Cerdas Berdakwah

  • Khoirul Wafa
  • Feb 02, 2017

Islam memiliki caranya sendiri untuk menyebar. Ia begitu unik, hingga tak bisa digambarkan mudah. Namun juga tak bisa digambarkan mustahil. Karena islam bisa datang kepada siapa saja, kapan saja. Bagaimana kita dianjurkan memeluk islam, hingga mereka yang tidak peduli dengan seruan ini diancam dengan hukuman pedih dalam bara api neraka? Namun dibalik itu, ada bahasa lain yang agak ‘kontras’; “Tak ada paksaan dalam beragama”. Hingga suatu ketika, seorang sahabat yang memaksa pemeluk agama lain untuk masuk islam ditegur dengan ayat ini, menurut salah satu riwayat.

Demikian pula terjadi pada hadis-hadis nabi. Demikian ia menyebar luas, seolah Nabi masih hidup membimbing kita. Padahal segalanya seolah hanya berawal dari majelis-majelis kecil, halaqah-halaqah yang dihadiri hanya beberapa orang sahabat. Namun kemudian kalam mulia yang dituturkan Rasullullah SAW tersebar dengan sendirinya dari mulut ke mulut. Lalu baru beberapa ratus tahun kemudian, ada inisiatif membukukan cerita-cerita tentang nabi tersebut. Kini kalam mulia beliau ada dimana-mana.

Memang ada cara sendiri untuk berdakwah dan menyerukan islam. Ada metode sendiri yang tidak mudah, dan tidak termaktub dalam buku-buku teori bagaimana untuk menyebarkan islam. Atas kehendak-Nya lah pada akhirnya, cahaya hidayah akan bermuara. Kepada siapapun yang –Ia kehendaki.

 {إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ} [القصص: 56]

Kamu tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang kamu sukai, akan tetapi Allah lah yang memberikan hidayah kepada orang-orang yang –Ia kehendaki.” (QS. Al-Qashas: 56)

 

Berdakwah Dengan Hikmah dan Bertahap

Transformasi dakwah Nabi Muhammad SAW yang tidak secara tiba-tiba mengubah tradisi dan cenderung memakai cara-cara yang santun patut kita jadikan i’tibar. Kita berkaca pada dakwah Nabi Muhammad SAW sebelum diperinahkan secara tegas untuk berperang melawan orang-orang kuffar. Nabi menggunakan dakwah bil hikmah wal mau’idhotil hasnah. Sesuai tuntunan-Nya yang tertera dalam surat An-Nahl ayat 125:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (النحل: 125)

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (Alquran) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl: 125)

Ayat ini menurut riwayat diturunkan ketika paman beliau sahabat Hamzah bin Abdul Muthallib syahid dalam perang uhud. Ketika Nabi bersumpah untuk membalas perbuatan orang-orang kafir yang merusak jasad mulia pamannya dengan balasan berkali-kali lipat, Allah SWT lantas menegur beliau.

Dan kita sadari, islam yang kini telah menjadi agama mayoritas, tidak muncul secara tiba-tiba. Proses panjang dan penyebarannya yang bersejarah, cukup menarik dipelajari para sarjana-sarjana “kekinian”, mengembangkan konsep yang cukup hebat dijadikan acuan dan pedoman merangkul masyarakat. Para da’i-da’i mengembang misi mulia, menyebarkan kebenaran agama islam tanpa upah apapun. Mereka bergerak atas panggilan hati, dan rasa kemanusiaan terhadap saudara-saudara jauh mereka yang belum pernah mendengar nama islam.

Punya sejarah, tentu karena kita juga tak mungkin mengubah tatanan masyarakat yang sudah terlanjur membudaya secara frontal. Dakwah Nabi Muhammad SAW sendiri dahulu juga dilakukan secara bertahap. Pelan tapi pasti, agama baru ini mengalahkan popularitas agama pagan yang lama. Lebih-lebih setelah peistiwa fathul makkah.

Secara umum fase-fase dakwah Nabi dibagi menjadi empat tahapan pokok. Dakwah secara sembunyi-sembunyi, ini dilakukan beberapa saat setelah beliau menerima wahyu pertama. Dakwah secara-sembunyi-sembunyi ini berhasil mengislamkan beberapa puluh orang, yang kelak, banyak diantaranya menjadi tokoh-tokoh penting islam. Sekedar menyebut beberapa nama, seperti Abu Bakar As-Shiddiq, ‘Usman bin ‘Affan, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Tahapan kedua, Nabi mulai berdakwah dengan terang-terangan. Secara luas, beliau mengajak penduduk Mekah untuk memeluk agama islam, dan meninggalkan agama pagan. Menyerukan untuk memurnikan kembali ajaran Nabi Ibrahim AS. Ini setelah turun ayat Alquran, surat Al-Hijr, ayat 94.

{ فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ (94) } [الحجر: 94 ]

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.”

Proses ini terus berjalan hingga beliau hijrah ke negeri Madinah. Sementara di Madinah, beliau tetap melanjutkan proses dakwah dengan terang-terangan. Dan di Madinah, cahaya islam yang sudah kuat, membuat Nabi juga mulai mengambil tindakan atas orang-orang yang membangkang, dan memusuhi islam. Beberapa peperangan terjadi, dan penting dicatat, itu dilakukan untuk semata-mata mempertahankan diri. Sebut saja, perang Badar Kubra, dan pertempuran di bukit Uhud. Hingga akhirnya saat perjanjian Hudaibiyyah dilanggar, terjadilah peristiwa besar fathul makkah, yang menandai titik balik kematangan agama islam. Cahaya islam semakin bersinar, menjangkau tempat-tempat yang jauh, hingga negeri Yaman. Saat itulah dakwah islam mencapai puncaknya, saat Nabi Muhammad SAW masih hidup.

Meneladani Dakwah Nabi Muhammad SAW

Sampai tiga belas tahun, Nabi membiarkan berhala yang terpasang di sekitar Kakbah tetap berdiri. Jumlahnya juga tidaklah sedikit, mencapai 360 buah, hal itu tidak lantas mengganggu ibadah Nabi di tempat suci itu. Beliau seakan tak terusik, dan beribadah seperti biasanya. Padahal, berhala semacam itu mustinya segera dihancurkan. Baru setelah fathul makkah, berhala-berhala itu dihancurkan, dan disingkirkan. Termasuk berhala-berhala yang lokasinya cukup jauh dari Mekah. Semua yang terjangkau tak luput dari upaya pembersihan.

Membutuhkan proses tentunya, agar islam bisa menjadi agama yang besar. Dan membutuhkan perjuangan yang berat pula tentunya.

Syaikh Sa’id Ramadhan Al-Buthy, mengatakan “Tak ada keraguan, sembunyi-sembunyinya dakwah islam di masa-masa awal munculnya agama ini, disebabkan oleh rasa takut beliau akan keselamatannya. Nabi Muhammad SAW ketika mendapat tugas berdakwah, dan diturunkan kepada beliau firman Allah, ‘Wahai orang-orang yang berselimut, bangunlah! Lalu berilah peringatan! (QS. Al-Muddassir: 1-2)’, beliau tahu bahwasanya beliau adalah utusan Allah untuk sekalian manusia. Dan beliau yakin bahwa Tuhan yang mengutusnya dan membebaninya tugas itu MahaMampu untuk menjaga beliau dari ancaman penduduk. Seandainya Allah SWT memerintahkan beliau untuk langsung berdakwah secara terang-terangan, tentu saja beliau akan melakukannya. Meski resikonya adalah kematian[1]

Dakwah tidak melulu harus dilakukan dengan lisan, dakwah lewat tulisan, uswah, teladan, dan cara-cara yang kreatif mutlak diperlukan. Karena kebutuhan dan karakteristik tiap daerah berbeda-beda. “Dakwah bisa dilakukan dengan kata-kata yang dilafalkan, dengan kalam yang dituliskan, atau dengan membuat contoh pribadi sebagai teladan agar diikuti. Dakwah juga terkadang bisa dilakukan dengan beragam wasilah yang indah atau bersifat menakut-nakuti. Bisa mempengaruhi mereka yang menolak dan membenci untuk menerima ajakan, atau justru menolaknya.[2]

Pada akhirnya, dikembalikan kepada diri masing-masing, untuk bijak menyikapi masyarakat. Meskipun hal yang kita sampaikan benar, belum tentu itu mudah diterima, atau mudah dipahami.[]

 

 

[1] Periksa: Fiqh Siroh Nabawi, hal. 69. Cet. Dar Al-Salam, tahun 2015.

[2] Periksa: Fiqh Da’wah Ilallah. Hal 15 jilid 1.

0

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.