ulah perbuatan sihirnya.”
Pembatalan Perjanjian dan Boikot
Kenyataan itu justru membuat mereka semakin murka, sesat, dan makin sengit memusuhi Nabi Saw. Selanjutnya, lima orang pemuka Quraisy membatalkan perjanjian dan menghentikan boikot. Mereka adalah Hisyam bin Amr bin Al-Harits, Zuhair bin Umayyah, Al-Muth‘im bin Adiyy, Abu AlBukhturi bin Hisyam, dan Zam‘ah bin Al-Aswad.
Di antara mereka, yang pertama kali membatalkan perjanjian itu dengan tegas adalah Zuhair bin Umayyah. Dia menghampiri orang-orang di sekitar Ka `bah dan berkata,
“Wahai penduduk Makkah, apakah kita makan dan berpakaian, sedangkan Bani Hasyim dan Bani Al-Muthalib mati tanpa bisa menjual dan membeli apa-apa? Demi Allah, aku tidak akan duduk sebelum perjanjian yang zalim itu dibatalkan.”
Kemudian, empat orang lainnya berturut-turut mengucapkan kata-kata yang serupa. Al-Muth‘im bin Adiyy pun mengambil naskah perjanjian itu dan merobek-robeknya. Selanjutnya, kelima orang itu bersama beberapa orang lainnya menemui Bani Hasyim, Bani Muthalib, dan kaum Muslim, lalu menyuruh mereka pulang ke rumah masing-masing.
___
0