Saat Cinta Tersandung Kehendak Orang Tua

Kisah cinta Laila-Majnun dan Siti Nurbaya adalah salah satu kisah cinta mengharukan sepanjang sejarah kehidupan manusia yang sampai saat ini tetap dikenang. Kisah percintaan mereka harus berakhir dengan air mata dan penderitaan yang mendalam saat kehendak orang tua menjadi batu penghalang, sehingga meski hati Laila hanya untuk Qois, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa mencinta tanpa bisa memiliki.

Tak bisa dibayangkan jika kisah percintaan semacam itu harus terulang kembali dalam pentas kehidupan modern saat ini. Tetapi, apa yang terjadi pada masa silam bukan hal yang mustahil akan terulang di masa mendatang. Sebab, kehidupan ini menyimpan beragam teka-teki yang penuh misteri, tak hanya kebahagiaan namun juga ada penderitaan.

Cinta tak direstui tak ubahnya disuguhi buah si malakama “dimakan bapak mati, tidak di makan ibu yang mati”. Sebuah pilihan yang benar-benar membingungkan dan tak bisa ditentukan. Dalam kondisi seperti ini seseorang akan serba salah dalam menentukan pilihannya, antara mengikuti kehendak cintanya ataukah kehendak orang tuanya, yang pasti akan ada hati yang tersakiti apapun yang dipilih.

Namun, yang mesti menjadi catatan dalam keadaan seperti ini adalah bahwa tak ada yang mengharuskan seseorang tunduk dan patuh pada kehendak hatinya. Secara norma agama dan sosial mengikuti kehendak orang tua adalah suatu keharusan bagi seorang anak, kepatuhan kepada kedua orang tua adalah perintah agama yang semua orang mengetahuinya karena ridhollah fii ridhol walidain, ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua. Sehingga, tidak heran ketika ada sahabat Nabi yang hendak ikut serta berperang, Nabi tidak langsung mempersilahkannya sebelum ia mendapat restu dari orang tuanya, “Wahai, Rasulullah… Aku ingin ikut berperang bersamamu,” pinta sahabat Jahimah kepada Nabi. “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Tanya Nabi. “Iya..” jawabnya. “Kalau begitu pulanglah, mintalah izin kepadanya karena surga berada di telapak kaki keduanya.” (HR. Bukhori)

Hadis di atas bisa dipahami bahwa kalau fardu kifayah saja harus ada izin dari orang tua, apalagi yang mubah. Maka dari sini adalah sebuah keharusan dan sebagai bentuk etika yang luhur seorang anak haruslah meminta doa dan restu orang tua sebelum mengambil keputusan untuk menempuh hidup baru. Doa restu kedua orang tua mutlak dibutuhkan untuk mengiringi perjalanan hidup mengarungi bahtera rumah tangga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.