Habib Abu Bakar al-Adni merupakan cendekiawan Muslim yang berasal dari Hadhramaut Yaman. Kiprahnya dalam berdakwah telah masyhur di berbagai penjuru negeri, baik Timur Tengah, Eropa hingga Asia. Santri beliau pun banyak yang berasal dari Indonesia.
Keberhasilah Didikan dari Orang Tua
Beliau dilahirkan di lembah Ahwar Provinsi Aden pada tahun 1366 H/1947 M. Beliau terkenal dengan kecerdasannya yang mampu melampaui pemikir lain di zamannya. Keuletannya dalam mencari ilmu nampak dari karya-karya beliau, terutama dalam Fiqh Tahawwullat.
Keberhasilan Habib Abu Bakar tak luput dari peranan kedua orang tua beliau. Merekalah yang telah membangun karakter Habib Abu Bakar hingga menjadi figur ternama seperti sekarang.
Sejak belia, beliau ditekankan untuk belajar ilmu syariat agama oleh kedua orang tuanya. Tak heran jika beliau mampu menghafal seluruh isi al-Qur’an di masa muda. Beliau sudah bertalaqqi ke berbagai guru ternama di zamannya, baik di Aden maupun di Hadramaut. Bahkan, sejak usia 14 tahun, beliau telah mendapatkan mandat dari sang ayah untuk menyampaikan khotbah Jum’at di masjid-masjid sekitar.
Dalam tuturnya, beliau mengakui bahwa “keseluruhan hidupku tak terlepas dari peran orang tuaku, ayah dan ibuku. Ayahku sosok yang sangat disiplin mengatur waktu. Baginya, pendidikan dan akhlak adalah prioritas utama. Seringkali aku menangis setiap mendengarkan lantunan al-Qur’an yang ayah baca pada sepertiga malam.”
Pendidikan Abu Bakar al-Adni
Beranjak ke usia remaja, Habib Abu Bakar meneruskan pendidikan formalnya di Universitas Aden, dengan mengambil prodi Bahasa Arab. Tak lama setelah kelulusannya, negeri Yaman tak bersahabat. Sebab banyak terjadi kekacauan yang dilakukan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Menyikapi hal ini, akhirnya beliau beserta keluarga memutuskan untuk hijrah ke negeri Hijaz.
Sesampainya di sana, terbesit dalam hati dan pikiran beliau untuk melanjutkan pendidikannya ke Universitas al-Azhar. Namun setelah Habib Abu Bakar mengungkapkan hasratnya kepada orang tua, dirinya malah mendapat penolakan, dan mereka menyarankan agar berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf.
Sejak saat itu, Habib Abu Bakar merasakan irtibath (hubungan) yang kuat dengan sang murabbi. Ia memperoleh curahan ilmu lahir sekaligus ilmu batin. Baginya Habib Abdul Qadir Assegaf adalah figur ulama yang patut dijadikan sebagai suri tauladan di akhir zaman.
baca juga: Al-Habib Salim bin Abdulloh Assyatiri Tarim Hadramaut Yaman
Mendirikan Pondok Pesantren
Setelah menjadi tokoh ternama di jazirah Arab, Habib Abu Bakar kembali ke negeri kelahirannya Hadramaut. Beliau menetap di daerah yang bernama Husaisah, kota mati yang menjadi tempat disemayamkannya kakek moyang para habaib di Hadramaut, ialah Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib.
Habib Abu Bakar mendirikan Pondok Pesantren Al-Muhajir yang kemudian berkembang pesat dan diubah menjadi Universitas Al-Wasathiyyah pada tahun 2010. Sebab didirikannya lembaga tersebut semata-mata demi memenuhi perintah Nabi Saw yang disampaikan kepadanya melalui mimpi.
Sistem pembelajaran di lembaga ini pun masih menganut dan mempertahankan metode ulama-ulama Hadramaut, yaitu talaqqi. Bagi mereka yang memilih sistem kuliah, maka ia akan lebih ditekankan kepada ilmu syariat dan hadis. Beda halnya dengan sistem rubat (pondok), yang dominan lebih cenderung membebaskan santri untuk menghadiri halaqah-halaqah di sekitar kota Tarim.
tonton juga: Daurah Ilmiah Ushul Fiqh Bersama Syekh Muhammad Amin As-Syinqithy
Aktif Menulis Kitab
Sanad keilmuan Habib Abu Bakar tak terhenti hanya kepada ulama Hadramaut dan Hijaz saja. Lebih dari itu, beliau telah melancong ke berbagai negeri seperti Mesir, Syam, Yordania hanya untuk mendapatkan sanad keilmuan dari ulama-ulama tersohor di sana.
Mahakarya yang terlahir dari tangan beliau sangatlah banyak, meliputi ratusan kitab yang mencakup berbagai disiplin ilmu, seperti fikih, sejarah, sastra, jurnalistik, dakwah, kebudayaan, metodologi dan masih banyak lagi.
Popularitas Habib Abu Bakar dan ilmu Fiqh Tahawwulat merupakan hal yang tak asing di kalangan para cendekiawan Islam di Timur Tengah. Fiqh Tahawwulat ialah keyakinan bahwa mengetahui tanda-tanda hari kiamat merupakan dasar agama (rukun ad-din) ke-4. Dalam hal ini, beliau bertolak belakang dengan opini mayoritas ulama yang mengatakan dasar agama ada tiga (Iman, Islam dan Ihsan). Meski begitu, ideologi dan ijtihad Habib Abu Bakar tidak menjadikannya keluar dari agama Islam, karena tidak setiap perbedaan dalam syariat menunjukan adanya kekufuran.
Lantas, hal apa yang mendasari Habib Abu Bakar sehingga berpendapat dan mengambil kesimpulan bahwa rukun agama ada 4, dan yang ke-4 ialah mengetahui tanda-tanda kiamat? Jawabnya ialah karena beliau mengambil dalil dari hadis Jibril, yaitu hadits pertama yang termaktub pada Hadits Arbain Nawawi.
Singkatnya, seusai malaikat Jibril bertanya perihal Iman, Islam, dan Ihsan kepada Nabi, Jibril kembali bertanya mengenai kapan Hari Kiamat. Lalu Nabi menjawab, “Yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya!” kemudian Jibril melanjutkan pertanyaannya, “Lantas apakah tanda-tanda dari kiamat itu sendiri?” sontak Nabi pun langsung menjelaskan tanda-tanda kiamat.
Selain itu, Fiqh Tahawwulat tidak terlahir begitu saja, namun terlahir setelah mengkaji dan menelaah tasfir ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah Nabi, serta Atsar para sahabat.
Demikianlah dalil yang menjadi sandaran Habib Abu Bakar, sehingga beliau berkeyakinan bahwa mengetahui tanda-tanda kiamat adalah hal yang lazim, karena termasuk rukun agama. Dari sini kita bisa melihat bahwa keluasaan cara berfikir beliau melampaui pemikir cendekiawan mana pun di era modern sekarang.
Tepat pada hari Rabu tanggal 28 Dzulhijjah 1443 H/27 Juli 2022 M. Habib Abu Bakar Al-Adni kembali ke hadirat Allah Swt.
Penulis: Sayyid Abdrurrahman
Habib Abu Bakar al-Adni dan Karya Monumental Fiqh Tahawwulat
1