Ibrah Ulama Salaf

  • Khoirul Wafa
  • Jan 12, 2018

Bagi orang yang baru mengenal nama Imam al-Ghazali, kemudian menelaah kitab Ihya Ulumuddin akan mengira bahwa tokoh Islam ini adalah punggawanya para sufi. Mengira Imam al-Ghazali adalah tokoh sentral yang hanya menggeluti tasawwuf sejak lahir. Terlebih ada satu kitab Imam al-Ghazali tentang dunia mistisme yang tak kalah hebat, namanya mukasyafatul qulub. Namun kemudian rasa tidak percaya akan terbesit bagi orang tadi, mungkinkah kitab Maqashidul Falasifah juga ditulis oleh orang yang sama? Mustahil rasanya, sufi tulen sekaliber Imam al-Ghazali juga seorang filosof. Rasa takjub makin mencuat ketika mengetahui kitab al-Basith, babon dan kitab induk dari hampir seluruh kitab fikih bertema madzhab Syafi’iyyah juga ditulis oleh tangan yang sama. Rasa tak percaya kian menjadi tatkala sadar kitab Mi’yarul Ilm, salah satu prestasi luar biasa tentang diskursus ilmu logika juga karya Imam al-Ghazali. Lantas sebenarnya predikat apa yang pantas disematkan pada pemikir luar biasa ini? Ia bukan hanya pakar filsafat saja, fikih juga dikuasai, logika pun demikian, tentang tasawwuf  jangan ditanyakan kalau beliaulah sang imamnya.

Kekejutan yang sama akan terjadi kala mendengar nama Ibn Rusydi, mungkinkah Ibn Rusydi yang menulis kitab perbandingan madzhab Bidayatul Mujtahid juga adalah orang yang sama yang menulis kitab Kulliyat al-Thib? Bidayatul Mujtahid membahas perbandingan pendapat antar empat imam besar madzhab. Demikian komprehensif dan akurat. Disertakan dalil dan alasan kenapa satu pendapat bisa berbeda dengan pendapat yang lain. banyak orang akan menyangka Ibn Rusydi adalah faqih tulen. Tapi tidak, kitab Kulliyat al-Thib juga adalah rujukan yang dielu-elukan di benua biru pada masanya. Bagi orang Eropa yang tak tahu, mungkin saja akan mengira Ibn Rusydi adalah dokter yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk dunia medis.

Para sarjana-sarjana muslim kita dahulu memiliki prestasi yang tidak cukup hanya disebut luar biasa. Mereka mencurahkan hidup bukan hanya untuk satu disiplin ilmu. Mereka belajar sebanyak mungkin, dan menguasai disiplin ilmu sebanyak mungkin. Imam Nawawi yang tokoh fikih, juga adalah ahlinya dalam bidang hadis. Bukan saja al-Majmu’, kitab ensiklopedi fikih hampir tiga puluh jilid yang beliau tulis. Tapi al-Minhaj syarah Shahih Muslim juga beliau tulis dengan pembahasan yang luar biasa mendalam. Menghabiskan belasan jilid tersendiri. Dan masih banyak lagi tokoh yang demikian cemerlang. Disadari atau tidak, banyak dari mereka luput dari perhatian dan prestasi juga jasanya masih tersembunyi dari khalayak. Seperti manuskrip Tafsir al-Jailani yang baru-baru ini ditemukan. Membuktikan bahwa ternyata Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sang pemuka tarekat Qadiriyyah itu juga adalah seorang ahli tafsir.

Lantas bagaimana mungkin orang-orang dengan kapasitas intelektual sekaliber Imam al-Ghazali, Ibn Rusydi, atau Imam Nawawi seolah tak tersisa pada hari ini. kebanyakan hari ini orang hanya mampu menguasai satu disiplin ilmu. Memiliki gelar doktoral di bidang hukum, tapi tidak tahu apa-apa tentang sejarah. Master di bidang sejarah, namun nihil tatkala berhadapan dengan konsep fikih.

