Sudah 78 tahun kita melewati masa kemerdekaan ini dengan mengalami banyak peristiwa pahit dan manis yang terus berdatangan. Meski demikian, kemerdekaan yang sudah bertahan selama ini adalah sebuah anugerah dari sang maha kuasa yang patut untuk kita syukuri bersama sebagai warga negara Indonesia. Termasuk mensyukuri anugerah dari sang maha kuasa ini adalah dengan mempertahankan eksistensi NKRI di segala zaman dengan cara konsisten menanamkan nilai-nilai nasionalisme kepada seluruh elemen masyarakat yang ada.
Rahasia utama kemerdekaan
Tahukah kamu, kemerdekaan yang kita dapat tidaklah sebuah kebetulan belaka. Jika kita telisik lebih lanjut dalam beberapa catatan sejarah Indonesia, sebenarnya rahasia utama dibalik kemerdekaan Indonesia dan mengapa bisa mempertahankannya adalah karena adanya sinergitas antara ulama dan umara yang cukup kental kala itu.
Termasuk contoh sinergitas yang paling masyhur adalah cerita bung karno yang pernah sowan kepada Syaikhona Kholil bangkalan bersama KH. Wahid Hasyim. pada saat itu bung karno belum menjadi presiden. Di Tengah-tengah sowan, Syaikhona Kholil mengusap kepala bung karno. Usapan ini menjadi isyarat kuat bahwa bung karno kelak akan menjadi orang istimewa. Sebab, pada saat itu jika Syaikhona Kholil mengatakan sesuatu atau melakukan sesuatu yang mengandung sebuah makna maka akan ada isyarat tertentu. Dan ternyata benar bahwa yang akan menjadi salah satu founding fathers[1] kita semua adalah bung karno. Dan ini juga mengindikasikan antara bung karno dan Syaikhona Kholil terdapat hubungan khusus.
Cerita ini dikuatkan pula oleh pemerhati sejarah sekaligus penulis Jombang bernama Wiji Mulyo Maradianto. Pria yang akrab disapa Dian Sukarno ini menjelaskan, ketika Bung Karno dan KH Wahid Hasyim sowan atau bertamu ke Syaikhona Kholil di Bangkalan. Syaikhona Kholil mengusap kepala Bung Karno dan menepuk pundak KH Wahid Hasyim.
“Dalam bahasa isyarat itu diartikan sebagai Bung Karno menjadi Presiden RI dan KH Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama RI waktu itu,” jelas Dian Sukarno penulis buku Candradimuka ‘Trilogi Spiritualitas Bung Karno’. Beliau mendapat cerita ini dari Gus Zaki Almarhum.
Sinergitas antara bung Karno dengan ulama tidak hanya itu saja. Bung karno juga menjalin hubungan dengan banyak tokoh-tokoh kyai pada zamannya. Termasuk juga adalah Hadratus Syekh KH Hasyim Asyari, KH. Mahrus Ali, dan KH Abdul Wahab Chasbullah.
KH Abdul Wahab Chasbullah Sosok Kiai Panutan Bung Karno
Bung Karno Tak hanya dekat dengan Hadratus Syekh KH Hasyim Asyari. Bung Karno pun juga dekat dengan KH Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas, Jombang. Hingga Mbah Wahab menjadi sosok kiai panutan bagi Bung Karno.
Hal itu sangat wajar mengingat Mbah Wahab merupakan sosok kiai yang selalu berada dibelakang Bung Karno saat mendapatkan tekanan dari publik.
Seperti halnya saat Bung Karno menghadapi masalah pergolakan politik empat partai besar dan Bung Karno diserang dengan diisukan sebagai seorang Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunis). Disitu ada dua ulama yang membela Bung Karno, yang salah satunya adalah KH Abdul Wahab Chasbullah.
“Saat itu Mbah Wahab mengeluarkan fatwa yang isinya ‘Jika kalian mengakui saya sebagai pimpinan kalian. Maka akuilah Bung Karno sebagai pimpinan kita’. Waktu itu Mbah Wahab masih menjabat sebagai dewan pertimbangan agung NU,” ujar Dian Sukarno menirukan perkataan Mbah Wahab saat menyampaikannya pada TIMES Indonesia (21/6/2021).
Bung Karno Bertanya Kepada Mbah Wahab
Saat Indonesia berada pada era kebangkitan Nasional, yakni sekitar tahun 60-an. Masih banyak orang-orang belanda yang bercokol di daerah Irian Barat. Setelah Bung Karno berkali-kali gagal melakukan rundingan pada mereka, akhirnya Bung Karno pergi menuju kediaman Mbah Wahab di Jombang. Dalam pertemuannya kali ini, Bung Karno meminta pandangan dari Mbah Wahab terkait hukum orang-orang belanda yang masih bercokol di Irian Barat.
KH. Wahab Chasbullah menjawab dengan tegas “Hukumnya sama dengan orang yang ghasab”. Uniknya pula, beliau hanya menggunakan landasan kitab Fathul Qarib beserta Hasyiyah Bajuri-nya. Cerita ini dituturkan oleh Kyai Ahmad Baso dalam bukunya berjudul ‘Khittah Republik Kaum Santri dan Masa Depan Politik Pesantren’.
Dari tiga histori tersebut, sudah cukup menegaskan bahwa para ulama dan umara telah bersinergi sejak dulu. Dan ini merupakan warisan dari para leluhur-leluhur bangsa Indonesia. Oleh karena itulah sudah seharusnya sinergitas ini terus dipertahankan agar sesuai dengan harapan-harapan para pendahulu bangsa kita.
Penutup
Dengan melakukan pendekatan berpikir secara historis ini, setidaknya kita bisa mengetahui konteks sejarah secara nyata. Tidak kaku dalam menyikapi realitas perkembangan zaman. Maka, berpikir historis merupakan hal yang wajib dibudayakan, agar seseorang bisa mencapai tingkat kedewasaan dalam intelektual dan emosional dalam waktu yang singkat. Sekian. Semoga bermanfaat.
[1] Bapak Bangsa Indonesia
Jangan lupa untuk dukung youtube dan media sosial Pondok Lirboyo, agar semakin berkembang dan maju. Baca juga khutbah jumat lainnya di lirboyo.net.