Mengulas Hukum Valentine Day dalam Tinjauan Fikih Islam

Valentine Day dalam Tinjauan Fikih Islam

Memasuki bulan Februari, kita kerap menyaksikan di media massa, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat hiburan, bersibuk-ria berlomba menarik perhatian para remaja dengan menyemarakkan momen yang diistilahkan dengan “Valentine’s Day”. Biasanya mereka saling mengucapkan “Selamat hari Valentine”, berkirim kartu dan bunga, saling bertukar pasangan, saling curhat, menyatakan sayang atau cinta karena anggapan saat itu adalah “Hari Kasih Sayang”. Toko-toko Swalayan pun tak kalah menyediakan bunga- bunga berwarna merah, kartu-kartu ucapan selamat yang umumnya berlogo cheo pad (dewa cinta dalam keyakinan romawi kuno), hotel-hotel dan restoran mewah turut pula menyediakan paket valentine, siaran radio dan televisi disusun sedemikian rupa untuk memeriahkan hari valentine yang jatuh pada tanggal 14 Februari.

Fenomena demikian tentunya menyisakan sederet pertanyaan di benak kita, sebagai seorang muslim bolehkah untuk merayakan dan memeriahkan hari Valentine? Bagaimana tinjauan fikih Islam terhadap trend hari Valentine ini? Oleh karenanya, tulisan ini akan mengulasnya melalui perspektif fikih Islam.

Kilas Sejarah Valentine Day

Peringatan Valentine Day memiliki ragam versi sejarah dan asal-muasal, merujuk pada The World Book Encyclopedia, vol. 20 (1993), asal Valentine’s Day berawal dari perayaan Lupercalia yaitu rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno yang berlangsung mulai 13 sampai 18 Februari. Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk bersenang-senang dan menjadikannya sebagai objek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda mencambuk orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dicambuk karena anggapan cambukan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur. 

Sedangkan, dalam The Encyclopedia Britannica, vol. 12, dengan sub judul: Christianity. Diungkapkan bahwa Ketika agama Kristen Katolik memasuki Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Constantine dan Paus Gregory I. Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari.

Perihal kebiasaan mengirim kartu Valentine, memang tidak berkaitan secara langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 M ketika The Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St. Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Perancis. Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya.

Lalu bagaimana dengan ucapan “Be My Valentine?”, menurut Ken Sweiger dalam artikelnya yang berjudul: “Should Biblical Christians Observe It?”, mengatakan: Kata “Valentine” berasal dari bahasa Latin yang berarti: “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, Tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi “To Be My Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa”) dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Dalam Islam, hal ini disebut dengan syirik yang berarti menyekutukan Tuhan.

Begitulah, kilas sejarah Valentine’s Day dalam berbagai versinya. Pada intinya, Valentine’s Day merupakan kegiatan yang bukan berasal dari Islam, namun bersumber dari paganisme orang musyrik, penyembahan berhala dan penghormatan pada pastor. Bahkan, tak ada korelasinya dengan “Kasih sayang”, oleh karena itu kenapa sampai hari ini kita masih menyemarakkan dan merayakan momentum Valentine’s Day?

Valentine Day dalam Tinjauan Fikih Islam

Kasuistika yang berasal dari kalangan non-muslim dalam tinjauan fikih Islam kerap direspon oleh kalangan fukaha dengan mengusung konsep tasyabbuh, tasyabbuh secara etimologi berasal dari kata syabbaha yang berarti menyerupai orang lain dalam suatu perkara. Sedangkan menurut terminologi, tasyabbuh diartikan dengan menyerupai orang-orang kafir dalam hal akidah, ibadah ataupun perayaan, kebiasaan, dan setiap hal yang menjadi ciri khas bagi mereka.

Dalam domain fikih sendiri, konsep ini tidak serta merta langsung divonis haram, namun terdapat pemilahan vonis hukum sebagaimana berikut: Pertama, haram apabila terdapat tujuan menyerupai non-muslim atau bahkan sampai menimbulkan kekaguman pada agama mereka, bahkan hal ini dapat divonis kufur. Kedua, dosa apabila hanya bertujuan menyerupai kalangan non-muslim tanpa disertai kecondongan kepada agama mereka. Ketiga, makruh bilamana ia meniru gaya non-muslim tanpa bermaksud apa-apa. Pendapat ini disitir oleh ulama terkemuka mazhab Syafi’i, Syaikh Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H) dalam kompilasi fatwanya. Nalar argumentatif yang disampaikan oleh beliau bersumber dari sabda Nabi Saw. yang berbunyi:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (H.R. Abu Dawud)

Ihwal konsep tasyabbuh ini, pakar hadis terkemuka asal Haramain Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki (w. 1425 H) memberikan batasan terkait frasa “Tasyabbuh” yang tercantum dalam hadis di atas. Menurutnya, maksud menyerupai ialah setiap atribut atau pakaian yang merupakan ciri khas yang selalu digunakan oleh non-muslim serta dijadikan sebagai simbol atau tanda mereka, seperti halnya ikat pinggang dan topi yang digunakan oleh orang Yahudi. Adapun, pakaian yang tidak secara khusus digunakan oleh non-muslim serta tidak dijadikan sebagai simbol atau tanda mereka, seperti pakaian umum yang kerap kali dikenakan baik oleh kalangan kita atau mereka, maka hukumnya diperbolehkan. Sebab pakaian tersebut bukanlah ciri khas mereka.

Problematika ini tentunya masih menyisakan polemik, bila hukum merayakannya saja tidak boleh, lalu bagaimana hukum menjual pernak-pernik (souvenir) Valentine Day? Seperti aksesoris berbentuk love, amplop atau cokelat hingga bunga untuk dihadiahkan kepada seseorang yang dicintainya pada saat momen Valentine Day?

Kendati transaksi jual-belinya dihukumi sah, namun dalam perspektif fikih Islam hukumnya tetaplah haram, karena termasuk ikut andil dalam arti memfasilitasi terjadinya tindak kemaksiatan. Hal ini selaras dengan kaidah yang disampaikan oleh fukaha:

وَكُلُّ مَا حَرُمَ حَرُمَ التَّفَرُّجُ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ إعَانَةٌ عَلَى مَعْصِيَةٍ

One thought on “Mengulas Hukum Valentine Day dalam Tinjauan Fikih Islam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.