Dulu ketika Nabi saw. berhijrah dari Makkah menuju Madinah, Beliau menyabdakan bahwa sesungguhnya setiap seseorang yang berhijrah akan dibalas sesuai dengan niatnya dalam berhijrah. Jika ia berhijrah dengan tujuan wanita yang dicintai atau maksud dunia lainnya, maka ganjaran itulah yang akan ia peroleh. Dan barang siapa yang berhijrah dengan niat mencari ridla Allah swt. dan RasulNya, maka pahala itu jugalah yang bakal ia dapat.
Hadis tersebut, atau lebih tepatnya momen itu, adalah sesuatu yang sangat berkesan bagi Umar ra., salah satu sahabat utama Nabi yang juga sekaligus periwayat utama hadis yang sangat masyhur itu. Maka, ketika beliau menjadi pengganti Abu Bakar ra. dalam memimpin umat Islam mengarungi rintangan-rintangan dunia, segeralah beliau menetapkan momen hijrah tersebut sebagai diawalinya penanggalan resmi umat Islam. Bagi beliau, momen itu merupakan babak baru bagi kehidupan umat Islam, meskipun hijrah itu sendiri adalah sesuatu yang berat bagi umat Islam karena harus meninggalkan tanah kelahiran mereka. ”Andai bukan karena kaumku mengusirku,” sabda Nabi, ”maka takkan kutinggalkan dirimu, wahai Makkah.”
Namun demi kemajuan agama Islam yang hendak menghapuskan barbaritas (jahiliyah), maka umat Islam rela meninggalkan Makkah demi kemajuan Arab khususnya dan dunia umumnya. Bisa kita lihat, bahwa dalam setiap zaman ternyata memiliki momentumnya sendiri. Dan bagi Umar ra., siksaan yang diterima umat Islam di Makkah selama lebih dari tiga belas tahun merupakan babak yang sangat berat dalam fase kehidupan umat. Sehingga ketika belenggu despotisme Kafir Quraisy berhasil mereka lepaskan dengan hijrah, maka hal itu haruslah diperingati sebagai sesuatu yang penting. Oleh karena itu, tahun hijrahnya umat Islam ditetapkan sebagai tahun resmi agama Islam. Maka dengan sendirinya momen menjadi fenomena.
Bahwa tahun tatkala momen hijrah dilaksanakan dijadikan sebagai tahun pertama agama Islam bukanlah sesuatu yang tanpa alasan. Ada banyak sekali momen yang sangat berkesan dalam agama Islam, namun yang dipilih oleh Umar ra. justru momen hijrah. Di antara kejadian-kejadian yang berupa unforgettable moment dalam perjalan umat selain hijrah diantaranya adalah kelahiran Nabi, diangkatnya Beliau sebagai Rasul sekaligus turunnya ayat Alquran pertama dan takluknya kota Makkah dengan tanpa darah yang dilukiskan Allah sebagai pertolongan-Nya (nasrullah) serta banyak momen lain. Namun, bagi Umar ra., hal itu mengalahkan pentingnya momen hijrah. ”Hijrah,” Ibn Hajar dalam Fathul Bari menulis, ”Merupakan wujud indepedensi umat.” Hal itu dikarenakan orang Romawi menggunakan kelahiran tokohnya dalam mengawali titi mangsa dan orang Persia menggunakan kematian rajanya sebagai awal mula penanggalan. Begitulah, bagi Umar hari hijrah merupakan hal yang penting.
[ads script=”1″ align=”center”]
Hal yang sama dirasakan oleh para ulama dalam menyikapi hari meninggalnya Nabi, dua belas Rabiul Awal. Sebelum adanya perayaan Maulid, hari meninggalnya Nabi selalu diperingati dengan kesedihan berkepanjangan karena kehilangan tokoh panutan. Memang terkadang perpisahan lebih dikenang ketimbang perjumpaan dan kebersamaan. Sebagai penjaga moralitas, ulama ketika itu tentu tidak tinggal diam. Beliau-beliau menjadikan tanggal dua belas Rabiul Awal (hari meninggalnya Nabi menurut mayoritas) sebagai peringatan hari kelahiran Nabi, yang menurut mayoritas justru tanggal delapan Rabiul Awal. Hal itu dilakukan sebagai pengabadian momen milad Nabi sehingga Nabi senantiasa ”hidup” dalam kewafatannya. Dalam satu kesempatan Allah swt. berfirman, ”Tidaklah Muhammad itu kecuali seorang Rasul yang rasul-rasul lain telah lewat sebelumnya. Apakah jika ia meninggal atau dibunuh kalian akan berpaling…” Firman ini sedikit memberi arahan kepada kaum beriman agar mereka tidak larut dalam kesedihan-kesedihan yang tiada gunanya. Dan para ulama menganjurkan agar kesedihan ini diganti dengan kegembiraan, yakni perayaan Maulid. Sekilas mungkin terdapat reduksi sejarah. Namun sebenarnya sama sekali tidak ada reduksi sejarah di sini. Yang dilakukan hanyalah merubah tanggal perayaan, bukan menyampaikan bahwa kelahiran beliau adalah tanggal dua belas. Toh, tanggal kelahiran beliau tidak disepakati secara pasti. Jadi, tidak ada salahnya memperingatinya di tanggal dua belas. Dan toh juga ini dilakukan agar kita tidak bersedih atas meninggalnya Nabi yang hal itu berakibat kepada pesimisme yang tak berfaedah.