Cendekiawan muslim kita dahulu bukan hanya dikaruniai kecerdasan luar biasa. Namun mereka juga mampu membuka cakrawala. Bentang garis imajiner yang samar-samar kian redup dan kian ditinggalkan. Garis imajiner bahwa sumber ilmu pengetahuan bukanlah buku belaka. Bukan hanya dengan cara meneliti dan membaca kutipan dalam kertas saja. Itu yang luput dicapai sarjana hari ini. Hari ini orang sudah cukup puas belajar dengan mengkaji buku, hingga mereka tak sadar semakin banyak wawasan yang seharusnya dikuasai itu hilang.

Dalam pembukaan kitab Ihya Ulumuddin, imam al-Ghazali membuka pembahasan dengan menjelaskan pra syarat sebelum hendak mengkaji lebih dalam satu fan ilmu pengetahuan. setidaknya syarat-syarat seperti mempersiapkan diri dengan “membersihkan hati” adalah bagian dari syarat-syarat tersebut. Menurut para ulama salaf dahulu, ilmu serupa cahaya yang bertempat di hati. Maka hati yang kotor tak akan bisa menerima ilmu dengan sempurna. Memantapkan hati bahwa sepenuhnya ilmu yang hendak dikuasai tidak ada sangkut pautnya dengan dunia. Meskipun dahulu banyak para cendekiawan, namun menurut imam al-Ghazali, mereka yang tak mampu memenuhi pra syarat yang telah beliau tuturkan tidak bisa dianggap sebagai ulama. Mereka memiliki wawasan, namun tak berarti apa-apa. Sekelumit hal tersebut yang lalai diikuti para sarjana muslim hari ini. Mereka hari ini lebih mengutamakan ilmu pengetahuan sebagai bahan buruan belaka. Sekedar mengenal prinsip menumpuk wawasan banyak-banyak. Namun mengabaikan metode penting yang menjadi pedoman para sarjana-sarjana muslim pada masa silam.

Mungkin ada baiknya kita membaca kembali banyak kisah tentang kisah “ajaib” para tokoh besar yang hari ini mulai dilupakan. Kebanyakan dari mereka justru mengakui, bisa mendapat apa yang mereka miliki dari hal-hal kecil dan sederhana. Syaikh al-Hulwani, salah satu tokoh besar madzhab hanafiyyah di Baghdad mengakui, ia bisa menjadi orang besar –dalam tanda kutip, seorang ilmuwan muslim- dengan ‘tirakat’ beliau, tak pernah menyentuh kitab kecuali dalam keadaan suci. “Aku bisa mendapatkan ilmu ini, karena sikap ta’dzim, dan aku tak pernah membawa kertas bertuliskan ilmu kecuali dalam kondisi suci dari hadas”[1]. Kisah serupa, amat banyak. Murid imam Abu Hanifah yang paling terkenal, Abu Yusuf ketika masih dalam masa-masa belajar, “tak begitu nampak” dibandingkan murid-murid lain imam Abu Hanifah. Namun sifat ulet dan patuh beliau dengan guru mengantarkan beliau menjadi hakim tertinggi selepas imam Abu Hanifah wafat. Murid kesayangan imam Syafi’i, al-Buwaithy juga dulunya nampak tertinggal diantara murid-murid lain imam Syafi’i. Diakui, beliau tak secerdas imam Muzani yang konon bisa langsung hafal setiap pelajaran selepas disampaikan, hingga imam Muzani hampir tak pernah membawa catatan untuk menulis. Beliau tak memerlukannya. Lain dengan al-Buwaithy yang tekun mencatat setiap dawuh sang guru. Pada akhirnya, ternyata bukan imam Muzani yang dipercaya oleh sang guru meneruskan “pondok”, namun al-Buwaithy. Dan masih banyak bunga rampai lain.

Jika hanya ada satu atau dua kisah, maka kita layak percaya untuk menyebut itu mungkin hanyalah kebetulan. Namun jika siklus tersebut terus terjadi secara berulang, masihkah kita pantas meragukan dengan berkata bahwa itu hanyalah sebuah kebetulan belaka? []

 

 

[1] Mukhtashar Fawaid Makkiyyah. Hal. 30. Dar Basyyar Islami.

0

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.