Musibah tidak pernah mengenal ruang dan waktu, musibah tidak mentolerir untuk menimpa siapapun. Sehingga, musibah dapat menimpa siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Tentu saja sebagai manusia normal, setiap orang tidak ada yang berharap ingin terkena sebuah musibah. Namun apa daya ketika Allah Swt berbicara lain, yang tidak sesuai dengan harapan dan keinginan manusia.
Realita mengatakan, sebagian dari musibah yang dirasa sangat membebani adalah mengidap penyakit berat, seperti kanker, serangan jantung, gagal ginjal dan semacamnya. Dalam penanganannya, tak jarang untuk penyakit-penyakit berat tersebut memerlukan proses pembedahan dan operasi. Dilihat dari skala tindakannya, operasi pembedahan dapat dibagi menjadi dua, yakni operasi bedah kecil (minor) dan operasi bedah besar (mayor). Sebelum operasi pembedahan kecil, seperti penjahitan pada luka atau khitan, sering kali dilakukan tindakan pembiusan (anestesi) lokal. Dalam proses anestesi ini, pasian dibiarkan tetap dalam keadaan sadar, hanya saja pada bagian tertentu dari tubuh yang dibutuhkan akan dihilangkan rasa sakitnya dengan cara memblokade saraf-saraf tepi yang ada di area injeksi (pati rasa). Sementara dalam operasi pembedahan besar, misalkan dalam proses amputasi atau operasi caesar, kerap dilakukan pembiusan yang melumpuhkan sebagian anggota tubuh (anestesi regional). Bahkan dalam operasi besar yang berkaitan dengan anggota dalam, sering dilakukan pembiusan total yang menyebabkan kesadaran pasien menjadi hilang. Dalam pembiusan total ini, sesuai dengan masa kerja obat, dalam hitungan waktu tertentu pasiean akan kembali sadar.
Meninjau dari beberapa skala tindakan pembedahan operasi ini, sering kali membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Pertanyaanpun mengemuka di tengah-tengah masyarakat terkait pasien tersebut yang sebagian besar meninggalkan ibadah-ibadah yang menjadi kewajibannya, semisal salat.
Menjawab problematika tersebut, para ulama acap kali mengkategorikan persoalan ini dalam pembahasan syarat wajib salat, yakni mukallaf yang mencakup usia baligh dan berakal. Karena realita mengatakan bahwa pembiusan total akan menghilangkan kesadaran (akal) pasien, maka pasien yang dibius secara total dihukumi tidak mukallaf. Dalam kitabnya, al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab, Imam an-Nawawi mengemukakan pendapat terkait kasus hilangnya akal dan kesadaran yang disebabkan oleh obat bius:
“Kami telah menyebutkan bahwasanya orang gila dan penderita epilepsi dan perkara-perkara yang serupa dengan kedua perkara tersebut yang berupa hal-hal yang menghilangkan akal (kesadaran) yang dilegalkan syariat, akan menggugurkan kewajiban salatnya dan tidak diharuskan mengganti salatnya….. Dan diperbolehkan menggunakan obat yang menghilangkan akal (kesadaran) untuk kebutuhan tertentu. Jika akal (kesadaran) hilang sebab obat tersebut, maka ia tidak harus mengganti shalatnya setelah siuman, karena akal (kesadaran) yang hilang itu bukan disebabkan oleh sesuatu atau tindakan yang diharamkan.”[1]
Dalam konteks penerapan hukum dan pemilahannya, penjelasan Imam an-Nawawi tersebut sangatlah umum. Sehingga dari penjelasan itu memunculkan perbedaan dua pendapat di antara para ulama terkait pengkategorian orang yang dibius tersebut:
Pertama, menurut imam al-Mutawali dan ulama lain, orang yang dibius tersebut dihukumi seperti halnya orang yang gila. Dengan artian bahwa saat dia meninggalkan salat tidak berdosa namun masih memiliki kewajiban Qadla’ (mengganti salat).
Kedua, menurut sebagian ulama bahwa orang yang dibius tersebut dihukumi seperti halnya orang yang terjangkit epilepsi. Dengan artian bahwa saat dia meninggalkan salat tidak berdosa dan tidak memiliki kewajiban Qadla’ (mengganti salat).[2]
Dari dua kubu yang berbeda pendapat tersebut, secara bijak syekh as-Syarwani memberi sebuah kesimpulan bahwa pengaruh obat bius dipilah menjadi dua bagian, apabila lebih mendekati tanda-tandanya orang gila maka dikategorkan hukum seperti halnya orang gila. Begitu pula sebaliknya, apabila lebih mendekati tanda-tanda yang dimiliki seseorang yang terjangkit epilepsi maka dikategorkan hukum seperti halnya orang epilepsi.[3] Pemilahan kategori tersebut akan berpengaruh terhadap hukum-hukum selanjutnya, yakni apakah ia diharuskan mengganti (Qadla’) salatnya ataukah tidak.