Hari Maulid setidaknya juga menjadi pengingat bagi kita yang sering lupa meneladani Nabi saw. Hal ini bukan berarti bahwa kita hanya meneladani Beliau saat Maulid saja, namun setidaknya, adanya formalitas perayaan ini menjadi sebuah momen resmi dan pernyataan sikap bahwa kita masih meneladani Nabi saw. secara formal, logikanya berarti lebih-lebih secara informal. Sakralisasi (dengan konotasi positifnya) terhadap hijrah seperti yang Umar ra. lakukan ataupun formalisasi maulid seperti yang ulama teladankan adalah contoh dari corong-corong budaya yang dibutuhkan masyarakat yang kering akan nilai-nilai tradisi. Dengan kedua fenomena itu, masyarakat yang kering akan nilai-nilai penghargaan atas sejarah menjadi sadar bahwa mereka tidak dibangun dengan hura-hura dan pesta pora, tapi dengan keringat dan asa.
Konsekuensi positif dari formalisasi dan sakralisasi yang dilakukan oleh teladan-teladan umat Islam zaman dahulu inilah yang sepertinya hendak ditangkap oleh beberapa tokoh Nahdliyin dengan mengusulkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Tokoh-tokoh Nahdliyin yang mengusulkan tanggal ini sebagai Hari Santri Nasional agaknya tidak ingin momen Resolusi Jihad (sebagai inspirasi Hari Santri) yang dianggap oleh beberapa kalangan sebagai sesuatu yang penting ini hilang ditelan sejarah dan hanya abadi secara literasi saja. Mereka, para penggagas Hari Santri, menyadari perlu ada sakralisasi seperti yang dilakukan Umar ra. terhadap momen hijrah. Dan mereka juga sadar akan perlunya formalisasi seperti halnya para ulama memformalkan sikap meneladani Nabi saw. dalam hari perayaan maulid.
Dengan kedua inti ini, formalisasi dan sakralisasi, akan terwujudlah sebuah penghargaan terhadap Resolusi Jihad. Meskipun secara esensi Resolusi Jihad itu sendiri sudah formal dan sakral. Jadi, yang dihargai dan diingat dalam konteks ini bukan 22 Oktober yang akan kita lalui di tahun-tahun mendatang, namun 22 Oktober 1945 yakni ketika para pejuang, khususnya santri dan kiai, gugur dalam pertempuran. Peringatan yang akan diperingati setiap tahun adalah sarana dalam mengingat momen tujuh puluh satu tahun yang lalu itu.
Lebih jauh lagi, peringatan ini bukan sekedar ingatan yang masuk dari telinga kiri dan keluar dari telinga kanan. Dengan peringatan ini, para santri harusnya lebih mak jleb lagi dalam menghayati sifat nasionalismenya, seperti yang dicontohkan Hadlrotusyaikh Mbah Hasyim. ”Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat sabilillah,” kutipan teks Resolusi Jihad tertulis, ”untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan agama Islam.” Dengan Hari Santri, sesuai dengan amar Resolusi itu sendiri, para santri haruslah mempertahankan Republik tercinta ini. Secara konteks, mempertahankan bukan lagi dengan senjata, namun akhlak-akhlak mulia sebagaimana tercontoh dalam tindak lampah Mbah Hasyim. Dengan Hari Santri pula, berdasar isyarat Resolusi itu, para santri diharapkan untuk bisa terus mempertahankan agama Islam. Dan secara konteks, hal itu hendaknya dilakukan dengan pena dan pemikiran yang sesuai dengan ideologi bangsa, seperti yang dipegang teguh oleh Mbah Hasyim.
Dan dengan momen Hari Santri ini, semoga kita, siapapun yang mengaku dan ingin diaku sebagai santri, bisa meneladani Khalifah Umar, para ulama pencetus Maulid, dan juga Mbah Hasyim.][
Penulis, AK. Kholili Kholil, Santri Lirboyo Kamar HM 14