Telah menjadi konsensus Ulama bahwa tindakan makar dan memberontak terhadap pemerintahan yang sah adalah haram, meskipun pemerintan fasik dan zalim. Sebagaimana penjelasan imam An-Nawawi berikut:
وَأَمَّا الْخُرُوْجُ عَلَيْهِمْ وَقِتَالُهُمْ فَحَرَامٌ بِالْإِجْمَاعِ وَإِنْ كَانُوْا فَسَقَةً ظَالِمِيْنَ
“Adapun keluar dari ketaatan terhadap penyelenggara negara dan memeranginya maka hukumnya haram, berdasarkan konsensus ulama, meskipun mereka fasik dan zalim.”[1]
Dengan bahasa lain yang menyejukkan, Dr. Wahbah az-Zuhaily menegaskan dalam kitabnya yang berjudul al-Fiqh al-islami Wa Adillatuhu:
وَلَا يَجُوْزُ الْخُرُوْجُ عَنِ الطَّاعَةِ بِسَبَبِ أَخْطَاءٍ غَيْرِ أَسَاسِيَّةٍ لَاتُصَادِمُ نَصًّا قَطْعِيًّا سَوَاءٌ أَكَانَتْ بِاجْتِهَادٍ أَمْ بِغَيْرِ اجْتِهَادٍ حِفَاظًا عَلَى وِحْدَةِ الْأُمَّةِ وَعَدَمِ تَمْزِيْقِ كِيَانِهَا أَوْ تَفْرِيْقِ كَلِمَاتِهَا
“Tidak diperbolehkan memberontak pemerintah sebab kesalahan yang tidak mendasar yang tidak menabrak nash qath’i, baik dihasilkan dengan ijtihad atau tidak, demi menjaga persatuan umat dan menghindari perpecahan dan pertikaian di antara mereka.”[2]
Alasannya sederhana, masuk akal, dan dapat dilihat dalam bukti sejarah. Sesuai penjelasan dalam kitab Ghayah al-Bayan bahwa pemberontakan akan mengobarkan fitnah yang lebih besar, pertumpahan darah, perselisihan antar golongan, dan seterusnya.[3]
Tidak ditemukan satu pun istilah memberontak dalam ajaran dan tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahkan pelaku pemberontakan disebut dengan istilah Khawarij, meskipun istilah ini mulanya hanya mengarah kepada kelompok yang membelot dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib ra., namun secara dinamis juga digunakan untuk setiap kelompok yang melakukan tindakan makar terhadap pemerintah yang sah. Sebagaimana keteranganAbu Fadhl as-Senori dalam kitab Syarh al-kawakib al-Lamma’ah:
فَكُلُّ مَنْ خَرَجَ عَلَى الْإِمَامِ الْحَقِّ الَّذِي اتَّفَقَتِ الْجَمَاعَةُ عَلَيْهِ يُسَمَّى خَارِجِيًّا سَوَاءٌ كَانَ الْخُرُوْجُ فِيْ أَيَّامِ الصَّحَابَةِ عَلَى الْأَئِمَّةِ الرَّاشِدِيْنَ اَوْ كَانَ بَعْدَهُمْ عَلَى التَّابِعِيْنَ بِإِحْسَانٍ وَالْأَئِمَّةِ فِيْ كُلِّ زَمَانٍ
“Setiap orang yang berbuat makar terhadap pemimpin yang sah yang menjadi kesepakatan golongan dinamakan Khawarij, baik yang berbuat makar di zaman sahabat terhadap Khulafaur Rasyidin atau para Tabi’in serta setiap pemimpin di setiap zaman seterusnya.”[4]
Salah satu ulama Ahlussunnah wal Jama’ah kontemporer, Syaikh Abdul Fatah Qudaisy Al-Yafi’i, menceritakan dalam kitab Al-Manhajiyyah Al-‘Ammah Al-‘Aqidah, bahwa dalam rekam sejarah, pada saat pemerintah Islam dipimpin oleh rezim Muktazilah Jahmiyyah seperti Khalifah Al-Makmun, Al-Watsiq, dan Al-Mu’tashim, tidak satupun ulama Ahlussunnah wal Jama’ah memberontak. Mereka juga tidak pernah memfatwakan haram berjamaah di belakang para pemimpin yang bukan Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut. Tidak pula mengharamkan agresi militer bersama mereka. Padahal pada saat itu banyak ulama seperti imam Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan ulama besar lainnya. Demikian teladan etika ulama Ahlussunnah wal Jama’ah terhadap pemerintah.[5]
[]waAllahu a’lam
[1] Al-Minhaj Syarh Shahih al-Muslim, XII/229.
[2] al-Fiqh al-islami Wa Adillatuhu, VI/705.
[3] Ghayah al-Bayan, I/27.
[4] Syarh al-kawakib al-Lamma’ah, hal. 13.
[5] Al-Manhajiyyah Al-‘Ammah Al-‘Aqidah, 32-33