Oleh: Ahmad Athori Thohir*
Kesenian tradisi yang masih hidup di pulau Jawa, serupa napas bagi masyrakatnya, menghidupi dan terus hidup dalam berbagai fase zaman dan karakteristik masyarakat yang berubah. Itu semua karena “Setiap orang pada esensinya adalah seniman.” Kata Joseph Beuys, seorang seniman Jerman. Pernyataan di samping juga diperkuat dengan apa yang disampaikan oleh Presiden komunitas Lima Gunung dari Magelang; Bapak Sutanto Mendut “Segala sesuatu adalah seni.”
Dua pernyataan seniman tersebut telah dipahami dan dipraktikkan benar oleh para Wali Songo saat menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa sampai pada abad 17. Kesembilan wali yang dalam bahasa Arab artinya; pembela, teman dekat, dan pemimpin ini, merupakan para intelektual yang terlibat dalam upaya pembaruan sosial yang pengaruhnya terasa di berbagai manifestasi kebudayaan—mulai dari kesehatan, bercocok tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Kebijaksanaan
Penyebaran Islam di tanah Jawa oleh sembilan wali ini tidaklah dengan armada militer dan pedang, atau dengan cara mengkafirkan dan menindas keyakinan lama yang telah dianut oleh masyarakat Jawa saat itu yang kental dengan pengaruh Hindu dan Budha. Namun, mereka melakukan perubahan sosial secara halus dan bijaksana melalui kesenianan tradisi yang telah lama hidup di Jawa seperti; wayang, seni ukir dan pahat.
Pendekatan melalui medium kesenian ini yang membuat syiar Islam yang dipelopori oleh sembilan wali mendapatkan tempat di hati masyarakat waktu itu. Tercatat dalam sejarah, dengan pendekatan tersebut ajaran Islam mampu menjadi agama terbesar di Jawa dan menyebar ke pelosok-pelosok daerah mulai dari Sabang sampai Marauke, yang sekarang biasa disebut Islam Nusantara.
Inilah yang membedakan syiar Wali Songo dengan masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Di mana saat itu Islam juga sudah datang ke Nusantara, namun tidak populer seperti yang dibawa oleh para wali, sampai 800 tahun kemudian, Laksamana Cheng Ho saat datang ke Jawa, ia hanya menemukan segelintir penduduk Muslim di wilayah pesisir, itu pun pendatang dari China dan Persia.
Akulturasi Budaya
Akulturasi budaya adalah jalan yang ditempuh para wali dalam menyelaraskan adat dan budaya masyarakat waktu itu dengan tugasnya membumikan Islam di Jawa. Hasilnya seperti yang kita rasakan sekarang berabad-abad. Walau dalam beberapa tahun ini kehidupan beragama begitu berisik dengan adanya berbagai kelompok yang menyiarkan Islam dengan cara yang tidak membumi di Nusantara, melupakan adat dan tradisi setempat.
Jejak Wali Saongo dalam mensyiarkan Islam dengan medium kesenianan tradisional tercatat dalam berbagai literatur. Misalnya, Sunan Giri (Blambangan, pertengan abad ke-15, Giri 1506) yang bermana asli Raden Paku dikenal juga dengan sebutan Prabu Satmata, kadang-kadang disebut juga dengan Sultan Abdul Fakih. Sebagai pendidik berjiwa demokrasi, Sunan Giri mendidik anak-anak melalui berbagai permainan tradisional yang berjiwa agama, misalnya jelungan, jemuran, jor, gula ganti, cublak-cublak suweng, dan ilir-ilir.
Sunan Bonang (Ampel Denta, Subaya, 1456-Tuban,1525) dikenal juga nama Raden Maulana Makhdum Ibrahim atau Raden Ibrahim menciptakan instrumen gamelan Bonang dan tembang Tombo Ati. Sunan Kudus (abad ke-15, Kudus 1550) yang bernama aslinya Raden Ja’far Sadiq, tetapi sewaktu kecil dipanggil Raden Undung, juga dipanggil dengan Raden Amir Haji, dikenal sebagai pujangga dengan kerangan cerita yang paling terkenal adalah Gending Maskumambang dan Mijil. Begitu pun dengan para wali lainnya yang mengkreasikan kesenian dan adat setempat menjadi bentuk baru yang bernapas Islam dan dapat diterima masyarakat saat itu.
Kontekstualisasi
Jejak tradisi kesenian sebagai medium syiar Islam juga harus dipraktikan oleh para santri, utamanya santri pon-pes Lirboyo, Kediri. Dalam konteks saat ini, kita harus menumbuhkan kecintaan kita kepada kesenian tradisional serta ikut cemas atas semakin lunturnya cipta karsa karya adiluhung nenek moyang kita di tengah gempuran budaya dan kesenian ala kebarat-baratan. Kita sebagai santri harus terus berupaya menjaga, mendorong, dan menkreasikan kesenian-kesenian tersebut pada masa kini. Jangan sampai budaya dan kesenian tradisional yang kaya dengan nilai filosofis kehidupan terus tergerus dan hilang.[]
*Penulis adalah santri asal Magelang, siswa kelas III Tsn, bagian F 02, bermukim di kamar Q 48.
Baca juga:
TENTANG KOTA DENGAN SERIBU SATU WALI
Simak juga:
Prof. Mahfud MD | KULIAH UMUM KEBANGSAAN
Menumpang Adat Menyisipkan Islam
Menumpang Adat Menyisipkan Islam